1-4-3 Menyentuh Perempuan – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 004 Bab Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu’ - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah ketiga: Menyentuh Perempuan.

 

Para ulama berbeda pendapat tentang batalnya wudhu’ karena menyentuh perempuan dengan tangan atau anggota badan lainnya.

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa menyentuh perempuan secara langsung tanpa ada penghalang dapat membatalkan wudhu’, demikian pula menciumnya, karena mencium adalah menyentuh, baik persentuhan itu bersyahwat atau tidak, inilah pendapat yang dipegang oleh Imām Syāfi‘ī dan pengikutnya, hanya saja terkadang dia membedakan antara yang menyentuh dan yang disentuh, dia mewajibkan wudhu’ kepada yang menyentuh dan menggugurkannya kepada yang disentuh, dan terkadang menyamakan keduanya, demikian pula terkadang dia membedakan antara istri dengan mahram, mewajibkan wudhu’ jika bersentuhan dengan istri, tidak dengan mahram, dan terkadang menyamakan keduanya.

2. Sebagian ulama yang lainnya berpendapat wajibnya wudhu’ karena sentuhan yang bersyahwat, atau bertujuan untuk menimbulkan syahwat, dengan penghalang atau tidak, dengan anggota badan mana saja kecuali mencium, karena mereka tidak mensyaratkan hal itu walaupun disertai syahwat (kenikmatan), inilah madzhab yang dipegang oleh Mālik dan kebanyakan pengikutnya.

3. Sementara sebagian ulama yang lainnya meniadakan kewajiban berwudhu’ karena menyentuh perempuan, ini adalah pendapat Imām Abū Ḥanīfah.

Semuanya memiliki landasan dari kalangan salaf, kecuali syarat adanya syahwat, saya tidak mengetahui adanya kaum salaf yang mensyaratkan hal itu.

Sebab perbedaan pendapat: Ragamnya makna yang terkandung dalam kata al-lams, orang ‘Arab terkadang memahaminya dengan sentuhan tangan, dan terkadang merupakan kata kiasan dari bersetubuh.

Jadi sebagian ulama berpendapat bahwa al-lams yang mewajibkan wudhu’ dalam ayat maksudnya adalah bersetubuh, tepatnya dalam firman-Nya:

أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ.

Atau kalian menyentuh perempuan.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Sementara yang lainnya memahami bahwa yang dimaksud dengan al-Lams dalam ayat adalah sentuhan tangan, lalu di antara mereka ada yang memahami ayat sebagai ungkapan khusus yang bermaksud khusus, sehingga mensyaratkan syahwat atau kenikmatan di dalamnya, dan ada juga yang memahaminya sebagai lafazh umum yang bermaksud umum, sehingga mereka tidak mensyaratkan adanya syahwat.

Adapun yang mensyaratkan syahwat terdorong oleh riwayat yang bertolak-belakang dengan ayat, yaitu: “Bahwa Nabi s.a.w. menyentuh ‘Ā’isyah saat bersujud dengan tangannya, dan terkadang dia yang menyentuh beliau.” (691).

Kemudian para ulama hadits meriwayatkan hadits Ḥubaib bin Abī Tsābit dari ‘Urwah dari ‘Ā’isyah dari Nabi s.a.w.:

أَنَّهُ قَبَّلَ بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ قُلْتُ مَا هِيَ إِلَّا أَنْت؟ فَضَحِكَتْ.

Bahwa beliau s.a.w. pernah mencium sebagian istri-istrinya, kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu’ (lagi), aku (Zubair) berkata: “Engkaukah dia?” lalu ia (‘Ā’isyah) tertawa.” (702).

Abū ‘Umar berkata: “Hadits ini dinilai dha‘īf oleh ulama Ḥijāz sementara ulama Kūfah menilainya shaḥīḥ,” dan Abū ‘Umar pun cenderung menilainya shaḥīḥ, dia berkata: “Hadits ini pun diriwayatkan dari jalur Ma‘bad bin Nabātah.” (713)

Imām Syāfi‘ī berkata: “Seandainya hadits Ma‘bad bin Nabātah tentang menciumnya Nabi s.a.w. itu shaḥīḥ maka saya tidak berpendapat bahwa sentuhan itu membatalkan wudhu’.”

Dan orang yang mewajibkan wudhu’ karena bersentuhan berpendapat bahwa al-lams secara hakiki maknanya adalah menyentuh dan bermakna bersetubuh secara majaz, jika sebuah kata ada dalam kategori hakikat dan majaz, maka yang lebih utama adalah memahaminya secara hakiki sehingga datang dalil yang menunjukkan makna majaz.

Pendapat itu bisa dibantah bahwa jika majaz lebih banyak digunakan maka lebih kuat daripada hakiki, seperti kata al-ghaith yang lebih kuat bermakna buang air besar secara majaz, walaupun makna hakikinya adalah tempat sunyi.

Keyakinan saya bahwa al-lams walaupun mengandung dua makna secara seimbang, atau dekat kepada seimbang, akan tetapi saya lebih cenderung kepada makna majaz daripada makna hakiki, karena Allah s.w.t. telah membuat julukan mubāsyarah dan al-lams untuk makna bergaul, padahal kedua lafazh tersebut mengandung makna al-lams.

Penafsiran ini pun bisa digunakan sebagai hujjah bolehnya tayammum untuk mandi janābah tanpa memperkirakan adanya taqdīm (mendahulukan) dan ta’khīr (mengakhirkan) redaksi sebagaimana akan dijelaskan nanti, walhasil akhirnya kontradiksi antara atsar dan ayat bisa hilang dengan penafsiran yang terakhir.

Sementara pendapat yang memahami lafazh ayat dengan kedua makna al-lams adalah pendapat yang lemah, karena sesungguhnya orang ‘Arab menggunakan lafazh yang mengandung ragam makna dengan tujuan satu makna saja, bukan semua makna yang terkandung di dalamnya, ini sangat jelas dalam perkataan mereka.

 

Catatan:


  1. 69). Lafazh hadits dari ‘Ā’isyah r.a., dia berkata: كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُوْلِ اللهِ (ص) وَ رِجْلَايَ فِيْ قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِيْ فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا وَ الْبُيُوْتُ يَوْمَئِذٍ لَيْسَ فِيْهَا مَصَابِيْحُ.Aku pernah tidur di hadapan Rasūlullāh s.a.w. sementara kedua kakiku ada di qiblatnya, jika beliau bersujud beliau menyentuhku, lalu aku tarik kedua kakiku, dan jika beliau berdiri maka aku bentangkan kedua kakiku, saat itu di dalam rumah tidak ada lampu.” HR. al-Bukhārī (382, 513, 1209), Muslim (512), Abū Dāūd (713), an-Nasā’ī (1/102), dan Aḥmad (6/148, 225, 255). 
  2. 70). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (178, 179), at-Tirmidzī (86), Aḥmad (6/62, 210), ad-Dāruquthnī (1/135, 139, 141, 142), al-Baihaqī (1/125) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥu Abī Dāūd
  3. 71). Kami tidak mendapatkannya. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *