3. سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَحْرِقُ أَسْرَارَ الْأَقْدَارِ.
“Tekad (himmah) yang tinggi tidak bisa menembus benteng takdir.”
Segala sesuatu di semesta ini berjalan sesuai dengan taqdir Allah, sebagaimana ditunjukkan oleh akal, syariat, dan nash-nash agama. Allah berfirman: “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (41)
Nabi s.a.w. bersabda: “Segala sesuatu terjadi dengan qadha’ dan qadar-Nya, termasuk yang lemah dan cekatan.” (52)
Tekad (himmah) terbagi ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tekad yang rendah, yaitu tekad yang melahirkan keinginan dan semangat tetapi tidak disertai upaya nyata (taḥaqquq).
Kedua, tekad yang pertengahan, yaitu tekad yang melahirkan keinginan dan perbuatan, entah disertai dengan semangat realisasi atau tidak.
Ketiga, tekad yang tinggi, yaitu kekuatan dalam diri yang terus muncul dan aktif menggerakkan tanpa pernah berhenti. Himmah seperti inilah yang dimiliki para pendengki yang tidak berhenti melakukan keburukan, juga para tukang sihir yang terus meniupkan buhul, para perindu Tuhan yang terus membersihkan diri dari gejolak nafsu, serta para wali Allah yang terus menegakkan dan mewujudkan keyakinan mereka. Semangat golongan ini terus aktif seraya tetap menetapi qadhā’ dan qadar Allah. Namun, setinggi apa pun himmah mereka, ketetapan dan keputusan ada di tangan Allah: “Mereka tidak bisa menimpakan bahaya kepada siapa pun kecuali dengan idzin Allah.” (63).
Suatu tekad disebut tinggi dan menembus dilihat dari sisi keagungannya, bukan dilihat dari waktu terwujudnya tekad itu. Sementara, keagungannya terkait dengan efektivitas pengaruhnya yang mewujud tanpa membutuhkan sebab tertentu. Apabila tekad yang tinggi saja tidak bisa menembus tirai taqdir apalagi pengaturan dan kehendak hamba. Sama halnya, perilaku dan tindakan hamba yang paling luhur dan paling mulia sekalipun tidak akan menembus apalagi mengoyak tirai taqdir. Karena itu, Ibnu ‘Athā’illāh melanjutkan penjelasannya dengan mengatakan: (lihat Ḥikam # 4)
Catatan: