1-4-4 Menyentuh Kemaluan – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 004 Bab Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu’ - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah keempat: Menyentuh Kemaluan.

 

Para ulama berbeda pendapat dalam hukum menyentuh kemaluan:

1. Sebagian ada yang berpendapat bahwa menyentuh kemaluan dengan cara apa pun dapat membatalkan wudhu’, ini adalah pendapat Imām Syāfi‘ī dan para pengikutnya, Imām Aḥmad, juga Dāūd.

2. Ada pula yang berpendapat tidak membatalkan wudhu’, ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya.

3. Sebagian ulama membedakan tergantung kepada sentuhan itu sendiri, lalu mereka berbeda pendapat lagi dalam hal ini:

a. Di antara mereka ada yang membedakan antara sentuhan bersyahwat dan tidak.

b. Ada juga yang membedakan antara sentuhan dengan telapak tangan bagian dalam dan bagian luarnya.

Mereka mewajibkan wudhu’ dalam menyentuh kemaluan yang menimbulkan atau merasakan syahwat dan tidak mewajibkannya jika tidak bersyahwat, begitupula mewajibkan wudhu’ jika menyentuh dengan telapak tangan bagian dalam, dan tidak mewajibkannya jika menyentuh dengan bagian luar.

Dua pendapat ini diriwayatkan dari para pengikut Imām Mālik, adapun alasan telapak tangan bagian dalam, kembali kepada sebab adanya syahwat.

c. Yang lainnya membedakan antara menyentuh dengan sengaja dan lupa, wajib berwudhu’ jika menyentuh dengan sengaja dan tidak wajib jika menyentuhnya karena lupa, pendapat ini diriwayatkan dari Mālik, dan merupakan pendapat yang dipegang Dāūd beserta pengikutnya.

4. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa wudhu’ karena menyentuh kemaluan adalah sunnah hukumnya bukan wajib, Abū ‘Umar berkata: “Inilah yang tetap dari madzhab Mālikī di kalangan penduduk Maroko, sementara riwayat dari beliau adalah tidak jelas.”

Sebab perbedaan pendapat: adanya dua hadits yang bertolak belakang:

Pertama, hadits yang diriwayatkan dari jalan Busrah, bahwa dia mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِذَا مَسَّ أَحَدُكُمْ ذَكَرَهُ فَليَتَوَضَّأْ.

Jika salah seorang dari kalian menyentuh kemaluannya maka wajib baginya berwudhu’.” (721).

Ini adalah hadits paling terkenal yang mewajibkan wudhu’ karena menyentuh kemaluan, diriwayatkan oleh Imām Mālik dalam al-Muwaththa’, dinilai shaḥīḥ oleh Yaḥyā bin Ma‘īn, Aḥmad bin Ḥanbal, dan dinilai dha‘īf oleh ulama Kūfah, maknanya diriwayatkan pula dari jalur Ummu Ḥabībah, lalu Aḥmad bin Ḥanbal menilainya shaḥīḥ, maknanya diriwayatkan pula dari jalur Abū Hurairah, Ibnu Sakan pun menilainya shaḥīḥ, sementara al-Bukhārī dan Muslim tidak meriwayatkannya.

Hadits kedua yang kontra adalah hadits Thalq bin ‘Alī, dia berkata:

قَدِمْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ عِنْدَهُ رَجُلٌ كَأَنَّهُ بَدَوِيٌّ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا تَرَى فِيْ مَسِّ الرَّجُلِ ذَكَرَهُ بَعْدَ أَنْ يَتَوَضَّأَ؟ فَقَالَ: هَلْ هُوَ إِلَّا بُضْغَةٌ مِنْكَ.

Kami mendatangi Rasūlullāh s.a.w., dan di sisinya ada seorang laki-laki sepertinya dia seorang Badui, dia bertanya: “Apakah pendapat anda tentang seorang lelaki yang menyentuh kemaluannya setelah berwudhu?” beliau menjawab: “ia hanyalah bagian dari (tubuh)mu”.” (732).

Diriwayatkan pula oleh Abū Dāūd dan at-Timirdzī, dan dinilai shaḥīḥ oleh kebanyakan ulama dari Kūfah dan yang lainnya.

Lalu para ulama berusaha menafsirkan hadits-hadits ini dalam dua cara, tarjīḥ atau naskh (menghapus), dan jam‘u (kompromi).

Ulama yang menganggap hadits Busrah lebih kuat, atau hadits tersebut me-naskh (menghapus) hadits Thalq bin ‘Alī, mereka berpendapat wajib wudhu’ karena menyentuh kemaluan.

Sebagian ulama yang lainnya menganggap hadits Thalq bin ‘Alī lebih kuat, dia menggugurkan kewajiban berwudhu’.

Sementara ulama yang berusaha mengkompromikan di antara kedua hadits, mereka mewajibkan pada satu keadaan dan tidak pada keadaan yang lainnya, atau memahami hadits Busrah dengan sunnah, sementara hadits Thalq bin ‘Alī dipahami dengan tidak adanya kewajiban.

Argumentasi yang digunakan oleh kedua kelompok di atas adalah sangat panjang untuk dipaparkan, semuanya ada dalam kitab-kitab mereka, akan tetapi titik perbedaan pendapat mereka adalah apa yang telah kami singgung.

 

Catatan:


  1. 72). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (181), at-Tirmidzī (82, 83), an-Nasā’ī (1/100, 216), Ibnu Mājah (479), Aḥmad (6/406, 497), al-Ḥumaidī (352), ath-Thayālisi (1657), ath-Thabrānī (20 IV/487), hadits ini dinilai shaḥīḥ oleh Imām Mālik, Syāfi‘ī, Aḥmad, Abū Dāūd, an-Nasā’ī, at-Tirmidzī, ad-Dāruquthnī, al-Ḥākim, Ibnu Ma‘īn, al-Ḥāzimī, al-Baihaqī, Ibnu Ḥibbān dan adz-Dzahabī. 
  2. 73). Sanadnya kuat. HR. Aḥmad (4/22, 23), Ibn-ul-Ja‘d dalam Musnad-nya (3299), Ibn-ul-Jārud dalam al-Muntaqā (21), ad-Dāruquthnī (1/148, 149), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (8/8232, 8234, 8239, 8254), al-Baihaqī (1/135), al-Haitsamī dalam al-Majma‘ (2/9) berkata: “Diriwayatkan oleh Aḥmad dan ath-Thabrānī dalam al-Kabīr dan para perawinya tsiqah.” 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *