31. اِهْتَدَى الرَّاحِلُوْنَ إِلَيْهِ بِأَنْوَارِ التَّوَجُّهِ وَ الْوَاصِلُوْنَ لَهُمْ أَنْوَارُ الْمُوَاجَهَةِ فَالْأَوَّلُوْنَ لِلْأَنْوَارِ وَ هؤُلَاءِ الْأَنْوَارُ لَهُمْ لِأَنَّهُمْ للهِ لَا لِشَيْءٍ دُوْنَهُ قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِيْ خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ
(Orang-orang yang berangkat menuju kepada Allah, mendapat petunjuk dengan cahaya tawajjuh. Dan orang-orang yang telah wushul, bagi mereka cahaya muwajjahah. Yang pertama adalah bagi cahaya-cahaya itu, sedangkan mereka yang telah wushul cahaya-cahaya itu bagi mereka. Karena mereka itu hanya untuk Allah bukan untuk yang lain-Nya – Allah berfirman – “Katakan “Allah” kemudian tinggalkan mereka dalam ketenggelaman permainan.”)
“Tawajjuh” artinya menghadapkan muka dan hati kepada Allah. Cahaya tawajjuh itu dihasilkan dari ibadah dan riyādhah. Tawajjuh itu baru mulai, sedangkan muwajjahah sudah masuk dan menikmati penghadapan hati dan muka kepada Allah. Orang-orang yang baru mulai dan sedang menempuh jalan menuju kepada Allah dia sangat dipengaruhi dambaan untuk memburu cahaya-cahaya tawajjuh itu. Menurut istilah Imām Syarqawī, orang-orang yang baru berangkat menuju Allah itu adalah mereka yang “diperbudak” oleh cahaya-cahaya tawajjuh. Dan orang-orang yang telah wushūl, memperbudak cahaya-cahaya muwajjahah. Artinya kapan saja dia kepingin “menghadap”, cahaya-cahaya itu menerangi jalannya. Orang yang baru mulai melihat cahaya di kejauhan dan dia ingin menuju ke sana. Kanjeng Nabi menerima perintah untuk menyebut “Allah”, dengan meninggalkan mereka tenggelam dalam permainan hidup, lā‘ibun. La‘bun atau lā‘ibun dan tenggelam dalam urusan selain untuk menuju Allah adalah ciri keduniawian. Memandang selain kepada Allah adalah permainan, lā‘ibun. Dalam ayat lain, firman Allah:
كُنَّا نَخُوْضُوْنَ مَعَ الْخَائِضِيْنَ، بَلْ هُمْ فِيْ شَكٍّ يَلْعَبُوْنَ.
(Kami masuk dalam pembicaraan bersama dengan mereka yang membicarakan tentang kebatilan.) (QS. LXXIV: 45).
(Tetapi mereka bermain-main dalam keraguan.) (QS. XLIV: 9).
32. تَشَوُّفُكَ إِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ الْعُيُوْبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوُّفِكَ إِلَى مَا حُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ
(Keinginan kerasmu mengetahui cacatmu yang tersembunyi, lebih baik ketimbang keinginan kerasmu mengetahui semau keghaiban yang tersembunyi darimu.).
Cacat yang tersembunyi dan rahasia-rahasia ketuhanan, seperti ilmu ladunnī, ilmu kebal, kekeramatan dan lain-lain, keduanya adalah ghaib. Orang kadang terjebak untuk memperoleh yang kedua. Namun yang pertama, yaitu usaha keras mengetahui dan kemudian menyingkirkan cacat diri, adalah lebih baik. Cacat diri yang tersembunyi itu, seperti riyā’, sikap yang berdampak memamerkan kebaikan diri, buruknya akhlak, ambisius, mudahanah dan sebagainya. Upaya keras mengetahui cacat diri itu, menurut Imam Ghazali dapat dilakukan dengan empat cara. Yaitu:
Pertama: Sowan (bertandang) ke kediaman orang waskita, misalnya: Kiyahi sepuh. Kemudian berbincang dan memperhatikan isyarat yang diberikan.
Kedua: Bergaul kental dengan sahabat yang jujur yang dapat mengkritisi tindakan dan ‘amal perbuatan sehari-hari.
Ketiga: Mencermati kritik dan hujatan lawan-lawan sosial yang seringkali membicarakan dirinya, mempergunjingnya dan mencari-cari kesalahannya.
Keempat: Bergabung dengan masyarakatnya dan mencermati tingkah laku mereka dengan seksama. Sebab mau tidak mau orang akan terpengaruh oleh lingkungan di mana dia tinggal.
33. الْحَقُّ لَيْسَ بِمَحْجُوْبٍ وَ إِنَّمَا الْمَحْجُوْبُ أَنْتَ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهِ إِذْ لَوْ حَجَبَهُ شَيْءٌ لَسَتَرَهُ مَا حَجَبَهُ وَ لَوْ كَانَ لَهُ سَاتِرٌ لَكَانَ لِوُجُوْدِهِ حَاصِرٌ وَ كُلُّ حَاصِرٍ لِشَيْءٍ فَهُوَ لَهُ قَاهِرٌ: وَ هُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ
(Allah Yang Maha Benar itu tidak terhalang; yang terhalang itu kamu, terhalang dari memandang Allah. Karena andaikata ada sesuatu yang menghalangi Allah, tentu penghalang itu menyekat-Nya. Andaikata ada yang menyekat-Nya tentu ada Pembatas, dan setiap Pembatas sesuatu, maka dialah Pembatas (Qāhir). Padahal Allah adalah Maha Pemaksa di atas semua hamba-Nya).
Terhalang di sini adalah dari melihat dan mengetahui sifat-sifat yang melekat. Tidak terhalang menjadi sifat Allah. Sedang kau, kita, makhluk mempunyai sifat “terhalang” yang melekat. Dihalangi berarti ditutupi/disekat, ditutup/disekat berarti dikuasai dan dipaksa – untuk paling tidak, tidak melihat yang di depannya – oleh penyekatnya. Dan yang demikian itu mustahil bagi Allah.
43. أُخْرُجْ مِنْ أَوْصَافِ بَشَرِيَّتِكَ عَنْ كُلِّ وَصْفٍ مُنَاقِضٍ لِعُبُوْدِيَّتِكَ لِتَكُوْنَ لِنِدَاءِ الْحَقِّ مُجِيْبًا وَ مِنْ حَضْرَتِهِ قَرِيْبًا
(Keluarlah dari sifat-sifat kemanusiaanmu, menjauhi sifat yang bertentangan dengan kehambaanmu, agar kamu mampu menyahuti panggilan Allah dan kamu dengan hadhirat-Nya).
Sifat kemanusiaan yang berhubungan dengan urusan agama ada dua macam. Pertama, yang berkaitan dengan anggota lahir, seperti ‘amal-‘amal shalat dan lain-lain. Kedua, yang berkaitan dengan batin/hati, seperti aqidah dan lain-lain. Yang berhubungan dengan anggota lahir ada yang disebut “taat”; yaitu jika sesuai dengan perintah Allah dan ada yang disebut “maksiat”; yaitu yang bertentangan dengan perintah. Adapun yang berhubungan dengan batin/hati; yang sesuai dengan keadaan sejatinya/hakikat, disebut “iman” dan “ilmu” sedang yang berbeda dengan hakikat sejati disebut “nifak/kepalsuan” dan “jahl/kebodohan”. Ilmu yang berhubungan dengan anggota lahir dinamakan “fiqh” dan yang berhubungan dengan batin dinamakan “tashawwuf”. Sifat basyariyyah/kemanusiaan yang bertentangan dengan kehambaan, antara lain: sombong, riyā’, nifāq (munāfiq), bodoh, maksiat, buruk sangka kepada Allah dan lain-lain.
35. أَصْلُ كُلِّ مَعْصِيَةٍ وَ غَفْلَةٍ وَ شَهْوَةٍ الرِّضَا عَنِ النَّفْسِ وَ أَصْلُ كُلِّ طَاعَةٍ وَ يَقَظَةٍ وَ عِفَّةٍ عَدَمُ الرِّضَا مِنْكَ عَنْهَا
(Pokok semua maksiat, lupa dan syahwat itu adalah ridha (rela) terhadap apa saja yang dari nafsu. Dan pokok semua kepatuhan, bangun dari kelalaian dan menjaga diri dari kenistaan itu tidak adanya ridha darimu terhadap nafsu).
Maksiat atau kedurhakaan atau sikap menentang perintah dan larangan Allah, lupa (ghaflah); tidak ingat sama sekali kepada Allah dan syahwat; dorongan dari sifat kebinatangan yang menggelegak yang menguasai hamba Allah, berarti memanjakan nafsu. Nafsu yang dapat menutup munculnya akal sehat, membuat hamba Allah tidak melihat kebenaran di depannya. Disebutkan “ridha” (terhadap nafsu), karena ridha bisa menghalangi kenyataan. Keburukan, cacat-cela, aib dan segala yang tidak terpuji menjadi buram, seperti yang dikatakan oleh penyair: “Wa ‘ain-ur-ridhā ‘an kulli ‘aybin kalilatun, dan seterusnya”. Dan pandangan ridha, terhadap semua ‘aib menjadi buram. Tidak ada ridha, berarti benci. Membenci nafsu adalah sumber dan akar kepatuhan atas segala perintah Allah, sumber dan akar yang menumbuhkan ingatan terus-menerus kepada Allah, sumber dan akar dari timbulnya ‘iffah, menjaga diri dan melakukan hal-hal yang dipantang oleh Allah dan kebanyakan – untuk tidak mengatakan semua – makhluk manusia yang bersih. Membenci bisa membuat segala sisi sesuatu yang dibenci itu jelek, tidak menarik dan harus dihindari. Penyair berkata: “Kamā anna ‘ayn-as-suhthi tubdī-l-masāwiya”; seperti halnya pandang benci (hanya) memperlihatkan keburukan-keburukan.
36. وَ لَأَنْ تَصْحَبَ جَاهِلًا لَا يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ تَصْحَبَ عَالِمًا يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ. فَأَيُّ عِلْمٍ لِعَالِمٍ يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ وَ أَيُّ جَهْلٍ لِجَاهِلٍ لَا يَرْضَى عَنْ نَفْسِهِ
(Sungguh, berkawan dengan orang bodoh yang membenci dirinya lebih baik daripada berkawan dengan orang pandai yang ridha – menyenangi dan bangga pada dirinya. Apapun ilmu orang ‘Ālim yang ridha dengan nafsunya, bagaimanapun kebodohan orang bodoh yang ridha dengan nafsunya, lebih baik dihindari bergaul dengannya).
Bergaul, berkawan, dan bersahabat itu harus memilih, sebab watak itu bisa mencuri. Bahkan, menurut al-Qur’ān, dalam hal orang terpengaruh oleh lingkungan bagaikan air hujan yang “rasanya” dipengaruhi oleh kepada siapa dia kemudian membasahinya. Rasa air hujan bisa manis karena membasahi mangga gadung, misalnya. Menjadi pahit karena jatuh di pohon mahoni, dan seterusnya. (QS. XVIII: 45). Karena itu bergaul dan berkawan dengan orang yang memperturutkan nafsu, harus dihindari. Supaya tidak tertular menjadi yang memperturutkan nafsu, meski orang itu pandai sekalipun. Meskipun bodoh tetapi orang itu mampu mengendalikan nafsu, bahkan membenci nafsunya lebih baik dipilih menjadi sahabat.
37. شُعَاعُ الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ قُرْبَهُ مِنْكَ وَ عَيْنُ الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ عَدَمَكَ لِوُجُوْدِهِ وَ حَقُّ الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ وُجُوْدَهُ لَا عَدَمَكَ وَ لَا وُجُوْدَكَ
(Sinar penglihatan hati memperlihatkan kamu akan kedekatan Allah darimu, mata hati memperlihatkan kamu akan ketiadaanmu bagi keberadaan Allah, dan kesejatian penglihatan hati memperlihatkan kamu akan keberadaan Allah, bukan akan ketiadaanmu dan keberadaanmu).
Sinar penglihatan hati adalah cahaya akal-budi atau ‘ilm-ul-yaqīn, mata hati sama dengan cahaya ilmu atau ‘ayn-ul-yaqīn dan kesejatian penglihatan hati juga disebut cahaya kebenaran atau ḥaqq-ul-yaqīn. Hamba Allah yang telah termuati ‘ilm-ul-yaqīn berarti dia telah “dekat” dengan Allah. Hamba Allah yang mendapatkan ‘ayn-ul-yaqīn melihat dirinya tidak ada di hadapan keberadaan Allah, sedang hamba Allah yang memperoleh ḥaqq-ul-yaqīn, tidak melihat lain kecuali keberadaan Allah. Keberadaan dan ketiadaan dirinya pun dia tidak melihatnya ada.
38. كَانَ اللهُ وَ لَا شَيْءَ مَعَهُ وَ هُوَ الْآنَ عَلَى مَا كَانَ عَلَيْهِ
(Allah itu Ada dan keberadaan-Nya tidak bersama dengan apa-apa. Dia sekarang berada pada kesediaan Ada).
Hamba Allah yang sudah mencapai maqām (kedudukan) fanā’, tidak musyāhadah (melihat) kecuali melihat Allah. Dalam segala kondisi, dia tahu benar bahwa wujud hakiki itu adalah Allah, yang lain (sejatinya) tidak wujud. Alam semesta ini ada dengan keberadaan Allah dan sirna dengan keesaan Dzāt-Nya.
39. لَا تَتَعَدَّ نِيَّةُ هِمَّتَكَ إِلَى غَيْرِهِ فَالْكَرِيْمُ لَا تَتَخَطَّاهُ الْآمَالُ
(Jangan – kiranya – tujuan citamu melewati kepada selain Allah, karena Dzāt Yang Maha Pemurah tidak akan dilangkahi oleh angan-angan hamba-Nya).
Dalam menempatkan perjalanan menuju (tawajjuh) ma‘rifat, jangan mempunyai tujuan selain Allah. Jangan kepingin menjadi Wali, misalnya al-Karīm, Maha Pemurah itu ketika berkuasa untuk menyiksa, memaafkan. Ketika berjanji, memenuhi dan ketika memberi, terus memberi tambahan, sampai tercapailah harapan-harapan. Tidak peduli berapa yang diberikan dan kepada siapa. Adalah Allah. Oleh sebab itu, angan-angan dan harapan tak boleh melewati kehendak Allah.
.40 لَا تَرْفَعَنَّ إِلَى غَيْرِهِ حَاجَةً هُوَ مُوْرِدُهَا عَلَيْكَ فَكَيْفَ يَرْفَعُ غَيْرَهُ مَا كَانَ هُوَ لَهُ وَاضِعًا مَنْ لَا يَسْتَطِيْعُ أَنْ يَرْفَعَ حَاجَةً عَنْ نَفْسِهِ فَكَيْفَ يْسْتَطِيْعُ أَنْ يَكُوْنَ لَهَا عَنْ غَيْرِهِ رَافِعًا
(Jangan sekali-kali kamu ajukan hajat kepada selain Allah. Dialah yang mendatangkan yang kamu hajatkan itu kepadamu. Bagaimana selain Allah menghilangkan sesuatu yang peletak sesuatu itu Allah adanya. Orang yang tidak mampu memenuhi hajatnya sendiri, bagaimana dia mampu memenuhi hajat selainnya. Tambah tidak mampu).
Hajat untuk memenuhi keinginan atau menghilangkan bala yang menimpa. Hajat menghilangkan kemiskinan atau menyembuhkan penyakit, misalnya. Tidak bisa hajat itu diajukan kepada selain Allah. Harus diketahui bahwa yang meletakkan kemiskinan, bala, penyakit dan sebagainya itu Allah adanya. Mana selain Allah dapat menghilangkan yang telah diletakkan Allah. Kiranya mustahil, orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sendiri lalu punya kemampuan untuk memenuhi kebutuhan orang lain. Hanya yang meletakkkan sesuatu yang bisa mengambil dan menariknya kembali.