Masalah ketiga: Air musta‘mal (yang sudah terpakai).
Mengenai air musta‘mal yang digunakan dalam thaharah para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian ulama membolehkan bersuci dengannya dalam berbagai keadaan, ini adalah pendapat Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah.
2. Sebagian ulama lain memakruhkannya, akan tetapi tidak membolehkan tayammum selama air tersebut didapatkan, ini adalah pendapat Imām Mālik dan pengikutnya.
3. Sebagian ulama lainnya tidak melihat adanya perbedaan antara air musta‘mal dengan air mutlak, inilah pendapat yang dipegang oleh Abū Tsaur, Dāūd, dan para pengikutnya.
Sementara Abū Yūsuf mengeluarkan pendapat yang syādz, bahwa air musta‘mal adalah najis.
Sebab perbedaan pendapat: Adanya dugaan bahwa air musta‘mal tidak termasuk dalam kategori air mutlak, bahkan sebagian dari mereka melebihi batas sehingga menyatakan bahwa air musta‘mal lebih pantas dinamakan air bekas cucian daripada air, padahal diriwayatkan bahwa para sahabat berlomba-lomba dalam mendapatkan air bekas wudhu’ Nabi s.a.w., (381) dengan demikian mesti air musta‘mal tersebut jatuh pada air yang masih tersisa.
Secara umum, air musta‘mal adalah air mutlak karena biasanya masih bisa dipakai selama salah satu sifatnya tidak berubah dengan kotoran anggota badan yang dibasuh, jika telah berubah maka hukumnya sama dengan air yang berubah salah satu sifatnya dengan sesuatu yang suci, walaupun secara psikologis sulit diterima, artinya layak hanya dilihat dari sisi hukum makruh.
Adapun yang berpendapat bahwa air musta‘mal adalah najis sama sekali tida ada dalilnya.
Catatan: