Masalah keempat: Hukum sisa air minum.
Para ulama sepakat bahwa air sisa minum kaum muslimin dan binatang ternak adalah suci, lalu mereka berbeda pendapat pada selain keduanya:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa setiap sisa-sisa hewan adalah suci.
2. Sebagian ulama lainnya memberikan pengecualian hanya kepada babi.
Kedua pendapat ini diriwayatkan dari Mālik.
3. Ulama yang lain memberikan pengecualian kepada anjing dan babi, ini adalah pendapat Syāfi‘ī.
4. Ada juga ulama yang memberikan pengecualian kepada semua binatang buas secara umum, ini adalah madzhab Ibnu Qāsim.
5. Ada juga ulama yang menyatakan bahwa sisa-sisa air sesuai dengan hukum dagingnya, jika dagingnya haram dimakan maka sisa-sisanya pun najis, jika makruh maka sisa-sisanya pun makruh, dan jika mubah maka sisa-sisanya pun suci.
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa itu adalah najis.
2. Sebagian ulama lainnya menyatakan makruh jika dia peminum khamer. Ini adalah pendapat Ibn-ul-Qāsim.
Demikian pula semua air sisa minum hewan yang biasa terkena najis, seperti ayam yang dilepas, onta yang biasa makan barang najis, dan anjing yang dilepas di luar.
Sebab perbedaan pendapat: Dalam masalah ini ada tiga macam:
Pertama, qiyas yang bertentangan dengan zhahir ayat.
Kedua, qiyas yang bertentangan dengan zhahir atsar.
Ketiga, kontradiksi yang terjadi antara atsar satu dengan lainnya.
Perihal qiyas adalah ketika kematian menjadi sebab najisnya hewan yang tidak disembelih berdasarkan syara‘, maka begitu pula hidup merupakan sebab sucinya hewan, jika demikian maka setiap yang hidup adalah suci, dan setiap sisa-sisa minumnya sesuatu yang suci adalah suci.
Sementara zhahir ayat telah bertentangan dengan qiyas seperti ini, tepatnya tentang babi dan orang musyrik, Allah s.w.t. berfirman tentang babi:
فَإِنَّهُ رِجْسٌ.
“Karena sesungguhnya semua itu kotor.” (Qs. al-An‘ām [6]: 145).
Sesuatu yang pada dasarnya kotor, ia pun pada dasarnya najis, karena itulah sebagian ulama hanya memberikan pengecualian kepada babi.
Sementara orang yang tidak memberikan pengecualian memahami kata (رِجْسٌ) hanya sebagai celaan.
Adapun musyrik diterangkan dalam firman-Nya:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ.
“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis.” (Qs. at-Taubah [9]: 28).
Ulama yang memahaminya secara zhahir mengeluarkan orang-orang musyrik dari tuntutan qiyas, dan orang yang memahaminya sebagai celaan memasukkannya ke dalam qiyas.
Beberapa atsar kontra dengan qiyas tentang hukum sisa minum anjing, kucing dan binatang buas.
Atsar tentang anjing diriwayatkan dari Abū Hurairah yang disepakati ke-shaḥīḥ-annya, Nabi s.a.w. bersabda:
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ.
“Jika anjing menjilat wadah milik salah seorang diri kalian, maka tumpahkanlah airnya, kemudian cucilah (wadahnya) sebanyak tujuh kali.” (391).
Dalam sebagian riwayat:
أُوْلَاهُنَّ بِالتُّرَابِ.
“Pertamanya dengan tanah.” (402).
Dan yang lain:
وَ عَفِّرُوْهُ الثَّامِنَةَ بِالتُّرَابِ.
“Dan lumurilah pada kedelapan kalinya dengan tanah.” (413).
Tentang kucing, diriwayatkan oleh Qurrah dari Ibnu Sīrīn dari Abū Hurairah, dia berkata, Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
طَهُوْرُ الْإِنَاءِ إِذَا وَلَغَ فِيْهِ الْهِرُّ أَنْ يُغْسَلَ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ.
“Mensucikan wadah jika dijilat oleh kucing adalah dengan dicuci sebanyak satu atau dua kali.” (424).
Adapun binatang buas, dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar yang sudah disebutkan sebelumnya dari bapaknya, beliau berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الْمَاءِ وَ مَا يَنُوْبُهُ مِنَ السِّبَاعِ وَ الدَّوَابِّ؟ فَقَالَ: إِنْ كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا.
“Rasūlullāh s.a.w. ditanya tentang air yang suka diminum mundar-mandir oleh binatang buas dan hewan biasa?” Lalu beliau menjawab: “Jika air itu ada dua qullah maka ia tidak akan membawa najis.” (435).
Adapun adanya kontradiksi pada beberapa atsar dalam masalah ini di antaranya:
أَنَّ الرَّسُوْلَ (ص) سُئِلَ عَنِ الْحِيَاضِ الَّتِيْ بَيْنَ مَكَّةَ وَ الْمَدِيْنَةِ تَرِدُهَا الْكِلَابُ وَ السِّبَاعُ وَ الدَّوَّابُ، فَقَالَ لَهَا مَا حَمَلَتْ فِيْ بُطُوْنِهَا وَ لَكُمْ مَا غَبَرَ شَرَابًا طَهُوْرًا.
“Bahwa Rasūlullāh s.a.w. ditanya tentang kolam yang berada antara Makkah dan Madīnah, anjing dan binatang buas juga binatang biasa yang minum darinya, lalu beliau menjawab: “Untuknya apa yang ada di dalam perutnya, dan untuk kalian apa yang tersisa sebagai minuman yang suci.” (446).
Serupa dengan hadits ini apa yang diriwayatkan dari ‘Umar oleh Mālik dalam al-Muwaththa’, yaitu ucapan:
يَا صَاحِبَ الْحَوْضِ لَا تُخْبِرْنَا فَإِنَّهَا نَرِدُ عَلَى السِّبَاعِ وَ تَرِدُ عَلَيْنَا.
“Wahai pemilik kolam, janganlah engkau mengabarkannya kepada kami, karena sesungguhnya kami minum mendahului binatang buas, dan dia pun minum mendahului kami.” (457).
Demikian pula hadits Abū Qatādah yang diriwayatkan oleh Mālik bahwa Kabsyah (468) mengucurkan air wudhu’ kepadanya, lalu datang kucing, ia kemudian memberikan wadah sehingga kucing tersebut minum darinya, dia berkata: “Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِيْنَ عَلَيْكُمْ وَ الطّوَّافَاتِ.
“Sesungguhnya dia tidak najis, karena termasuk binatang yang sering berkeliaran di antara kalian, maka hewan itu tidak mengapa bagi kalian.” (479).
Para ulama berbeda pendapat mengenai tafsiran atsar ini dan cara mengkompromikannya dengan qiyas yang telah disebutkan.
1. Mālik berpendapat bahwa perintah membuang (air) bekas jilatan anjing dan mencuci wadahnya merupakan ibadah yang tidak bisa dipahami oleh akal.
Demikian pula pendapat yang masyhur dari beliau adalah tidak ada yang wajib dibuang kecuali air bekas jilatan anjing, sebab bertentangan dengan qiyas, demikian pula adanya dugaan jika anjing itu dipahami najis secara dzatnya maka akan bertentangan dengan firman Allah s.w.t.:
فَكُلُوْا مِمَّا أَمْكْنَ عَلَيْكُمْ.
“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 4).
Maksudnya jika anjing itu najis secara dzatnya maka binatang buruannya pun akan najis, tafsiran ini pun diperkuat dengan adanya aturan menyucikan yang terkena jilatan anjing dengan jumlah (tujuh kali), padahal menyucikan najis pada dasarnya tidak disyaratkan dengan jumlah, karena itu Mālik berkata: “Bahwa basuhan tersebut adalah ibadah,” dan tidak memandang atsar-atsar lainnya karena kelemahannya menurut Mālik.
2. Imām Syāfi‘ī memberikan pengecualian terhadap anjing, dan berpendapat bahwa zhahir hadits ini menunjukkan najisnya jilatan anjing, menurut saya (Ibnu Rusyd) liurnyalah yang najis bukan anjing itu sendiri, dengan demikian binatang buruan anjing wajib dibasuh, demikian pula dia memberikan pengecualian terhadap babi karena adanya ayat yang menjelaskan hukumnya.
3. Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa yang dipahami dari berbagai atsar tentang najisnya jilatan binatang buas, kucing dan anjing adalah karena dagingnya yang haram, dan ini termasuk ungkapan khusus yang mengandung makna umum, ringkasnya beliau berkata: “Bekas-bekas jilatang adalah mengikuti daging hewan tersebut.”
4. Sementara ulama yang lainnya memberikan pengecualian terhadap anjing, kucing dan binatang buas dengan landasan zhahir hadits yang menjelaskan hal itu.
5. Ada lagi kelompok ulama lain menyatakan sucinya jilatan anjing dan kucing, dan menggecualikan binatang buas saja, adapun bekas jilatan anjing dianggap suci alasannya adalah hanya disyaratkan membasuhnya, juga karena bertentangan dengan zhahir kitab dan hadits Abū Qatādah, sementara alasan tidak najisnya kucing adalah karena termasuk binatang jinak yang biasa ada di rumah-rumah, anjing pun demikian.
Adapun alasan tidak najisnya jilatan kucing adalah anggapan bahwa hadits Abū Qatādah lebih kuat daripada hadits Qurrah dari Ibnu Sīrīn, demikian pula menganggap lebih kuat hadits Ibnu ‘Umar daripada hadits ‘Umar dan yang semakna dengannya; hadits Abū Qatādah yang ditentang oleh dalīl khithāb, jelasnya alasan najisnya kucing adalah termasuk hewan jinak, artinya jika tidak jinak – hewan buas – maka jilatannya adalah haram, di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Qāsim.
Al-Qādhī berkata: “Sebagian hadits ini diamalkan sementara yang lainnya tidak (maksudnya, yang tidak bertentangan dengan kaidah ushul diambil, sementara yang bertolak belakang tidak diambil), ini adalah kebiasaan mereka saat menolak hadits aḥad jika bertentangan dengan ushul (pokok-pokok syari‘at).”
Inilah ragam masalah yang menggerakkan para ulama fikih sehingga berbeda pendapat dalam pembahasan ini, bahkan mengantarkan mereka kepada berpecah-belah, padahal masalahnya adalah ijtihādiyyah yang sulit untuk dicarikan mana yang lebih kuat; yang lebih kuat menurut kami adalah adanya pengecualian dari sucinya jilatan hewan, yaitu: anjing, babi, dan orang musyrik karena shaḥīḥ-nya atsar yang menjelaskan anjing, dan karena zhahir kitab lebih pantas diikuti dalam masalah najisnya babi dan orang musyrik dari sekedar qiyas, demikian pula zhahir hadits, inilah pendapat yang dipegang oleh kebanyakan ulama fikih (yaitu najisnya bekas jilatan anjing), dengan alasan bahwa perintah membersihkan bekas jilatan anjing adalah sesuai dengan syara‘ karena najisnya air yang dijilatnya (maksudnya, yang dipahami secara kebiasaan dari hukum syara‘ jika memerintahkan untuk membuang air dan membasuh bekasnya adalah karena kenajisannya).
Lalu bantahan mereka yang menyatakan jika alasannya adalah najisnya wadah maka tidak akan ada syarat bilangan, jiwabannya adalah ini tidak aneh cara khusus yang ditetapkan syara‘ mengisyaratkan bobot najis tersebut.
Al-Qādhī berkata: “Sementara kakek saya – raḥimahullāh – dalam kitabnya al-Muqaddimah berpendapat bahwa hadits ini logis bukan karena anjing itu najis, akan tetapi dikhawatirkan kalau yang menjilatnya adalah anjing gila, yang ditakutkan menebarkan racun, ia berkata: “Karena itulah disyaratkan tujuh kali basuhan, sebab, jumlah ini telah digunakan dalam hukum pada banyak kesempatan dalam mengobati berbagai penyakit”.”
Dan yang ia – raḥimahullāh – sebutkan ini adalah sisi baik metode madzhab Mālikī, karena jika kita mengatakan air bekas jilatan anjing tidak najis, maka yang lebih utama adalah memberikan alasan kenapa harus dibasuh daripada hanya mengatakan bahwa ayat tersebut tidak beralasan, maksudnya suci dengan sendirinya.
Pendapat ini pun telah dibantah dengan apa yang saya dapatkan dari beberapa ulama bahwa anjing gila tidak akan pernah mendekati air ketika kambuh penyakitnya. Perkataan mereka benar jika anjing itu berpenyakit, bukan saat pertama kali terjangkit penyakitnya atau di akhir. Karenanya tidak pantas untuk dijadikan penentang.
Disamping itu, dalam hadits tersebut tidak disebutkan lafazh air, yang disebut hanyalah wadah, barang kali dalam sisa jilatannya itu ada sesuatu yang membahayakan (walaupun tidak berpenyakit rabies atau gila), dalam syariat hal seperti itu tidak dianggap aneh, sama saja dengan masalah lalat yang jatuh ke dalam makanan lalu dimasukkan semuanya, alasannya adalah bahwa pada salah satu sayapnya ada penyakit, sementara pada sayap yang lainnya adalah obat.
Adapun pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah anjing yang dilarang untuk dipelihara, atau anjing kota, pendapat ini sangat lemah, kecuali jika seseorang berkata: “Bahwa larangan tersebut menunjukkan tidak bagusnya dalam memeliharanya,”
Catatan: