1-4-1 Najis Yang Keluar Dari Tubuh – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 004 Bab Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu’ - Bidayat-ul-Mujtahid

Bab IV

Hal-hal yang Membatalkan Wudhu’

 

Landasan bab ini adalah firman Allah s.w.t.:

أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ.

Atau kembali dari tempat buang air atau menyentuh perempuan.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Dan sabda Nabi s.a.w.:

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ.

Allah tidak menerima shalat orang yang berhadats sehingga dia berwudhu’.” (561)

Dalam masalah ini para ulama sepakat batalnya wudhu’ karena kencing, buang air besar, kentut, madzi, dan wadhi karena shahih-nya atsar yang menerangkan hal itu kala keluar dalam keadaan sehat, ada tujuh hal yang utama yang diperselisihkan pada pembahasan ini:

 

Masalah pertama: Najis yang keluar dari tubuh.

Para ulama di berbagai negeri berbeda pendapat tentang batalnya wudhu’ karena keluarnya najis yang dapat dibagi menjadi tiga pendapat:

1. Sebagian ulama hanya mempertimbangkan apa yang keluar, terlepas dari mana dan bagaimana keluarnya? Ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah dan para pengikutnya, ats-Tsaurī, Aḥmad dan sekelompok ulama, pendapat ini diwarisi dari kalangan sahabat dan salaf, mereka berkata: “Setiap najis yang keluar dari badan menyebabkan wajibnya wudhu’, seperti darah, darah yang keluar dari hidung, darah bekam, dan muntah, kecuali air liur menurut Abū Ḥanīfah.” Abū Yūsuf dari kalangan pengikut Abū Ḥanīfah berkata: “Jika air liur memenuhi mulut maka wajib wudhu,” tidak seorang pun dari mereka yang memasukan darah yang sedikit ke dalam masalah ini kecuali Mujāhid.

2. Sebagian ulama lainnya melihat dari sisi dua tempat keluar, dzakar dan dubur, mereka berkata: “Apa saja yang keluar dari dua lubang ini adalah membatalkan wudhu’, baik darah, kerikil, atau air liur (????? keluar dari dua lubang????? SH.), dan bagaimana pun keluarnya, dalam keadaan sehat atau sakit, di antara yang berpendapat demikian adalah Imām Syāfi‘ī, dan para pengikutnya, juga Muḥammad bin ‘Abd-il-Ḥakam dari pengikut Mālik.

3. Sebagian ulama lain mempertimbangkan apa yang keluar, tempat keluar dan bagaimana keluarnya, mereka berkata: “Sesuatu yang biasa keluar dari dua lubang, (yaitu air kencing, kotoran, madzi, wadi dan kentut) dan keluar dalam keadaan sehat maka semua itu membatalkan wudhu’, mereka tidak berpendapat bahwa keluar darah, kerikil, dan cacing mewajibkan wudhu’, tidak pula pada seseorang yang beser (selalu keluar air kencing), di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imām Mālik dan mayoritas pengikutnya.

Sebab perbedaan pendapat: Adalah jika kaum muslimin sepakat batalnya wudhu’ karena ada yang keluar dari dua lubang berupa: kotoran, air kencing, dan madzi dengan landasan zhahir kitab dan zhahir hadits tentang hal itu, maka hal itu menimbulkan tiga kemungkinan:

Pertama, bahwa hukum hanya berkaitan dengan jenis yang disepakati, sebagaimana dipegang oleh Imām Mālik.

Kedua, bahwa hukum berkaitan dengan jenis-jenis itu karena alasan najis yang keluar dari tubuh, sementara wudhu’ identik dengan suci, dan kesucian bisa dipengaruhi oleh najis.

Ketiga, bahwa hukum berkaitan dengan jenis-jenis itu karena keluar dari dua lubang tersebut.

Berdasarkan dua pendapat terakhir dipahami bahwa perintah berwudhu’ dari hadats tersebut termasuk ke dalam bab lafazh khusus yang bermaksud umum, sementara Imām Mālik dan pengikutnya berpendapat bahwa masalah ini termasuk lafazh khusus yang bermaksud khusus, demikian pula Imām Syāfi‘ī, lalu mereka berdua berbeda pendapat mengenai umum manakah yang diambil.

Imām Mālik berargumentasi bahwa pada dasarnya lafazh ini khusus yang bermaksud khusus hingga ada dalil yang mengeluarkannya dari kaidah tersebut.

Imām Syāfi‘ī berhujjah bahwa yang dimaksud adalah tempat keluar bukannya barang yang keluar, alasannya adalah kesepakatan mereka bahwa wudhu’ diwajibkan jika ada angin yang keluar dari dubur (kentut), tidak untuk angin yang keluar dari mulut, padahal keduanya sama-sama angin, yang membedakannya adalah tempat keluar, ini merupakan isyarat bahwa hukum terkait dengan tempat keluar. Pendapat ini lemah jika kita ketahui bahwa kedua angin tersebut berbeda sifat dan baunya.

Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah najis, karena najis memiliki pengaruh terhadap kesucian, walaupun thaharah di sini adalah thahārah secara hukum, hanya saja menyerupai thahārah maknawi (yakni thahārah karena najis), pendapat ini diperkuat dengan hadits Tsaubān:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) قَاءَ فَتَوَضَّأَ.

Bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah muntah, lalu beliau berwudhu’.” (572).

Demikian pula dengan apa yang diriwayatkan dari ‘Umar dan Ibnu ‘Umar r.a. yang mewajibkan wudhu’ karena darah yang keluar dari hidung, (583) juga berdasarkan perintah beliau s.a.w. kepada yang mengalami mustaḥadhah (darah penyakit) agar berwudhu’ setiap kali akan melakukan shalat, (594) lalu dipahami oleh Abū Ḥanīfah dari semua dalil ini adalah jenis yang keluar, yaitu najis.

Imām Syāfi‘ī sepakat dengan Abū Ḥanīfah dalam kewajiban berwudhu’ pada hadats yang disepakati walaupun dalam keadaan sakit dengan landasan perintah Nabi untuk berwudhu’ setiap hendak melakukan shalat bagi perempuan yang mustaḥadhah, padahal darah istiḥādhah adalah penyakit.

Menurut Imām Mālik, penyakit memiliki pengaruh dalam keringanan hukum, ini sebagai qiyas terhadap riwayat yang menyatakan bahwa perempuan mustaḥadhah hanya diperintahkan mandi, kendati pun hadits Fāthimah binti Abī Ḥubaisy ini disepakati ke-shaḥīḥ-annya, (605) akan tetapi tambahannya diperselisihkan (yakni perintah untuk berwudhu’ setiap kali akan melakukan shalat), tetapi Abū ‘Umar bin ‘Abd-il-Barr menilainya shaḥīḥ.

Pendapat Imām Mālik pun diperkuat dengan qiyas kepada orang yang terlumuri darah tanpa henti, seperti yang diriwayatkan dari ‘Umar r.a. bahwa dia melakukan shalat sementara lukanya terus mengeluarkan darah. (616).

 

Catatan:


  1. 56). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (135), Muslim (225), Abū Dāūd (60), Aḥmad (2/318), dan al-Baihaqī (1/226). 
  2. 57). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (2381), Aḥmad (5/276) (6/443), ath-Thayālisī (993), Ibn-ul-Jarūd (8), dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (1958), al-Ḥākim (1/526), dan disetujui oleh adz-Dzahabī, diriwayatkan pula oleh ad-Dāruquthnī (1/158, 159), al-Baihaqī (1/144) (4/220) semuanya meriwayatkannya dengan lafazh “Beliau s.a.w. pernah muntah lalu berbuka”, kecuali at-Tirmidzī dengan lafazh “Beliau muntah lalu berbuka dan berwudhu’”, hadits ini dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam al-Irwā’ (111), hadits tersebut sama sekali tidak menunjukkan wajibnya berwudhu’ karena muntah, dengan alasan bahwa perbuatan tidak menunjukkan wajib, hanya disyariatkannya mencontoh kepada Rasūlullāh s.a.w. dalam hal itu. 
  3. 58). Mauqūf shaḥīḥ, atsar Ibnu ‘Umar diriwayatkan oleh Imām Mālik dalam al-Muwaththa’ (77), Syāfi‘ī dalam Musnad (94), al-Bahaiqī (2/256) lafazhnya: أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا رَعَفَ انْصَرَفَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ رَجَعَ فَبَنَى وَ لَمْ يَتَكَلَّمْ.Sesungguhnya ‘Abdullāh bin ‘Umar jika keluar darah dari hidungnya, maka dia pergi dan berwudhu’, lalu melanjutkan shalatnya dan tidak berbicara.” 
  4. 59). Memberikan isyarat kepada hadits Fāthimah binti Abī Ḥubaisy, bahwa dia datang kepada Nabi s.a.w., lalu bertanya: “Wahai Rasūlullāh sesungguhnya saya keluar haid selama satu bulan atau dua bulan, beliau bersabda: لَيْسَ ذَاكَ بِحَيْضِ وَ لكِنَّهُ عِرْقٌ فَإِذَا أَقْبَلَ الْحَيْضُ فَدَعِي الصَّلَاةَ عَدَدَ أَيَّامِكَ الَّتِيْ كُنْتِ تَحِيْضِيْنَ فِيْهِ وَ إِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِيْ، وَ تَوَضَّئِيْ لِكُلِّ صَلَاةٍ.Itu bukannya haid akan tetapi darah (penyakit), jika waktu haid datang maka tinggalkanlah shalat sebanyak hari-hari di mana kamu biasa haid, dan jika telah berlalu maka mandilah, dan berwudhu’lah untuk setiap shalat.” Diriwayatkan oleh al-Bukharī (228, 320, 325, 331), Muslim (333), Abū Dāūd (282, 298), an-Nasā’ī (1/181, 185, 186), at-Tirmidzī (185), Ibnu Mājah (624), Aḥmad (6/41, 137, 194, 204, 262). 
  5. 60). Yang lafazhnya adalah “Berwudhu’lah untuk setiap shalat” diriwayatkan oleh sekelompok perawi yang tsiqah, Abū Mu‘āwiyah adh-Dharīr (yang buta) meriwayatkannya dalam al-Bukhārī (228), Ḥammād bin Zaid pada an-Nasā’ī (1/185), Ḥammād bin Salamah dalam ad-Dārimī (1/199), dan Abū ‘Awānah dalam Ibnu Ḥibbān (1355/al-Iḥsān). 
  6. 61). Diriwayatkan oleh ad-Dāruquthnī (1/224, 406). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *