1-2-5 Masalah #10 & 11 – Tata Cara Berwudhu’ – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 001 & 002 Pembahasan Tentang Bersuci Dari Hadats & Kitab Wudhu' - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah Kesepuluh: Tata cara membasuh kedua kaki.

Para ulama bersepakat bahwa kedua kaki termasuk anggota wudhū’, lalu mereka berbeda pendapat dalam tata cara mensucikannya:

1. Sebagian ulama berpendapat mensucikannya adalah dengan membasuh, inilah pendadap jumhur.

2. Sebagian ulama yang lain berpendapat yang fardhu adalah mengusap.

3. Sebagian ulama lainnya berpendapat mensucikannya adalah bisa dengan kedua cara di atas; membasuh dan mengusap, dan kembali kepada pilihan mukallaf itu sendiri.

Sebab perbedaan pendapat: adalah dua qira’at masyhur dalam ayat tentang wudhū’, yaitu qira’at (وَ أَرْجُلَكُمْ) dengang nashab (fatḥah) di-‘athaf-kan kepada yang dibasuh, dan qira’at (وَ أَرْجُلِكُمْ) dengan khafadh (kasrah) di-‘athaf-kan kepada yang diusap.

Jelasnya qira’at yang di-nashab-kan secara zhahir mengandung makna dibasuh, sementara qira’at yang di-khafadh-kan secara zhahir menunjukkan diusap.

Barang siapa menyatakan bahwa kefardhuannya hanya satu dari dua cara ini; mereka mengunggulkan salah satunya, dan berusaha menafsirkan makna yang kedua agar sesuai dengan makna pertama yang ia pegang.

Sementara ulama yang menyatakan bahwa kedua qira’at tersebut memiliki makna zhahir yang setara, mereka tidak menjadikan salah satunya lebih kuat daripada yang kedua, dan memasukkanya ke dalam wājib mukhayyar (kewajiban yang bisa dipilih di antara dua hal) seperti kaffarat sumpah dan yang lainnya, inilah pendapat ath-Thabrānī dan Dāūd.

Lalu jumhur memiliki banyak penafsiran bagi qira’at yang di-khafadh-kan, yang paling bagus adalah bahwa kalimat tersebut di-‘athaf-kan kepada lafazh, bukan kepada makna, karena hal seperti ini biasa dalam bahasa ‘Arab, seperti ucapan seorang penyair:

لَعِبَ الزَّمَانُ بِهَا وَ غَيَّرَهَا بَعْدِيْ سَوَافِي الْمُوْرِ وَ الْقَطْرِ

Dengan khafadh, seandainya di-‘athaf-kan kepada makna maka lafazh (الْقَطْرِ) di-rafa‘-kan (berharakat akhir dhammah).

Adapun ulama lainnya, yaitu ulama yang memperkuat makna mengusap, mereka menafsirkan qira’at yang kedua bahwa hal itu di-‘athaf-kan kepada maḥal (tempat i‘rāb), sebagaimana seorang penyair berkata:

فَلَسْنَا بِالْجِبَالِ وَ لَا الْحَدِيْدَ.

Kami bukanlah gunung dan bukan pula besi.”

Lalu jumhur memperkuat qira’atnya ini dengan hadits shaḥīḥ dari Rasūlullāh s.a.w., yaitu ketika beliau bersabda kepada kaum yang tidak membasuh kaki-kakinya dengan baik dalam berwudhū’:

وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ فِي النَّارِ.

Kecelakaanlah bagi tumit-tumit (yang tidak terbasuh) dalam api neraka.” (171).

Mereka berkata: “Ini adalah dalil bahwa kaki wajib dibasuh, karena yang namanya wajib adalah sesuatu yang diancam jika ditinggalkan.”

Sebenarnya ini bukan hujjah bagi mereka, karena ancaman tersebut terjadi ketika mereka meninggalkan tumit-tumit tidak dibasuh saat berwudhū’, tidak diragukan lagi bahwa ulama yang mewajibkan membasuh maka kewajibannya juga mencakup membasuh semua kaki, demikian pula yang mewajibkan mengusap maka kewajibannya juga mencakup mengusap semua kaki, demikian pula yang memberikan pilihan antara keduanya, hal ini ditunjukkan oleh sebuah atsar lain yang diriwayatkan oleh Muslim, sesungguhnya beliau s.a.w. bersabda:

فَجَعَلْنَا نَمْسَحُ عَلَى أَرْجُلِنَا فَنَادَى: وَيْلٌ لِلْأَعْقَابِ فِي النَّارِ.

Sehingga kami mengusap kaki-kaki kami, lalu beliau berseru: “Kecelakaanlah bagi tumit-tumit api neraka”.

Atsar ini walaupun biasa digunakan untuk dalil ketidakbolehan mengusap, sebenarnya ia lebih kuat dijadikan dalil untuk bolehnya mengusap, karena ancaman tersebut ditujukan kepada orang yang tidak meratakan air dalam bersuci bukan karena jenis bersuci yang salah, bahkan jenis bersuci ini tidak di singgung dalam sabda beliau s.a.w., jadinya hal itu menunjukkan kebolehan mengusap. Bolehnya mengusap pun diriwayatkan dari sebagian sahabat dan tabi‘in. (182).

Akan tetapi dari sisi makna, membasuh kaki lebih sesuai daripada mengusapnya, sebagaimana mengusap kepala lebih sesuai daripada membasuhnya, alasannya adalah karena kotoran kaki biasanya sulit dibersihkan kecuali dengan dibasuh, sementera kotoran kepala cukup dengan diusap, lalu maslahat secara akal bisa saja menjadi sebab dalam ibadah yang fardhu sehingga syari‘at bisa menimbang keduanya, yakni menimbang maslahat secara akal dan tujuan ibadah (yang kami maksud dengan maslahat secara akal adalah segala hal yang bisa diindra, sementara tujuan ibadah maksudnya adalah segala hal yang kembali kepada kesucian jiwa).

Demikian pula mereka berbeda pendapat mengenai mata kaki, apakah masuk ke dalam bagian yang dibasuh atau diusap menurut ulama yang memperbolehkan mengusap.

Sebab perbedaannya: Adalah lafazh isytirak (ragam makna) pada huruf (إِلَى) dalam firman Allah (وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ).

Telah terdahulu pembahasan mengenai isytirāk lafazh ini dalam firman Allah (إِلَى الْمَرَافِقِ), akan tetapi masalah tersebut terjadi dari dua isytirāk, yaitu isytirāk pada huruf (إِلَى) dan lafazh (الْيَدِ), sementara dalam pembahasan ini isytirāk-nya hanya terjadi pada huruf (إِلَى).

Mereka pun berbeda pendapat tentang lafazh (الْكَعْب), apakah makna yang sebenarnya?

Hal itu terjadi karena isytirāk pada lafazh (الْكَعْب), dan perbedaan makna menurut ahli bahasa.

Ada yang berpendapat bahwa (الْكَعْب) adalah tulang yang terletak di tempat tali pengikat sendal, ada juga yang mengatakan bahwa (الْكَعْب) adalah tulang menonjol di ujung (bawah) betis, dan tidak ada perbedaan pendapat bahwa (الْكَعْب) masuk ke dalam kategori kaki bagi orang yang berpendapat bahwa (الْكَعْب) adalah tulang yang terletak di tempat pengikat sendal, karena itu sebagian ulama berpendapat: “Jika batasan itu (mata kaki) masuk ke dalam bagian yang dibatasi maka (إِلَى) masuk ke dalam makna sampai, dan jika tidak maka sama maknanya dengan firman Allah:

أَتِمُّوْا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ.

Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. al-Baqarah [2]: 187).

 

Masalah Kesebelas: Syara-syarat (tertib dalam praktek wudhū’).

Para ulama berbeda pendapat tentang wajibnya tertib dalam praktek wudhū’ sesuai dengan urutan ayat:

1. Sebagian ulama berpendapat tertib adalah sunnah, ini adalah pendapat yang diungkapkan dari ulama-ulama muta’akhkhir dari kalangan pengikut Imām Mālik yang diambil dari madzhab Mālikī, ini pula pendapat yang dipegang oleh Abū Ḥanīfah, ats-Tsaurī dan Dāūd.

2. Sebagian ulama lain berpendapat tertib adalah fardhu, inilah pendapat yang dipegang oleh Imām Syāfi‘ī, Aḥmad dan Abū ‘Ubaid.

Tertib ini berlaku antara yang fardhu dengan fardhu, adapun tertib antara fardhu dengan sunnah para ulama berbeda pendapat:

1. Mālik berpendapat mustaḥabb (dianjurkan).

2. Sementara Abū Ḥanīfah berpendapat sunnah.

Sebab perbedaan pendapat: Disebabkan dari dua hal: Pertama, isytirāk yang terkandung dalam wāwu ‘athaf, terkadang wāwu digunakan untuk ‘athaf bermakna urut, dan terkadang tidak mengandung makna urutan, hal ini jelas dalam bahasa ‘Arab, karena itulah ulama nahwu (gramatika) dalam hal ini terbagi dua pendapat, ulama Bashrah berpendapat bahwa wāwu tidak mengandung urutan, ia hanya mengandung makna menyatukan, sementara ulama Kūfah menyatakan bahwa wāwu mengandung makna urutan. Maksudnya ulama yang berpendapat bahwa wāwu dalam ayat tentang wudhū’ mengandung makna urutan, mereka mewajibkan tertib, dan para ulama yang tidak berpendapat demikian jelas tidak mewajibkannya.

Kedua, perbedaan mereka dalam memahami perbuatan Nabi s.a.w., apakah dipahami wajib atau sunnah? Ulama yang memahaminya wajib, maka mereka berpendapat bahwa tertib itu adalah wajib, karena tidak ada satu riwayat pun yang menjelaskan tata cara wudhū’ beliau kecuali mengungkapkan bahwa beliau melakukannya secara urut, dan ulama yang memahami bahwa perbuatan Nabi s.a.w. dipahami sunnah, maka tertib pun sunnah.

Adapun ulama yang membedakan antara perbuatan yang sunnah dan yang wajib, mereka berkata: “Sesungguhnya wajibnya tertib hanya ada pada amalan-amalan yang wajib”, dan ulama yang tidak membedakan keduanya berkata: “Bahwa syarat yang bersifat wajib terkadang didapatkan para amalan yang sunnah.”

 

Catatan:


  1. 17). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (165), Muslim (242), at-Tirmidzī (241), an-Nasā’ī (1/77), Aḥmad (4/284, 406, 407, 409, 430, 498) semuanya dari hadits Abū Hurairah, dalam masalah ini pun ada hadits ‘Abdullāh bin ‘Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī (60, 96, 163), Muslim (241), Abū Dāūd (97), dan an-Nasā’ī (1/77), dan Aḥmad (2/193, 201). 
  2. 18). Di antara mereka adalah Anas, Ibnu ‘Abbās dan ‘Alī. Al-Ḥāfizh Ibnu Ḥajar dalam Fatḥ-ul-Bārī (163) berkata: “Bahwa mereka telah meralat pendapat tersebut”, ‘Abd-ur-Raḥmān bin Abī Lailā berkata: “Para sahabat Rasūlullāh telah sepakat membasuh kedua kaki.” 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *