1-2-7-2 Mengusap Dua Khuf – Masalah 3, 4, & 5 – Tata Cara Berwudhu’ – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 001 & 002 Pembahasan Tentang Bersuci Dari Hadats & Kitab Wudhu' - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah ketiga: Mengusap dua kaos kaki.

Mengenai tempat yang diusap, para ulama telah sepakat bahwa yang boleh diusap adalah khuf, lalu mereka berbeda pendapat mengenai mengusap kaos kaki:

1. Sebagian ulama membolehkan hal itu.

2. Sebagian ulama yang lainnya melarang.

Di antara ulama yang melarang adalah Imām Mālik, Syāfi‘ī, dan Abū Ḥanīfah, dan yang membolehkannya adalah Abū Yūsuf juga Muḥammad yang keduanya adalah murid Abū Ḥanīfah.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan pendapat dalam penilaian shaḥīḥ atsar dari Nabi s.a.w. yang menjelaskan bahwa beliau s.a.w. mengusap dua kaos kaki dan dua sandal.

Demikian pula perbedaan mereka apakah yang lainnya bisa diqiyaskan kepada khuf, atau ia hanyalah ibadah yang tidak bisa diqiyaskan.

Ulama yang berpendapat tidak shaḥīḥ-nya hadits, atau hadits tersebut tidak sampai padanya, dan tidak melihat adanya qiyas, mereka membatasi mengusap hanya kepada dua khuf.

Sementara ulama yang menganggap shaḥīḥ-nya hadits, dan menerima adanya qiyas terhadap khuf, mereka membolehkan mengusap dua kaos kaki, atsar tersebut tidak diriwayatkan oleh asy-Syaikhāni (al-Bukhārī dan Muslim) akan tetapi at-Tirmidzī menilainya shaḥīḥ.

Sebab lain adalah ketidakjelasan makna kaos kaki yang terbuat dari kulit hewan antara khuf dan kaos kaki non kulit, sehingga ada dua riwayat Imām Mālik tentang mengusap keduanya, salah satunya melarang, dan yang lain membolehkannya.

 

Masalah keempat: Spesifikasi khuf.

Mengenai spesifikasi khuf, para ulama bersepakat bahwa mengusap khuf boleh dilakukan pada khuf yang masih bagus, lalu mereka berbeda pendapat pada khuf yang telah rusak atau robek:

1. Imām Mālik dan para pengikutnya berpendapat bisa diusap jika robeknya hanya sedikit.

2. Imām Abū Ḥanīfah membatasi dengan syarat ukuran robeknya tidak lebih dari tiga jari.

3. Ulama yang lain berpendapat bisa mengusap khuf selama masih dinamakan khuf walaupun ukuran robeknya besar, di antara yang mengatakan demikian adalah ats-Tsauri.

4. Imām Syāfi‘ī pada salah satu qaul (pendapat) melarang jika yang robek adalah bagian depan sehingga jemari kakinya nampak, walaupun hanya sedikit.

Sebab perbedaan pendapat: Peralihan kefardhuan dari membasuh kepada mengusap, apakah karena tempatnya yang tertutup (yakni menutupnya khuf terhadap kaki), atau karena adanya kesulitan jika melepas khuf.

Ulama yang berpendapat dengan alasan tertutup, mereka tidak membolehkan mengusap pada khuf yang robek, karena jika kaki terlihat maka kefardhuan dari mengusap kembali kepada membasuh.

Sementara ulama yang menyatakan bahwa alasannya adalah kesulitan, mereka berpendapat bahwa robek tidak jadi masalah selama masih dinamakan khuf.

Adapun membedakan antara robek sedikit dan banyak, hal itu hanya merupakan istiḥsān (menganggap sesuatu baik).

Ats-Tsaurī berkata: “Dahulu khuf kaum Muhājirīn dan Anshār tidak luput dari robek, seperti khuf yang lainnya, seandainya hal itu memang menjadikan (mengusap khuf) dilarang, maka hukumnya akan dinukil dari mereka.”

Menurut saya: “Ini adalah masalah yang tidak ditetapkan hukumnya oleh syari‘ (Allah), seandainya ada hukumnya padahal ini adalah masalah yang banyak terjadi maka Nabi s.a.w. akan menjelaskannya, sementara Allah s.w.t. berfirman:

لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ.

Agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka.” (QS. an-Naḥl [16]: 44).

 

Masalah kelima: Batasan waktu bersuci dengan mengusap khuf.

Demikian pula masalah waktu yang diberikan, para ulama fikih pun berbeda pendapat:

1. Imām Mālik berpendapat bahwa mengusap khuf tidak dibatasi waktu, dan orang yang memakai khuf bisa mengusapnya selama belum dilepas dan belum junub.

2. Imām Abū Ḥanīfah dan Syāfi‘ī berpendapat bahwa mengusap khuf dibatasi waktu tertentu.

Sebab perbedaan pendapat: perbedaan atsar dalam masalah ini, di mana ada tiga atsar yang menjelaskannya:

Pertama, hadits ‘Alī dari Nabi s.a.w., dia berkata:

جَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَ يَوْمًا وَ لَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ.

Rasūlullāh s.a.w. menjadikan tiga hari tiga malam bagi yang melakukan perjalanan dan satu hari satu malam bagi yang mukim (muqīm).” (251) (HR. Muslim).

Kedua, hadits Ubay bin ‘Imārah:

أَنَّهُ قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَأَمْسَحُ عَلَى الْخُفِّ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: يَوْمًا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَ يَوْمَيْنِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَ ثَلَاثَةً؟ قَالَ: نَعَمْ حَتَّى بَلَغَ سَبْعًا ثُمَّ قَالَ: اِمْسَحْ مَا بَدَا لَكَ.

Bahwa ia berkata: “Wahai Rasūlullāh bolehkah aku mengusap khuf? Beliau menjawab: “Ya,” dia berkata: “(selama) satu hari?” beliau menjawab: “Ya.” “Dua hari”, tanyanya kembali. Beliau menjawab: “Ya”, dia bertanya lagi: “Tiga hari”, beliau menjawab: “Ya, sampai tujuh hari,” kemudian beliau bersabda: “Usaplah sesukamu.” (HR. Abū Dāūd dan ath-Thahawī). (262).

Ketiga, hadits Shafwān bin ‘Assāl, dia berkata:

كُنَّا فِيْ سَفَرٍ فَأَمَرَنَا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَ لَيَالِهِنَّ إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ، وَ لكِنْ مِنْ بَوْلٍ أَوْ نَوْمٍ أَوْ غَائِطٍ.

Kami pernah dalam sebuah perjalanan, lalu beliau (Nabi) memerintahkan kami agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam kecuali karena junub, akan tetapi (yang demikian) tidak berlaku karena kencing, tidur, atau buang air besar.” (273).

Menurut saya: “Hadits ‘Alī adalah shahih diriwayatkan oleh Muslim.”

Sementara hadits Ubay bin ‘Imārah dikomentari oleh Abū ‘Umar bin ‘Abd-il-Barr, dia berkata: “Hadits tersebut tidak tsābit (shaḥīḥ) dan tidak memiliki sanad yang kuat, karena itu tidak pantas dipertentangkan kepada hadits ‘Alī.”

Adapun hadits Shafwān bin ‘Assāl walaupun tidak diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim, hadits tersebut dinilai shaḥīḥ oleh sekelompok ulama hadits seperti at-Tirmidzī dan Abū Muḥamamd bin Ḥazm.

Secara zhahir hadits tersebut bertentangan dengan hadits Ubay seperti hadits ‘Alī, akan tetapi keduanya bisa saja dipadukan, sehingga dikatakan: “Bahwa hadits Shafwān dan ‘Alī merupakan jawaban atas pertanyaan mengenai waktu, sementara hadits Ubay bin ‘Imārah merupakan nash tentang tidak adanya batasan waktu, sayangnya hadits Ubay tidak tsābit, karena itu wajib mengamalkan hadits ‘Alī dan Shafwān, inilah yang lebih jelas, hanya saja kedua hadits tersebut bertentangan dengan qiyas, yaitu bahwa waktu sama sekali bukan termasuk hal yang membatalkan thahārah, karena yang membatalkan hanyalah hadats.

 

Catatan:


  1. 25). Shaḥīḥ. HR. Muslim (276), an-Nasā’ī (1/54), Ibnu Mājah (552), Aḥmad (1/96, 100, 113, 117, 118, 120, 123, 149), al-Ḥumaidī (46), Abū ‘Awānah (1/361, 362), dan al-Baihaqī (1/272, 275, 282). 
  2. 26). Sanadnya dha‘īf. HR. Ibnu Mājah (557), ad-Dāruqthnī (1/198), ath-Thabrānī (1/203) (545, 546), dan al-Baihaqī (1/278) dan al-Albānī menilainya dha‘īf dalam Dha‘īf Ibnu Mājah
  3. 27). Sanadnya ḥasan diriwayatkan oleh at-Tirmidzī (96, 3535, 3546), an-Nasā’ī (1/83, 84), Ibnu Mājah (478), Aḥmad (4/239, 240), ‘Abd-ur-Razzāq (793) ath-Thayālisī (1165, 1166), ad-Dāruquthnī (1/196), ath-Thabrānī dalam ash-Shaghīr (1/91), Ibnu Ḥazm dalam al-Muḥallā (2/83), dan al-Baihaqī (1/114, 115, 118, 276, 272, 289). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *