1-3-6 Hukum Berwudhu’ Dengan Air Perasan Kurma – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 003 Bab Air - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah keenam: Hukum berwudhu’ dengan air perasan kurma.

 

Abū Ḥanīfah di tengah-tengah kebanyakan pengikutnya, dan para ulama berbagai negeri, beliau tetap saja berpendapat bolehnya berwudhu’ dengan perasan kurma dalam perjalanan dengan dalil hadits Ibnu ‘Abbās:

أَنَّ ابْنَ مَسْعُوْدٍ خَرَجَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ (ص) لَيْلَةَ الْجِنِّ، فَسَأَلَهُ رَسُوْلُ اللهِ (ص)، فَقَالَ: هَلْ مَعَكَ مِنْ مَاءٍ؟ فَقَالَ: مَعِيْ نَبِيْذٌ فِيْ إِدَاوَةٍ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص): أَصْبُبْ، فَتَوَضَّأَ بِهِ وَ قَالَ: شَرَابٌ وَ طَهُوْرٌ.

Bahwa Ibnu Mas‘ūd keluar bersama Rasūlullāh s.a.w. pada malam peristiwa jin, lalu Rasūlullāh s.a.w. bertanya: “Apakah ada air bersamamu?” dia menjawab: “Aku punya perasan kurma dalam wadah air,” Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Kucurkanlah!” akhirnya beliau berwudhu’ dengannya, dan berkata: “Minuman dan penyuci.” (521).

Dan hadits Abū Rāfi‘, mantan budak Ibnu ‘Umar dari ‘Abdullāh bin Mas‘ūd dengan redaksi yang hampir sama, lalu Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

تَمْرَةٌ طَيَّبَةٌ وَ مَاءٌ طَهُوْرٌ.

Kurma yang baik, dan air yang suci.” (532).

Mereka mengatakan bahwa pendapat tersebut bersandar kepada para sahabat; ‘Alī dan Ibnu ‘Abbās, lalu tidak ada yang menyelisihinya dari kalangan sahabat sehingga bagaikan ijma‘ dari mereka.

Para ulama hadits menolak hadits ini karena lemah perawinya, dan telah diriwayatkan pada jalur yang lain bahwa Ibnu Mas‘ūd tidak bersama Nabi s.a.w. pada malam datangnya sekelompok jin. (543).

Jumhur ulama menolak hadits ini dengan dalil firman Allah:

فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا.

Lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (Qs. al-Mā’idah [5]: 6).

Mereka berkata: “Dalam ayat ini Allah tidak menjadikan jalan tengah antara air dan tanah.”

Demikian pula mereka berhujjah dengan sabda Nabi s.a.w.:

الصَّعِيْدُ الطَّيِّبُ وَضُوْءُ الْمُسْلِمِ وَ إِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ إِلَى عَشْرِ حَجَجٍ، فَإِذَا وَجَدَ الْمَاءَ فَلْيُمِسَّهُ بَشَرَتَهُ.

Tanah yang baik adalah alat berwudhu’ bagi seorang muslim, walaupun ia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun, lalu jika ia mendapatkan air maka kucurkanlah air itu ke kulitnya.” (554).

Mereka bisa saja berkata: “Dalam hadits, air tersebut dinamakan secara mutlak, sementara tambahan sama sekali tidak menuntut adanya penghapusan (naskh) sehingga bertentangan dengan al-Qur’ān.” Akan tetapi sebenarnya ini berseberangan dengan pendapat mereka yang menyatakan bahwasanya tambahan adalah naskh.

 

Catatan:


  1. 52). Dha‘īf. HR. Ibnu Mājah (385), Aḥmad (1/398), ath-Thahawī dalam Syarḥu Ma‘ān-il-Atsar (1/94), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (9961), ad-Dāruquthnī (1/76) dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī. 
  2. 53). Dha‘īf. HR. Abū Dāūd (84), at-Tirmidzī (88), Ibnu Mājah (384), Aḥmad (1/402), ad-Dāruquthnī (1/77), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (X/65) (9966, 9967), ad-Dāruquthnī berkata: “Di dalamnya ada al-Ḥusain bin ‘Ubaidillāh yang telah memalsukan hadits atas nama perawi-perawi yang tsiqah.” 
  3. 54). Shaḥīḥ. HR. Muslim (450), Abū Dāūd (85) secara ringkas, dan at-Tirmidzī (18, 4358). 
  4. 55). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (332, 333), at-Tirmidzī (124), an-Nasā’ī (1/171), Aḥmad (5/146, 155, 180), ath-Thayālisī (484), ad-Dāruquthnī (1/186, 187) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘ (3860) dan dalam al-Irwa’ (153). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *