1-3-2 Air Yang Berubah – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 003 Bab Air - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah kedua: Air yang berubah.

 

Air yang tercampur minyak ja‘faran atau segala macam benda suci yang biasanya bisa dipisahkan, jika semua itu bisa merubah salah satu sifat air maka airnya tetap suci menurut semua ulama, akan tetapi tidak menyucikan menurut Mālik dan Syāfi‘ī, dan menyucikan menurut Abū Ḥanīfah selama perubahannya bukan dengan dimasak.

Sebab perbedaan pendapat: Tidak jelasnya cakupan air mutlak untuk air yang tercampur hal-hal seperti ini (maksudnya apakah masih dikatakan air mutlak jika tercampur dengan hal-hal seperti di atas tadi).

1. Sebagian ulama yang menyatakan bahwa air yang bercampur tersebut tidak masuk dalam kategori air mutlak, akan tetapi dihubungkan kepada campurannya, kita sebut air ja‘faran atau lainnya, bukan air mutlak, menurut mereka air ini tidak bisa digunakan untuk berwudhu’, karena berwudhu’ hanya menggunakan air mutlak.

2. Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa air bercampur tersebut masih dalam kategori air mutlak, mereka membolehkan berwudhu’ dengannya.

Begitu juga karena tidak adanya penamaan air mutlak bagi air yang dimasak dengan sesuatu yang suci, maka mereka sepakat tidak boleh berwudhu’ dengan air tersebut, demikian pula air yang disarikan dari berbagai tumbuhan kecuali dalam kitab Ibnu Sya‘ban yang membolehkan bersuci pada hari Jum‘at dengan air mawar.

Yang benar adalah tergantung banyak dan sedikitnya campuran, terkadang karena banyaknya campuran, maka air tersebut keluar dari kategori air mutlak seperti air cucian, khususnya ketika hanya baunya saja yang berubah, karena itulah sebagian ulama tidak menjadikan bau sebagai alasan tidak bolehnya menggunakan air yang tercampur hal lain, sementara Rasūlullāh s.a.w. telah bersabda kepada Ummu ‘Athiyyah ketika memerintahkannya untuk memandikan (jenazah) putrinya:

اِغْسِلْنَهَا بِمَاءٍ وَ سِدْرٍ وَ اغْسِلْنَهَا وَ اجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ.

Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan basuhlah di akhirnya dengan menggunakan (campuran air) kafur atau sedikit kafur.” (371).

Ini adalah air yang tercampur, hanya saja campuran tersebut tidak menjadikannya keluar dari kategori air mutlak.

Telah diriwayatkan dari Mālik adanya kaitan banyak dan sedikitnya campuran dalam masalah ini, juga perbedaan di antara keduanya, beliau menyatakan boleh jika campurannya sedikit walaupun sifat-sifatnya nampak.

 

Catatan:


  1. 37). Muttafaq ‘alaihi. HR. oleh al-Bukhārī (1253, 1254, 1256, 1257, 1258, 1259, 1260,1262, 1263), Muslim (939), Abū Dāūd (3142, 3144, 3145), at-Tirmidzī (990), an-Nasā’ī (4/28, 30, 31), Ibnu Mājah (1458, 1459), Aḥmad (5/84, 85) (6/407, 408), Sementara lafazh al-Bukhārī adalah: اِغْسِلْهَا ثَلَاثًا أَوْ خَمْسًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذلِكَ، إِنْ رَأَيْتُنَّ بِمَاءٍ وَ سِدْرٍ وَ اجْعَلْنَ فِي الْآخِرَةِ كَافُوْرًا أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُوْرٍ، فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِيْ، قَالَتْ: فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ فَأَلْقَى إِلَيْنَا حِقْوَهُ، فَقَالَ: أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ.Mandikanlah tiga kali atau lima kali atau lebih banyak, jika kamu mau mandikanlah dengan air dan dua bidara, dan di akhir gunakanlah (campuran air) kafur atau sedikit kafur, jika kalian telah selesai beritahu aku!” dia berkata: ketika kami selesai kami mengabarkan kepada beliau, lalu Nabi s.a.w. memberikan kainnya seraya berkata: “Pakailkanlah kepadanya.” 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *