1-3 Ketika Islam Menyapa ‘Umar – Kisah Hidup ‘Umar Ibn Khaththab


KISAH HIDUP ‘UMAR IBN KHATHTHĀB
(Judul Asli: ‘Umar ibn al-Khaththāb)
Oleh: Dr. Musthafa Murad

Penerjemah dan Penyelaras: Ahmad Ginanjar Sya‘ban & Lulu M. Sunman
Penerbit: ZAMAN

Ketika Islam Menyapa ‘Umar.

 

Ya Allah, agungkanlah Islam dengan salah satu dari kedua lelaki ini: ‘Umar ibn Khaththab atau ‘Umar ibn Hisyam Abu Jahal.” Itulah doa Rasulullah suatu ketika.

Saat Rasulullah mengumumkan misi kenabiannya, ‘Umar tengah berusia dua puluh tujuh. Sebagaimana pembesar Quraisy lainnya. ‘Umar mengganggap seruan kenabian itu sebagai bid‘ah dan kegilaan yang menentang kepercayaan agama nenek moyang mereka. Muhammad dianggap tak lebih sebagai kahin, dukun, dan penyair gila yang sedang mencari sensasi dan popularitas.

Maka tak mengherankan jika pada masa awal dakwah, ‘Umar sangat membenci dan memusuhi Muhammad serta para pengikutnya. Kebencian dan amarah ‘Umar memuncak ketika beberapa kerabat dan budak perempuannya mengikuti seruan Muhammad dan memeluk Islam.

Labinah, budak perempuan ‘Umar yang memeluk Islam itu, mendapat perlakuan kasar dari tuannya. ‘Umar menghajar Labinan habis-habisan sampai ia sendiri merasa keletihan. “Labinah! Tunggu, aku mengambil napas dulu, dan aku akan memukulmu lagi,” seru ‘Umar.

Amarah ‘Umar tak surut dengan hanya menghajar Labinah. Ia juga hendak meneror setiap pengikut Muhammad yang ia temui. Keluarlah ‘Umar sambil menghunus pedang. Ia ingin menemui Muhammad dan bermaksud menantang sahabat-sahabatnya. Orang-orang ketakutan melihatnya. Mereka memberi tahu bahwa Muhammad dan sahabatnya tengah berkumpul di sebuah rumah di bukit Shafa. Mereka sekitar empat puluh orang, lelaki dan perempuan.

Sebelum sampai ke rumah tersebut. ‘Umar berpapasan dengan Nu‘aim ibn ‘Abdullah. Nu‘aim yang melihat kerut-kerut gelap dan muram pada wajah ‘Umar bertanya; “Ada apa denganmu, ‘Umar?”

“Aku mencari dan menginginkan Muhammad, lelaki yang mencerai-beraikan turunan Quraisy, yang meruntuhkan impian mereka, menghilangkan agama leluhur mereka, menyerapahi tuhan-tuhan sesembahan mereka. Aku akan membunuh Muhammad,” jawab ‘Umar geram.

“Demi Allah, nafsumu telah menipu dirimu sendiri. Tidakkah kau melihat bahwa anak cucu Bani Manaf tidak akan meninggalkanmu begitu saja. Mereka masih ada di atas bumi ini. Lalu kau akan membunuh Muhammad, salah seorang cucu Bani Manaf itu? Tidakkah kau melihat sanak keluargamu sendiri, dan kepada merekalah seharusnya kau tegakkan perkaramu itu?”

Sejenak ‘Umar terkesiap.

“Siapa yang kau maksud dari sanak keluargaku?” tanya ‘Umar.

“Anak pamanmu, Sa‘d ibn Zaid, dan saudari kandungmu, Fathimah. Demi Allah, keduanya telah memeluk Islam dan mengikuti ajaran agama yang dibawa Muhammad. Temuilah keduanya,” seru Nu‘aim.

‘Umar terperangah. Ia tidak percaya bahwa sepupu dan adik kandungnya telah menjadi pengikut Muhammad. Tanpa pikir panjang, ‘Umar pulang. Ia mencari Fathimah. Fathimah tengah bersama Sa‘d dan Khabbab ibn al-Art. Mereka tengah membawa lembaran-lembaran al-Qur’ān. Khabbab sedang membacakan surah Thaha di hadapan keduanya. Ketika mengetahui ‘Umar datang, Khabbab bersembunyi ke samping rumah. Fathimah mengambil lembaran-lembaran suci itu dan menyembunyikanya di bawah pahanya. ‘Umar sebenarnya telah mendengar lantunan ayat al-Qur’ān yang dibacakan Khabbab itu.

“Suara apa yang baru saja aku dengar?” tanya ‘Umar.

“Kami tidak mendengar apa-apa,” jawab keduanya

“Tidak, aku mendengarnya. Jangan sembunyikan apa pun dariku. Demi Tuhan, aku mendengar kabar jika kalian berdua telah mengikuti ajaran Muhammad dan mengingkari ajaran leluhur kita,” kata ‘Umar.

‘Umar lalu mendekati sepupunya, Sa‘d ibn Zaid, yang juga suami adiknya. Sa‘d dipukul hingga terpelanting.

