Hati Senang

1-2-7-3 Mengusap Dua Khuf – Masalah 6 & 7 – Tata Cara Berwudhu’ – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd


Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Masalah keenam: Syarat mengusap khuf.

Syarat mengusap khuf adalah kedua kaki dalam keadaan suci dengan berwudhū’, hal ini sudah disepakati kecuali satu pendapat yang syadz, yang diriwayatkan dari Ibnu Qāsim dari Mālik, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Abī Lailā dalam al-Muntakhab.

Kebanyakan ulama mengatakan demikian berlandaskan hadits Mughīrah dan yang lainnya ketika ia hendak melepaskan khufnya, Nabi s.a.w. berkata kepadanya:

دَعْهَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا وَ هُمَا طَاهِرَتَانِ.

Biarkanlah karena aku memasukan keduanya ketika dalam keadaan suci.” (281).

Sementara yang menentang memahami bersuci dalam hadits ini dalam arti bersuci secara bahasa. (292).

Terkait dengan masalah ini para ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang membasuh kakinya, lalu memakai khuf yang dilanjutkan dengan menyempurnakan wudhū’nya, apakah boleh baginya mengusap khuf.

  1. Ulama yang berpendapat bahwa tertib (berurutan) bukan suatu kewajiban dan thahārah tetap sah bagi setiap anggota wudhū’ walaupun semua anggota belum ditunaikan secara sempurna, mereka berpendapat boleh.
  2. Ulama yang berpendapat bahwa tertib merupakan kewajiban dan thahārah satu anggota tidak sah sebelum semua anggotanya sempurna disucikan, mereka berpendapat tidak boleh.

Pendapat pertama dipegang oleh Abū Ḥanīfah, sementara pendapat kedua dipegang oleh Imām Syāfi‘ī dan Mālik, hanya saja Imām Mālik tidak berpendapat demikian karena wajibnya tertib, melainkan beliau berpendapat bahwa thahārah satu anggota wudhū’ tidak sempurna kecuali setelah sempurnanya thaharah untuk semua anggota, Nabi s.a.w. bersabda: “Dan keduanya dalam keadaan suci”, beliau menjelaskan thahārah secara hukum syara‘, dan dalam sebagian riwayat al-Mughīrah:

إِذَا أَدْخَلْتَ رِجْلَيْكَ فِي الْخُفِّ وَ هُمَا طَاهِرَتَانِ فَامْسَحْ عَلَيْهِمَا.

Jika kamu memasukkan kedua kaki ke dalam khuf sementara keduanya dalam keadaan suci, maka usaplah bagian atas keduanya.

Hal ini pun menjadi landasan bagi jawaban pendapat yang memakai salah satu khufnya setelah membasuh salah satu kakinya sementara yang lainnya belum.

  1. Mālik berkata: “Tidak boleh mengusap khuf karena dia memakainya sebelum sempurnanya thahārah,” ini pun pendapat yang dipegang oleh Imām Syāfi‘ī, Aḥmad dan Isḥāq.
  2. Adapun Abū Ḥanīfah, ats-Tsaurī, al-Mazzī, ath-Thabrānī dan Dāūd berpendapat boleh mengusap khuf, dan inilah pendapat yang dipegang oleh satu kelompok dari pengikut Imām Mālik, di antara mereka adalah Mutharrif dan yang lainnya.

Sebelumnya mereka bersepakat bahwa jika khuf yang pertama dilepas setelah membasuh kaki yang kedua, kemudian dia memakainya, maka saat itu ia boleh mengusap.

Lalu apakah di atas khuf harus tidak ada lapisan lainnya merupakan syarat dalam mengusap khuf. Dalam hal ini ada dua pendapat dari Imām Mālik.

Sebab perbedaan pendapat: Karena thaharah kaki beralih kepada khuf, dan jika khuf menutupinya, apakah ini pun berarti thahārah khuf bagian paling bawah bisa berpindah kepada khuf bagian paling atas.

Kelompok ulama yang menyerupakan perpindahan kedua seperti perpindahan pertama, mereka berpendapat boleh mengusap bagian khuf paling atas. Adapun yang tidak menyerupakannya dan nampak baginya perbedaan, mereka berpendapat tidak membolehkannya.

 

Masalah ketujuh: Hal-hal yang membatalkan pengusapan khuf.

Para ulama bersepakat bahwa hal yang membatalkan pengusapan khuf adalah sama dengan hal-hal yang membatalkan wudhū’, lalu mereka berbeda pendapat apakah melepas khuf termasuk hal yang membatalkannya.

  1. Sebagian ulama berpendapat jika dia melepas khuf dan membasuh kakinya, maka kesuciannya tetap ada, lalu jika ia tidak membasuh kakinya, kemudian melakukan shalat maka dia wajib mengulangi shalat setelah membasuh kaki, di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imām Mālik dan para pengikutnya, Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah, hanya saja Imām Mālik berpendapat jika ia mengakhirkannya, maka dia wajib mengawali wudhū’nya kembali dengan landasan bahwa berturut-turut itu adalah wajib sebagaimana dijelaskan pada pembahasan tentang syarat sebelumnya.
  2. Sebagian ulama lainnya berpendapat kesuciannya tetap ada sehingga terjadi hadats yang membatalkan wudhū’ padanya, dan tidak ada kewajiban untuk membasuh, di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Dāūd, dan Ibnu Abī Lailā.
  3. Al-Ḥasan bin Ḥayy berpendapat, jika khuf itu dilepas maka batal kesuciannya.

Tiga pendapat ini telah diungkapkan oleh kalangan ulama fikih tābi‘īn, walaupun pada dasarnya hal ini adalah masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh syari‘ (Allah).

Sebab perbedaan pendapat: Apakah mengusap khuf itu merupakan thahārah (bersuci) yang berdiri sendiri, atau sekedar pengganti dari mambasuh kaki yang memakai khuf?

Jika kita menyatakan bahwa mengusap khuf merupakan thahārah yang berdiri sendiri, maka kesucian tetap ada walaupun khuf dilepas seperti orang yang kedua kakinya terpotong setelah dibasuh (disucikan).

Adapun jika kita menganggapnya sebagai pengganti maka ada dua kemungkinan:

Pertama, jika disyaratkan adanya berturut-turut maka thahārah tersebut batal.

Kedua, jika tidak disyaratkan berturut-turut, lalu dia membasuhnya maka kesuciannya masih tetap ada.

Sebenarnya, syarat berturut-turut setelah melepas khuf pada dasarnya adalah pendapat yang lemah, hal itu hanya direka-reka saja, inilah berbagai masalah yang ingin kami sajikan dalam pembahasan ini.

 

Catatan:


  1. 28). Muttafaq ‘Alaih. HR. al-Bukhārī (182, 203, 206, 363, 388, 4421, 5798, 5799), Muslim (274), Abū Dāūd (149, 150, 151), at-Tirmidzī (100), an-Nasā’ī (1/63, 76, 82, 83), Ibnu Mājah (545), Aḥmad (4/244, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 253, 254), al-Ḥumaidī (757), ‘Abd-ur-Razzāq (747), Ibn-ul-Jarūd (83, 85), ath-Thabrānī (20/864, 866, 867, 868, 871), dan al-Baihaqī (1/271, 281, 283). 
  2. 29). Yang dimaksud dengan thahārah di sini adalah thahārah dengan air, lalu jika seseorang bertayammum karena tidak ada air, kemudian memakai khuf, apakah boleh baginya mengusap jika mendapatkan air, dalam hal ini ada dua pendapat: Pertama, tidak boleh, ini adalah pendapat Ḥanafiyyah, Mālikiyyah, Syāfi‘iyyah, dan Ḥanābilah. Kedua, boleh, ini adalah salah satu riwayat dari Aḥmad. 
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.