Bab III
Air
Landasan wajibnya bersuci dengang air adalah firman Allah s.w.t.:
وَ نُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ.
“Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.” (QS. al-Anfāl [8]: 11).
Dan firman-Nya:
فَلَمْ تَجِدُوْا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْدًا طَيِّبًا
“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayammumlah kamu dengan tanah yang baik (suci).” (QS. an-Nisā’ [4]: 43).
Semua ulama telah sepakat bahwa semua macam air adalah suci dan menyucikan kecuali air laut menurut pendapat syadz yang menentangnya pada kurun pertama, padahal, pendapat mereka terbantahkan dengan penamaan air mutlak yang mencakupnya, demikian pula dengan atsar yang diriwayatkan oleh Imām Mālik, tepatnya sabda Rasūlullāh s.a.w. tentang air laut:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (301).
Walaupun hadits ini diperdebatkan ke-shaḥīḥ-annya akan tetapi zhahir syara‘ justru mendukungnya. Demikian pula ulama sepakat bahwa unsur yang bisa merubah sifat air walaupun biasanya tidak bisa terpisah, mereka bersepakat bahwa unsur tersebut tidak bisa menghilangkan sifat kesucian, dan tetap mensucikan kecuali pendapat yang syadz tentang air Ajin (312) dari Ibnu Sīrīn, pendapat ini pun dibantah dengan penamaan air mutlaq yang mencakupnya.
Kemudian ulama juga sepakat bahwa air yang rasa, warna dan baunya berubah karena najis tidak bisa digunakan untuk berwudhū’ atau bersuci, begitupun jika yang berubahnya lebih dari satu sifat yang disebutkan tadi.
Inilah berbagai hal yang disepakati, lalu mereka berbeda pendapat dalam enam masalah yang berlaku sesuai dengan kaidah dan ushul:
Masalah pertama: Air yang terkena najis.
Para ulama berbeda pendapat tentang air yang telah tercampur dengan najis akan tetapi salah satu sifatnya tidak berubah:
1. Sebagian ulama berpendapat bahwa air tersebut tetap suci baik air itu sedikit ataupun banyak, ini adalah salah satu riwayat Mālik, dan pendapat inilah yang dipegang oleh ahli zhahir.
2. Sebagian ulama yang lain membedakan antara air banyak dan sedikit, mereka berpendapat jika airnya sedikit maka air itu menjadi najis, dan jika air itu banyak maka air itu tidak menjadi najis. Merekapun berbeda pendapat mengenai batasan banyak dan sedikitnya air:
a. Abū Ḥanīfah memberikan batasan bahwa yang disebut air banyak adalah jika air itu berada dalam satu wadah (kolam) lalu salah seorang menggerakan salah satu tepinya maka gerakan tersebut tidak akan sampai ke tepi yang lainnya.
b. Syāfi‘ī berpendapat bahwa batasan banyak adalah dua qullah dengan ukuran qullah Ḥajar, tepatnya sama dengan lima ratus liter.
c. Ulama lainnya tidak memberikan batasan, akan tetapi mereka berkata: “Bahwa najis dapat merusak air yang sedikit walaupun salah satu sifatnya tidak berubah”, pendapat ini diriwayatkan dari Imām Mālik.
Diriwayatkan pula bahwa kondisi air seperti ini adalah dihukumi makruh. Jadi pendapat Imām Mālik tentang air yang terkena sedikit najis bisa diringkas menjadi tiga pendapat: Pertama, bahwa najis dapat merusak air. Kedua, tidak merusaknya selama tidak merubah salah satu sifat air. Ketiga, air tersebut adalah makruh.
Sebab perbedaan pendapat: Adanya kontradiksi antara beberapa hadits yang menjelaskannya.
Yaitu, hadits dari Abū Hurairah yang terdahulu, yaitu:
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ……
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya……” (323).
Dari hadits ini dipahami bahwa sedikitnya najis bisa menjadikan air yang sedikit menjadi najis.
Demikian pula hadits Abū Hurairah yang shaḥīḥ dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:
لَا يَبُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ يَغْسِلُ فِيْهِ.
“Janganlah salah seorang di antara kalian buang air kecil pada air yang tergenang, kemudian dia mandi dengannya.” (334).
Dari Zhahir haditsnya dipahami bahwa sedikitnya najis pada air yang sedikit bisa menjadikan air itu najis. Demikian pula riwayat yang menjelaskan larangan mandi bagi orang yang junub dengan air yang tergenang.
Adapun hadits Anas yang shaḥīḥ:
أَنَّ أَعْرَابِيًّا قَالَ إِلَى نَاحِيَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَبَالَ فِيْهَا، فَصَاحَ بِهِ النَّاسُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) دَعُوْهُ، فَلَمَّا فَرَغَ أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ (ص) بِذَنُوْبٍ فَصُبَّ عَلَى بَوْلِهِ.
“Sesungguhnya seorang Badui berdiri menuju pojok masjid lalu ia buang air kecil di sana, orang-orang pun meneriakinya, kemudian Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Biarkanlah dia,” setelah selesai Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan untuk mengambil satu ember air lalu disiramkan ke (tempat) yang ada air seninya.” (345).
Zhahir dari hadits ini menunjukkan bahwa sedikitnya najis tidak membuat air yang sedikit menjadi najis, karena maklum adanya bahwa tempat tersebut bisa suci dengan air seember.
Demikian pula hadits Abū Sa‘īd al-Khudrī yang diriwayatkan oleh Abū Dāūd, beliau berkata:
سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ (ص) يُقَالُ لَهُ: إِنَّهُ يَسْتَقِيْ مِنْ بِئْرِ بُضَاعَةَ، وَ هِيَ بِئْرٌ فِيْهَأ لُحُوْمُ الْكِلَابِ، وَ الْمَحَائِضُ وَ عَذَرَةُ النَّاسِ، فَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ: إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ.
“Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. dikatakan kepadanya, bahwa ia mengambil air dari sumur Budhā‘ah, sebuah sumur pembuangan daging anjing, darah haidh, dan kotoran manusia, lalu Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya air itu tidak menjadi najis oleh sesuatu apa pun”.” (356).
Lalu para ulama berusaha mengkompromikan beberapa hadits ini, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam cara pengkompromiannya, sehingga timbullah beberapa pendapat.
Sebagian ulama yang berpegang dengan zhahir hadits Badui dan hadits Abū Sa‘īd al-Khudrī, berpendapat bahwa kedua hadits Abū Hurairah menjelaskan dua hal yang tidak bisa dipahami oleh akal, sehingga mengamalkannya merupakan ibadah, bukan karena air tersebut menjadi najis, bahkan azh-Zhāhiriyyah berlebihan dalam menyikapi hal ini, mereka berkata: “Jika seseorang menyiramkan air seember pada air kencing maka tidak dimakruhkan mandi dan berwudhu’ dengannya,” ulama yang berpendapat demikian melakukan pemaduan dalil seperti ini.
Sementara ulama yang memakruhkan air yang sedikit tercampur oleh sedikit najis, mengkompromikan berbagai hadits, mereka memahami dua hadits Abū Hurairah dengan hukum makruh, sementara hadits Badui dan Abū Sa‘īd dipahami secara zhahir (yakni boleh).
Adapun Syāfi‘ī, dan Abū Ḥanīfah mengkompromikan hadits Abū Hurairah dan hadits Abū Sa‘īd dengan pemahaman bahwa yang dimaksud dalam kedua hadits Abū Hurairah adalah air yang sedikit, sementara yang dimaksud dalam hadits Abū Sa‘īd adalah air yang banyak.
Adapun masalah ukuran, Imām Syāfi‘ī memahaminya berdasarkan sebuah riwayat dari hadits ‘Abdullāh bin ‘Umar dari bapaknya, yang diriwayatkan oleh Abū Dāūd, at-Tirmidzī dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥazm, dia berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ عَنِ الْمَاءِ وَ مَا يَنُوْبُهُ مِنَ السِّبَاعِ وَ الدَّوَابِّ؟ فَقَالَ: إِنَّ كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِبْ خَبَثًا.
“Rasūlullāh s.a.w. ditanya tentang air yang suka diminum mundar-mandir oleh binatang buas dan hewan biasa?” Lalu beliau menjawab: “Jika air itu ada dua qullah maka ia tidak akan membawa najis.” (367).
Abū Ḥanīfah memahami ukurannya itu dengan menggunakan qiyas, yaitu bahwa tersebarnya najis dalam air dengan tersebarnya gerakan pada air tersebut, lalu jika ada dugaan bahwa gerakan tersebut tidak akan tersebar pada seluruh bagian air maka air tersebut tetap suci walaupun terkena najis.
Akan tetapi kedua kelompok ini bertentangan dengan hadits Badui tadi, karena itulah Imām Syāfi‘ī membedakan antara mengucurkan air kepada najis dan menimpakan najis ke dalam air, mereka berkata: “Jika air tersebut dikucurkan kepada najis maka tidak menjadi najis seperti yang dikisahkan dalam hadits Badui, dan jika najis yang ditimpakan ke dalam air maka air itu menjadi najis, seperti yang dijelaskan dalam hadtis Abū Hurairah.”
Jika demikian halnya maka bisa saja sebagian air ketika terkena najis akan menjadi najis karena masuknya najis ke dalam air, lalu sebaliknya jika air tersebut menimpa najis yang sedikit maka dimaklumi bahwa sebagian dari najis tersebut bisa hilang sedikit demi sedikit, yang pada akhirnya semua najis akan hilang sebelum habisnya semua air, dengan demikian bagian terakhir dari air telah menyucikan tempat (wadahnya), karena air yang dikucurkan kepada najis bagaikan air banyak dengan najis yang sedikit, jika itu diketahui dengan pasti bahwa najis tersebut telah hilang (yakni ketika air terakhir menimpa sisa bagian/tempat yang terkena najis), karena itulah ulama sepakat bahwa ukuran yang bisa digunakan untuk berwudhu’ bisa digunakan untuk membersihkan percikan air seni yang terkena pakaian atau badan, lalu mereka berbeda pendapat jika percikan air tersebut terkena air.
Pendapat yang paling utama menurutku adalah mengkompromikan antara berbagai hadits, yaitu memahami hadits Abū Hurairah dan yang semakna dengannya dengan makruh, sementara hadits Abū Sa‘īd al-Khudrī dinilai sebagai mubah, karena penafsiran seperti ini bisa menetapkan makna zhahir dari keduanya (maksudnya adalah kedua hadits Abū Hurairah bahwa najis memiliki pengaruh terhadap air).
Batasan makruh menurut saya (Ibnu Rusyd) adalah jika jiwa merasakannya jijik, artinya segala air yang dianggap jijik saat diminum tentu tidak layak digunakan untuk beribadah kepada Allah, dan jika badan merasa jijik menyentuhnya maka jiwa pun akan menjauhinya.
Adapun bagi sebagian ulama yang berhujjah, jika najis sedikit bisa merubah sedikit air menjadi najis maka selamanya kita tidak akan mendapatkan air yang mensucikan, alasannya bahwa air yang terpisah jika digunakan untuk membersihkan najis adalah dalam keadaan najis. Pendapat ini tidak bisa diterima, alasannya air terakhir yang digunakan untuk membersihkan sisa bagian najis adalah bagaikan air banyak yang mensucikan najis sedikit.
Walaupun pendapat di atas mengejutkan banyak ulama di kurun terakhir, tapi dapat kita pastikan bahwa air yang banyak bisa merubah bagian/tempat yang terkena najis menjadi suci, karena itulah pada ulama telah sepakat bahwa air yang banyak tidak akan rusak oleh najis yang sedikit.
Ketika seseorang terus-menurus mengucurkan air ke tempat atau anggota badan yang terkena najis, secara otomatis air tersebut akan merubahnya menjadi suci karena air dalam volume yang banyak, terlepas apakah mengucurkan air yang banyak sekaligus atau sedikit demi sedikit, artinya mereka berhujjah dengan sesuatu yang telah disepakati dalam masalah yang diperdebatkan sementara mereka tidak merasakan hal itu, padahal keduanya sangatlah jelas.
Inilah yang saya ketahui tentang masalah ini dari sisi sebab perbedaan pendapat, dan menentukan pendapat yang paling kuat di antara berbagai pendapat, saya ingin sekali menempuh cara ini untuk semua pembahasan dalam kitab, akan tetapi hal itu membutuhkan banyak waktu, yang penting tujuan dari penulisan kitab ini tercapai, lain waktu mudah-mudahan Allah memberikan kesempatan kepada kami untuk menyempurnakannya.
Catatan: