Masalah keenam: Syarat mengusap khuf.
Syarat mengusap khuf adalah kedua kaki dalam keadaan suci dengan berwudhū’, hal ini sudah disepakati kecuali satu pendapat yang syadz, yang diriwayatkan dari Ibnu Qāsim dari Mālik, sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Abī Lailā dalam al-Muntakhab.
Kebanyakan ulama mengatakan demikian berlandaskan hadits Mughīrah dan yang lainnya ketika ia hendak melepaskan khufnya, Nabi s.a.w. berkata kepadanya:
دَعْهَا فَإِنِّيْ أَدْخَلْتُهُمَا وَ هُمَا طَاهِرَتَانِ.
“Biarkanlah karena aku memasukan keduanya ketika dalam keadaan suci.” (281).
Sementara yang menentang memahami bersuci dalam hadits ini dalam arti bersuci secara bahasa. (292).
Terkait dengan masalah ini para ulama berbeda pendapat tentang seseorang yang membasuh kakinya, lalu memakai khuf yang dilanjutkan dengan menyempurnakan wudhū’nya, apakah boleh baginya mengusap khuf.
Pendapat pertama dipegang oleh Abū Ḥanīfah, sementara pendapat kedua dipegang oleh Imām Syāfi‘ī dan Mālik, hanya saja Imām Mālik tidak berpendapat demikian karena wajibnya tertib, melainkan beliau berpendapat bahwa thahārah satu anggota wudhū’ tidak sempurna kecuali setelah sempurnanya thaharah untuk semua anggota, Nabi s.a.w. bersabda: “Dan keduanya dalam keadaan suci”, beliau menjelaskan thahārah secara hukum syara‘, dan dalam sebagian riwayat al-Mughīrah:
إِذَا أَدْخَلْتَ رِجْلَيْكَ فِي الْخُفِّ وَ هُمَا طَاهِرَتَانِ فَامْسَحْ عَلَيْهِمَا.
“Jika kamu memasukkan kedua kaki ke dalam khuf sementara keduanya dalam keadaan suci, maka usaplah bagian atas keduanya.”
Hal ini pun menjadi landasan bagi jawaban pendapat yang memakai salah satu khufnya setelah membasuh salah satu kakinya sementara yang lainnya belum.
Sebelumnya mereka bersepakat bahwa jika khuf yang pertama dilepas setelah membasuh kaki yang kedua, kemudian dia memakainya, maka saat itu ia boleh mengusap.
Lalu apakah di atas khuf harus tidak ada lapisan lainnya merupakan syarat dalam mengusap khuf. Dalam hal ini ada dua pendapat dari Imām Mālik.
Sebab perbedaan pendapat: Karena thaharah kaki beralih kepada khuf, dan jika khuf menutupinya, apakah ini pun berarti thahārah khuf bagian paling bawah bisa berpindah kepada khuf bagian paling atas.
Kelompok ulama yang menyerupakan perpindahan kedua seperti perpindahan pertama, mereka berpendapat boleh mengusap bagian khuf paling atas. Adapun yang tidak menyerupakannya dan nampak baginya perbedaan, mereka berpendapat tidak membolehkannya.
Masalah ketujuh: Hal-hal yang membatalkan pengusapan khuf.
Para ulama bersepakat bahwa hal yang membatalkan pengusapan khuf adalah sama dengan hal-hal yang membatalkan wudhū’, lalu mereka berbeda pendapat apakah melepas khuf termasuk hal yang membatalkannya.
Tiga pendapat ini telah diungkapkan oleh kalangan ulama fikih tābi‘īn, walaupun pada dasarnya hal ini adalah masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh syari‘ (Allah).
Sebab perbedaan pendapat: Apakah mengusap khuf itu merupakan thahārah (bersuci) yang berdiri sendiri, atau sekedar pengganti dari mambasuh kaki yang memakai khuf?
Jika kita menyatakan bahwa mengusap khuf merupakan thahārah yang berdiri sendiri, maka kesucian tetap ada walaupun khuf dilepas seperti orang yang kedua kakinya terpotong setelah dibasuh (disucikan).
Adapun jika kita menganggapnya sebagai pengganti maka ada dua kemungkinan:
Pertama, jika disyaratkan adanya berturut-turut maka thahārah tersebut batal.
Kedua, jika tidak disyaratkan berturut-turut, lalu dia membasuhnya maka kesuciannya masih tetap ada.
Sebenarnya, syarat berturut-turut setelah melepas khuf pada dasarnya adalah pendapat yang lemah, hal itu hanya direka-reka saja, inilah berbagai masalah yang ingin kami sajikan dalam pembahasan ini.
Catatan: