Hati Senang

1-2-6 Masalah #12 – Tata Cara Berwudhu’ – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd


Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Masalah Keduabelas: Syarat (berturut-turut dalam praktek wudhū’).

Para ulama berbeda pendapat tentang berturut-turut (muwālah) dalam amalan wudhū’:

1. Mālik berpendapat bahwa terturut-turut adalah fardhu hukumnya jika ingat dan sanggup menunaikannya, lalu kewajiban tersebut gugur ketika lupa, atau tidak lupa tapi tidak sanggup menunaikannya dengan syarat tidak terlalu lama masa jedanya.

2. Sementara Imām Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa terturut-turut tidak termasuk kewajiban dalam wudhū’.

Sebab perbedaan pendapat: Isytirāk dan wāwu, maksudnya bahwa wāwu terkadang mengandung makna bersambung satu sama lainnya, dan terkadang mengandung makna tidak bersambung satu sama lainnya dengan jeda tertentu.

Kelompok ulama yang menyatakan tidak wajibnya berturut-turut telah berhujjah dengan hadits dari Nabi s.a.w., bahwa beliau berwudhū’ di awal bersuci (mandi besar) dan mengakhirkan membasuh kaki di akhir bersuci.

Demikian pula perbedaan pendapat ini terkadang disebabkan perbedaan dalam memahami perbuatan Nabi s.a.w., apakah dipahami wajib atau sunnah.

Adapun Imām Mālik membedakan antara yang lupa dan sengaja dengan alasan karena orang yang lupa pada dasarnya dimaafkan sehingga datang dalil yang menentang hal itu, dalilnya adalah sabda Nabi s.a.w.:

 

رُفِعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأُ وَ النِّسْيَانُ.

Dimaafkan bagi umatku (sesuatu yang disebabkan oleh) kesalahan dan lupa.” (191).

Demikian pula nampak bahwa udzur itu memiliki pengaruh dalam peringatan hukum.

Sekelompok ulama lain berpendapat bahwa membaca basmalah adalah salat satu kefardhuan dalam wudhū’, mereka berhujjah dengan hadits marfū‘, yaitu sabda Nabi s.a.w.:

لَا وُضُوْءَ لِمَنْ لَا يُسَمِّ اللهَ.

Tidak sah wudhū’ bagi orang yang tidak membaca basmalah.” (202).

Hadits ini tidak shaḥīḥ menurut ahli hadits, sementara yang lainnya memahami bahwa yang dimaksud dengan hadits ini adalah niat, sebagian ulama yang lain memahaminya sebagai sunnah.

Inilah masalah-masalah yang masyhur, yang berlaku sesuai ushul fikih, sebagaimana telah kami katakan semuanya berhubungan dengan tata cara dalam berwudhū’, penentuan bagian yang disucikan, atau pengenalan berbagai syarat, rukun dan lainnya yang telah diuraikan.

Di antara masalah yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah mengusap dua khuf, karena termasuk ke dalam amalan-amalan dalam berwudhū’.

 

Catatan:


  1. 19). Shaḥīḥ. HR. Ibnu Mājah (2045), dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān (7219), al-Ḥākim (2/198), diriwayatkan pula oleh ad-Dāruquthnī (4/170), dan ath-Thabrānī dalam ash-Shaghīr (765), al-Baihaqī (7/356) (X/60) semuanya dari hadits Ibnu ‘Abbās, dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam al-Irwā’ (82), dalam masalah ini pun ada hadits Tsaubān yang diriwayatkan oleh ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (2/97) (1430) dan dari Abū Dzarr al-Ghiffārī yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (2042), dan dari Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh al-Baihaqī (6/84), dan dari ‘Uqbah dan ‘Āmir yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqī (7/357). 
  2. 20). Ḥasan. HR. Abū Dāūd (101), Ibnu Mājah (399), Aḥmad (2/418), ad-Dāruquthnī (1/79), al-Baihaqī (1/41) semuanya dari hadits Abū Hurairah, dinilai ḥasan oleh al-Albānī dalam al-Irwā’ (81), dalam masalah ini pun ada hadits dari Abū Sa‘īd al-Khudrī yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (397), Aḥmad (3/41), dan ‘Abd bin Ḥumaid dalam al-Muntakhab (910), ad-Dārimī (691), al-Baihaqī (1/43), dan dari Saḥal bin Sa‘ad yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (400), ath-Thabrānī (6/121) (5699), dan dari Sabrah yang diriwayatkan oleh ath-Thabrānī (20/296), dan dari Sa‘īd bin Zaid yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (398), dan dari Rabah bin Huwaithib dari neneknya dari bapaknya Thayālisī (243), ad-Dāruquthnī (1/71. 72, 73) dan, al-Baihaqī (1/43). 
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.