“‘Umar!” seru Fathimah sambil berdiri untuk melindungi dan memeluk suaminya.

‘Umar lantas memukul Fathimah dan mencampakkannya.

“Ya! Kami berdua telah memeluk agama Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. ‘Umar, lakukan saja apa yang kau mau. Islam tetap tidak akan pernah lepas dari hati kami,” tegas Fathimah.

‘Umar tertegun mendengar kata-kata Fathimah. Ketika melihat darah bercucuran dari tubuh adiknya itu, ia menyesali perbuatannya dan menahan gejolak amarahnya.

“Mana lembaran-lembaran yang tadi kalian baca. Aku ingin mengerti apa yang telah dibawa Muhammad,” kata ‘Umar. Kali ini suaranya mulai melunak.

“Tidak. Kami takut engkau akan merusak lembaran-lembaran itu,” kata Fathimah.

“Jangan takut!” Aku tidak akan merobeknya. Aku bersumpah akan mengembalikan lembaran itu setelah aku baca.”

Ketika ‘Umar hendak mengambil dan membaca lembaran itu. Fathimah berkata: “Saudaraku! Engkau dalam keadaan tidak suci atas kemusyrikan dan kekafiranmu. Dan tidaklah menyentuh lembaran itu kecuali orang-orang yang tersucikan.”

Setelah ‘Umar melakukan mandi besar, Fathimah memberikan lembaran al-Qur’an itu. Di lembaran tersebut tertulis surah Thaha. ‘Umar yang cakap dalam susastra ‘Arab pun membacanya dengan saksama. “Alangkah eloknya kalimat-kalimat ini, betapa mulianya ajaran-ajaran yang dikandungnya. Sungguh, tak ada manusia yang mampu membuat kalam seiindah ini,” tutur ‘Umar setelah hanyut dalam bacaannya.

Mendengar ‘Umar berkata demikian, Khabbab yang semula bersembunyi keluar dan berkata: “Demi Allah, wahai ‘Umar, sesungguhnya aku sangat berharap engkaulah lelaki yang dimaksud dalam doa Rasulullah. Kemarin aku mendengar Muhammad berdoa: “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua lelaki ini, al-‘Umar al-Hakam ibn Hisyam atau ‘Umar ibn Khaththab.”

“Khabbab, antar aku menemui Muhammad. Aku ingin memeluk Islam di hadapannya,” kata ‘Umar.

“Muhammad berada di sebuah rumah di bukit Shafa bersama beberapa sahabatnya,” jawab Khabbab.

‘Umar mengambil pedangnya dan menyarungkannya. Ia beranjak menuju Rasulullah yang sedang bersama pamannya, Hamzah, Abu Bakar, ‘Ali ibn Abi Thalib, serta beberapa sahabat di rumah pengungsian Arqam (Bait al-Arqam) di bukit Shafa.

‘Umar mengetuk pintu. Hamzah bangkit melihat dari celah pintu. ‘Umar berdiri dengan menjinjing pedang. Hamzah kembali menuju Rasulullah dalam keadaan terkejut.

“Wahai Rasulullah, ‘Umar ibn Khaththab datang sambil menggenggam pedang,” kata Hamzah.

Rasulullah berkata: “Izinkan dia masuk. Bila bermaksud baik, kita akan menyambutnya. Bila bermaksud buruk, kita akan memenggalnya dengan pedangnya sendiri.

Hamzah membukakan pintu dan mempersilakan ‘Umar masuk. Rasulullah bangkit mendekati ‘Umar. “Ada apa, putra Khaththab?” tanya Rasulullah. “Demi Allah, aku tidak akan melihat kau menghentikan ulahmu hingga Allah menurunkan petaka kepadamu,” lanjut Rasul.

“Wahai Muhammad, aku datang untuk beriman kepada Allah, juga kepada rasul-Nya, dan kepada ajaran yang ia bawa dari-Nya,” jawab ‘Umar.

Rasulullah langsung bertakbir dan diikuti para sahabat. Takbir menggetarkan rumah Arqam. Seluruh sahabat di rumah itu mengetahui bahwa ‘Umar telah memeluk Islam. Mereka semua bahagia. (71)

Peristiwa itu terjadi tiga hari setelah Hamzah memeluk Islam, pada suatu hari di bulan Dzulhijjah tahun ke-6 kenabian. ‘Umar tercatat sebagai orang ke-40 yang memeluk Islam.

Karena masih sangat sedikit, umat Islam berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Mereka tak berani menampakkan kemuslimannya. ‘Umarlah orang pertama yang berani berdakwah dan mengumumkan keislamannya secara terang-terangan.

Keesokan hari setelah menyatakan keislamannya, ‘Umar mendatangi rumah Abu Jahal – seorang pembesar Quraisy yang dikenal sebagai penentang utama ajaran Muhammad. ‘Umar berkata kepada Abu Jahal: “Aku datang menemuimu untuk memberi tahu bahwa aku sudah beriman kepada Allah dan Muhammad, juga apa yang dibawanya.”

Abu Jahal naik pitam mendengarnya. Ia menyerapahi ‘Umar habis-habisan. “Celaka, laknat leluhur dan dewa-dewa ‘Arab untukmu, ‘Umar!”

‘Abdullah, putra ‘Umar, bercerita tentang keislaman sang ayah: ketika memeluk Islam, ‘Umar berkata: “Siapa di antara orang-orang Quraisy yang paling bagus dan tepercaya dalam berbicara, juga yang paling cepat menyampaikan berita?” Lalu dikatakan kepada ‘Umar: “Jamil ibn Mu‘ammar al-Jamhi.” Esoknya aku mengikuti jejak Ayah dan melihat apa yang dilakukannya. Waktu itu aku masih kecil tapi telah bisa memahami apa yang aku lihat dengan baik.

Akhirnya Jamil datang. ‘Umar berkata kepadanya: “Jamil, engkau tentu sudah tahu bahwa aku telah memeluk Islam.” Jamil bergeming dan tidak menanggapi perkataan ‘Umar. Ia segera berdiri dan menyingsingkan kain jubahnya, sementara ‘Umar mengikutinya. Jamil lalu berjalan hingga terhenti di hadapan pintu Ka‘bah dan berteriak kencang: “Wahai seluruh orang Quraisy, ‘Umar putra Khaththab telah meninggalkan agama nenek moyangnya.”

Orang-orang Quraisy yang tengah berkerumun di pelataran Ka‘bah berhamburan ke arah Jamil dan ‘Umar. ‘Umar kemudian berkata di belakang Jamil: “Sungguh, lelaki ini telah berdusta! Sesungguhnya aku telah memeluk agama Islam dan aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Mendengar kata-kata ‘Umar, orang-orang Quraisy berontak. ‘Umar dan orang-orang Quraisy silih bertikai dengan sengit sampai matahari tiba di ubun-ubun kepala. ‘Umar kelelahan menghadapi banyaknya orang Quraisy yang menyerangnya. Ia lalu duduk, sementara mereka berdiri mengelilingi ‘Umar.

“Lakukanlah apa yang kalian kehendaki!” tegas ‘Umar.

Tiba-tiba datang seorang lelaki tua dari klan Quraisy, dari puak ‘Adiy ibn Ka‘ab. Ia berbaju putih bersulam. Rupanya ia tetua yang dihormati di kalangan Quraisy. Ia lalu memasuki kerumunan.

“Apa gerangan yang terjadi?” tanya lelaki tua itu.

“Demi Tuhan, ‘Umar telah meninggalkan agama nenek moyangnya,” kata salah seorang Quraisy.

“Lantas apa urusan kalian jika ia meninggalkan agama nenek moyangnya? Sungguh, jangan sekali-kali kalian mengira jika puak ‘Adiy ibn Ka‘b akan menyerahkan salah satu turunannya begitu saja? Tinggalkan lelaki ini,” kata lelaki tua itu sembari menunjuk ke arah ‘Umar.

‘Adulullah, putra ‘Umar, melanjutkan ceritanya: Setelah berhijrah, aku bertanya kepada ayahku: “Ayah, siapa gerangan lelaki tua yang menggertak orang-orang Quraisy yang memerangimu di Makkah tempo hari ketika engkau menyatakan keislamanmu?” ‘Umar berkata: “Dia al-‘Ash ibn Wa’il al-Sahami – ayah sahabat ‘Amr ibn al-‘Ash.”

Teror Quraisy kepada ‘Umar terus berlanjut. ‘Umar memilih berdiam di rumah menunggu suasana mereda. ‘Abdullah menuturkan: ‘Umar berdiam di rumah karena khawatir akan teror Quraisy. Lalu ada seseorang mengetuk pintu. Dia adalah al-‘Ash ibn Wa’il al-Sahami – lelaki tua yang tempo hari menyelamatkan ‘Umar. Al-‘Ash adalah puak Sahm, sekutu puak ‘Umar sejak masa lampau. ‘Umar membukakan pintu untuknya dan menyambut kedatangannya.

‘Umar, apa gerangan yang menimpamu?” tanya al-‘Ash.

“Sungguh, golonganmu akan membunuhku jika aku memeluk agama Islam,” kata ‘Umar.

“Tidak, tidak akan.”

“Aku lega dengan jawabanmu yang ku anggap jaminan.”

Ketika al-‘Ash keluar rumah, ‘Umar merasa mendapat jaminan keamanan. Di perjalanan pulang al-‘Ash bertemu dengan segerombolan orang yang tengah tersulut amarah.

“Mau ke mana kalian?” tanya al-‘Ash.

“Kami hendak mencari ‘Umar putra Khaththab yang telah meninggalkan agama leluhur kami,” kata mereka.

“Lantas mengapa jika dia meninggalkan agama leluhur kalian?”

Karena merasa segan dengan al-‘Ash yang menunjukkan pembelaan kepada ‘Umar, gerombolan itu pun bubar.

 

Catatan:


  1. 7). Ibn Ishaq, Sīrah, Ibn Sa‘d, Thabaqāt (3/267/269), juga Abu Nu‘aim dalam al-Ḥilyah (1/40). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *