Masalah kedua: Tidur.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tidur menjadi tiga pendapat:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa tidur adalah hadats, sedikit atau banyak membatalkan wudhu’.
2. Sebagian lainnya berpendapat bahwa tidur bukanlah hadats sehingga tidak membatalkan wudhu’ kecuali jika yakin bahwa wudhu’nya batal (dengan sebab lain) menurut pendapat yang tidak menjadikan keraguan sebagai alasan maka batal, bahkan sebagian ulama salaf memerintahkan yang lainnya agar memperhatikan keadaannya saat tidur (apakah dia batal atau tidak?).
3. Sebagian ulama lainnya membedakan antara tidur ringan (sesaat) dengan tidur nyenyak lagi lama, mereka mewajibkan wudhu’ pada orang yang tidur nyenyak dan tidak mewajibkannya kepada yang tidur ringan, inilah pendapat yang dipegang oleh ulama fikih berbagai negeri dan jumhur ulama.
Adapun jika berbagai kondisi tidur memiliki kemungkinan tidur berat dan keluarnya hadats dibandingkan dengan kondisi tidur yang lainnya, maka para ulama fikih pun berbeda pendapat:
1. Imām Mālik berkata: “Barang siapa tidur berbaring ke samping atau sambil sujud maka wajib baginya berwudhu’, baik lama atau sebentar, dan barang siapa tidur sambil duduk maka tidak ada kewajiban berwudhu’ baginya selama tidurnya tidak lama.” Lalu dalam madzhabnya terjadi perbedaan pendapat tentang tidur sambil ruku‘, di suatu kesempatan menyatakan hukumnya sama dengan yang tidur sambil berdiri, dan di kesempatan lain menyatakan hukumnya sama dengan yang tidur sambil sujud.
2. Sementara Imām Syāfi‘ī berkata: “Setiap tidur itu membatalkan wudhu’, bagaimana pun kondisinya kecuali tidur sambil duduk.”
3. Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya berkata: “Tidak ada kewajiban berwudhu’ kecuali bagi orang yang tidurnya berbaring ke samping.”
Sebab perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah perbedaan atsar yang menjelaskannya, ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa tidur sama sekali tidak membatalkan wudhu’, seperti hadits Ibnu ‘Abbās:
أَنَّ النَّبِيَّ (ص) دَخَلَ إِلَى مَيْمُوْنَةَ فَنَامض عِنْدَهَا حَتَّى سَمِعْنَا غَطِيْطَهُ ثُمَّ صَلَّى وَ لَمْ يَتَوَضَّأْ.
“Bahwa Nabi s.a.w. masuk ke kamar Maimūnah, lalu beliau tidur di sisinya hingga kami mendengar dengkurannya, kemudian beliau melakukan shalat dan tidak berwudhu’ dahulu.” (621).
Demikian pula sabda Rasūlullāh s.a.w.:
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَ هُوَ نَاعِسٌ لَا يَدْرِيْ لَعَلَّهُ يَذْهَبُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ رَبَّهُ فَيَسُبَّ نَفْسَهُ.
“Jika salah seorang dari kalian merasakan kantuk dalam melakukan shalat, maka tidurlah sehingga rasa kantuknya hilang, karena seseorang di antara kalian jika melakukan shalat dalam keadaan mengantuk ia tidak tahu barang kali ia hendak beristighfar kepada Allah ternyata dia mencela dirinya sendiri.” (632).
Demikian pula riwayat yang menyatakan: “Bahwa para sahabat Nabi s.a.w. tidur di dalam masjid sehingga kepala mereka tertunduk, kemudian mereka melakukan shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu.” (643) Dan semuanya adalah atsar yang shaḥīḥ.
Demikian pula ada beberapa hadits yang secara zhahir menunjukkan bahwa tidur tidak membatalkan wudhu’, yang paling jelas adalah hadits Shafwān bin ‘Assāl, dia berkata:
كُنَّا فِيْ سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ (ص) فَأَمَرَنَا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا مِنْ غَائِطٍ وَ بَوْلٍ وَ نَوْمٍ، وَ لَا نَنْزِعَهَا إلَّا مِنْ جَنَابَةٍ.
“Kami pernah dalam sebuah perjalanan bersama Nabi s.a.w., lalu beliau memerintahkan kami agar tidak membuka khuf-khuf kami karena buang air besar, kecil dan karena tidur, dan kami tidak membukanya kecuali karena mandi janabah.” (654).
Beliau menyamakan antara air kecil, buang air besar dan tidur, hadits ini dinilai shaḥīḥ oleh at-Tirmidzī.
Demikian pula hadits Abū Hurairah terdahulu, yaitu sabda beliau s.a.w.:
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِيْ وَضُوْئِهِ.
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, maka cucilah tangannya sebelum memasukannya ke dalam air wudhu’nya.” (665).
Zhahir hadits menunjukkan bahwa tidur membatalkan wudhu’, baik tidurnya itu ringan atau lama, demikian pula zhahir ayat tentang wudhu’ bagi orang yang memahaminya dengan makna tidur, yaitu firman Allah:
يَا أَيَّهُا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).
Jadi makna ayat ini menurutnya adalah jika kamu bangun tidur seperti yang diriwayatkan dari Zaid bin Aslam dan yang lainnya dari kalangan salaf.
Jika berbagai atsar saling bertolak belakang, maka ulama dalam hal ini terbagi dua, ada yang menempuh jalan tarjīḥ (mencari atsar yang lebih kuat), dan juga yang menempuh jalan Jam‘u (mengkompromikan berbagai atsar).
Ulama yang menempuh jalan tarjīh terbagi dua, ada yang menyatakan bahwa tidur sama sekali tidak membatalkan wudhu’ berdasarkan hadits-hadits yang menyatakan hal itu, ada juga yang mewajibkan wudhu’ untuk tidur yang sebentar atau lama berlandaskan pada berbagai hadits yang mewajibkan wudhu’ karena tidur (maksudnya sesuai dengan kecenderungan dalam men-tarjīh, ada yang cenderung kepada dalil yang mewajibkan wudhu’, ada pula yang menggugurkannya).
Sementara ulama yang menempuh jalan kompromi memahami hadits yang mewajibkan wudhu’ untuk tidur yang panjang, dan tidak wajib jika tidurnya ringan (sebentar), sebagaimana telah kami katakan bahwa ini adalah madzhab jumhur, dan kompromi adalah sebaik-baiknya jalan jika mungkin untuk ditempuh menurut mayoritas ulama ushul.
Adapun Imām Syāfi‘ī mengecualikan duduk saja karena hal itu telah diriwayatkan secara shahih dari para sahabat (maksudnya, bahwa mereka tidur sambil duduk, mereka melakukan shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu).
Abū Ḥanīfah mewajibkan wudhu’ untuk tidur sambil berbaring karena diriwayatkan dalam sebuah hadits yang marfū‘, yaitu sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda:
إِنَّمَا الْوُضُوْءَ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا.
“Bahwa wudhu’ hanya diwajibkan kepada orang yang tidur sambil berbaring.” (676).
Riwayat tersebut tsabit dari Ibnu ‘Umar. (687).
Adapun Imām Mālik ketika ia berpendapat bahwa tidur membatalkan wudhu’ hanya karena bisa menyebabkan keluarnya hadats dengan mempertimbangkan tiga faktor; kenyenyakan, waktu tidur yang panjang, dan kondisinya.
Karena itu Imām Mālik tidak mensyaratkan kenyenyakan dan waktu yang lama untuk kondisi yang biasanya bisa mengeluarkan hadats, sebaliknya ia mensyaratkan dua hal tersebut bagi keadaan yang biasanya tidak menyebabkan keluarnya hadats.
Catatan:
- 62). Shaḥīḥ. HR. Aḥmad (1/244), ‘Abd bin Ḥumaid dalam al-Muntakhab (616), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (11/10706, 1074, 11681, 1192)/. ↩
- 63). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (212), Muslim (786), Abū Dāūd (1310), at-Tirmidzī (355), Ibnu Mājah (1370), Aḥmad (6/56, 202, 205, 259) semuanya dari hadits ‘Ā’isyah r.a. ↩
- 64). Ḥasan. HR. oleh at-Tirmidzī (96, 3535, 3546), an-Nasā’ī (1/83, 84), Ibnu Mājah (478), Aḥmad (4/239, 240), ath-Thayālisī (1165, 1166), al-Ḥumaidī (881), ad-Dāruquthnī (1/196), al-Baihaqī (1/114, 115, 118, 276, 286) dan dinilai ḥasan oleh al-Albānī dalam al-Irwā’ (104). ↩
- 65). Ibid. ↩
- 66). Sudah terdahulu takhrīj-nya. ↩
- 67). Dha‘īf. HR. oleh Abū Dāūd (202), at-Tirmidzī (77), Ibnu Abī Syaibah (ath-Thahārah/bab man qāla laisa ‘alā man nāma), diriwayatkan pula oleh Abū Ya‘lā (2482, 2603), ad-Dāruquthnī (1/159-160), al-Baihaqī (1/121), at-Tirmidzī berkata: “Aku bertanya kepada Muḥammad bin Ismā‘īl tentang hadits ini, lalu ia menjawab: “Tidak ada harganya”.” Abū Dāūd berkata: “Hadits mungkar, tidak ada yang meriwayatkannya kecuali Yazīd bin Abī Khālid ad-Dalanī dari Qatādah.” Ad-Dāruquthnī berkata: “Tidak shaḥīḥ,” dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īfu Abī Dāūd. ↩
- 68). Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Syaibah dalam al-Mushannaf (ath-Thahārah, bab man qāla laisa ‘alā man nāma – no. 8) dengan lafazh: “Bahwa ‘Umar bin Khaththāb berkata: “Barang siapa tidur berbaring miring maka hendaklah dia berwudhu’”.” ↩