BAHAGIAN PERTAMA
Ilmu Ushul Fiqh
BAB III
TENTANG HUKUM
Hukum menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas yang lain. Menurut istilah agama ialah tuntutan dari pembuat syara‘ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf).
Pasal 1
Pembagian Hukum:
- Hukum Taklifi.
- Hukum Wadha‘i.
Hukum Taklifi:
- Ijāb: Ketentuan Allah s.w.t. menghendaki ketentuan yang pasti.
- Nadab: Ketentuan Allah s.w.t. kepada sesuatu pekerjaan dengan tuntutan yang tidak pasti.
- Taḥrīm: (larangan), ketentuan Allah s.w.t. untuk meninggalkan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.
- Karāhah: Ketentuan Allah s.w.t. untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan tuntutan yang tidak pasti.
- Ibāḥah: Ketentuan Allah s.w.t. yang membolehkan sesuatu untuk diperbuat atau ditinggalkan.
Hukum Wadha‘i.
Hukum Wadha‘i ialah ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabbab), atau sebagai syarat yang lain (musyarat) dan sebagai penghalang (māni‘) adanya yang lain. Dengan definisi ini dapat diambil unsur-unsur dari hukum Wadha‘i.
- Sebab: Ialah sesuatu sifat yang terang dan tertentu sebagai titik tolak terwujudnya hukum. Contoh, seseorang yang berzina wajib dihukum.
Firman Allah s.w.t.:
الزَّانِيَةُ وَ الزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ.
Orang perempuan dan orang laki-laki yang berzina, maka pukulilah masing-masingnya seratus kali pukulan. (Sūrat-un-Nūr: 2).
- Syarat: Ialah suatu yang karenanya ada hukum dan tidak ada syarat tidak ada hukum. Contoh:
- Wajib zakat pada harta yang sudah sampai senisab, dan begitu juga harta perniagaan bila sampai setahun, jika tidak sampai setahun tidak wajib zakat harta tersebut.
Sabda Rasūlullāh s.a.w.:
لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَ لَا تَمْرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسَقٍ.
Tidak ada sedekah (zakat) pada biji dan buah-buahan sehingga sampai banyaknya lima wasaq. (H.R. Muslim).
Catatan:
1 wasaq = 60 sha‘.
1 sha‘ = 3,1 liter.
Jadi lima wasaq = 5 x 60 x 3,1 = 930 liter.
- Wudhu’ adalah syarat sah sembahyang, kalau tidak berwudhu‘ tidak sah sembahyang.
Sabda Rasūlullāh s.a.w.:
Allah tidak menerima sembahyang seseorang di antara kamu apabila ia berhadats sehingga berwudhu’. (H.R. Bukhārī Muslim).
- Māni‘ (penghalang). