Masalah keempat: Hukum sisa air setelah bersucinya laki-laki atau perempuan
Para ulama berbeda pendapat tentang air sisa bersuci dalam lima pendapat:
1. Air sisa thaharah adalah suci secara mutlak, ini adalah madzhab Imām Mālik, Syāfi‘ī, dan Abū Ḥanīfah.
2. Seorang lelaki bisa bersuci dengan sisa bersuci seorang perempuan selama bukan karena junub atau haidh.
3. Seorang lelaki bisa bersuci dengan sisa bersuci seorang perempuan selama bukan karena junub atau haidh.
4. Salah satu dari keduanya (lelaki dan perempuan) tidak bisa bersuci dengan sisa yang lainnya kecuali jika mereka berdua bersuci bersamaan.
5. Tidak boleh walaupun mandi secara bersamaan, ini adalah pendapat Aḥmad bin Ḥanbal.
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan berbagai atsar, jelasnya dalam masalah ini ada empat atsar:
Pertama:
أَنَّ النَّبِيَّ يَغْتَسِلُ مِنَ الْجَنَابَةِ هُوَ وَ أَزْوَاجُهُ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ.
“Bahwa Nabi s.a.w. mandi janabah bersama istri-istrinya dalam satu wadah.” (481).
Kedua: hadits Maimūnah:
أَنَّهُ اغْتَسَلَ مِنْ فَضْلِهَا.
“Bahwa beliau (Nabi) mandi dari sisanya.” (492).
Ketiga: hadits al-Ḥakam al-Ghifārī:
أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. melarang seorang lelaki berwudhu’ dengan sisa seorang perempuan (istri).” (503).
Keempat: hadits ‘Abdullāh bin Sarjis, dia berkata:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ (ص) أَنْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ، وَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ وَ لَكِنْ يَشْرَعَانِ جَمِيْعًا.
“Rasūlullāh s.a.w. melarang seorang lelaki (suami) mandi besar dengan sisa seorang perempuan, seorang perempuan (isrti) dengan sisa seorang lelaki, akan tetapi mandilah secara bersamaan.” (514).
Para ulama dalam memahami hadits-hadits ini terbagi menjadi dua kelompok:
1. Kelompok ulama yang mengunggulkan salah satu dari beberapa pendapat.
2. Kelompok ulama yang mengkompromikan sekaligus mengunggulkan pada hadits yang lainnya.
Ulama yang menganggap lebih kuat hadits pertama (yang menyatakan mandinya Nabi s.a.w. bersama istri-istrinya pada satu wadah) daripada hadits-hadits lainnya, mereka beralasan karena hadits itu disepakati ke-shaḥīḥ-annya, mereka tidak membedakan antara mandi berdua bersamaan atau mandi masing-masing dengan sisa yang lainnya, karena orang yang mandi bareng berarti mandi menggunakan sisa yang lainnya.
Mereka pun men-shaḥīḥ-kan hadits Maimūnah dan menganggap lebih kuat daripada hadits al-Ghifārī, ringkasnya mereka menyatakan sucinya bekas bersuci masing-masing secara mutlak.
Adapun ulama yang menganggap lebih kuat hadits al-Ghifārī daripada yang lainnya – ini adalah madzhab Abū Muḥammad bin Ḥazm – dan menggabungkan hadits al-Ghifārī dengan hadits pertama, mereka membedakan antara mandi bersamaan dengan mandi secara terpisah, salah satunya menggunakan sisa yang lain.
Dengan kata lain mereka hanya mengamalkan dua hadits ini saja, lalu mereka berpendapat bahwa seorang lelaki bisa bersuci bersama perempuan (istrinya) dalam satu wadah secara bersamaan, dan seorang lelaki tidak bisa bersuci menggunakan sisa perempuan, tetapi seorang perempuan bisa bersuci dengan menggunakan sisa lelaki.
Kemudian ulama yang mengkompromikan seluruh hadits kecuali hadits Maimūnah, mereka mengambil hadits ‘Abdullāh bin Sarjis, karena bisa digabungkan dengan hadits al-Ghifārī dan hadits mandinya Rasūlullāh dalam satu wadah bersama istri-istrinya, dengan tambahan bahwa seorang perempuan tidak bisa berwudhu’ dengan sisa seorang lelaki, sayangnya pendapat ini bertentangan dengan hadits Maimūnah yang diriwayatkan oleh Muslim, akan tetapi sebagian telah menganggapnya mu‘allal (cacat) sebagaimana telah kami katakan, yaitu bahwa sebagian perawinya berkata: “Prasangka kuat saya atau sepengetahuan saya bahwa Abū Sya‘tsa meriwayatkannya kepadaku.”
Adapun ulama yang berpendapat salah seorang dari keduanya (suami istri) tidak boleh menggunakan sisa yang lainnya, tidak pula mandi secara bersamaan, barang kali belum sampai kepadanya hadits-hadits tersebut, kecuali hadits al-Ghifārī, dan menganalogikan laki-laki kepada perempuan.
Lalu ulama yang berpendapat larangan menggunakan sisa air mandi junub seorang perempuan dan haidhnya saja, sama sekali tidak kami ketahui hujjahnya, hanya saja hal itu diriwayatkan dari sebagian salaf, saya kira Ibnu ‘Umar.
Catatan: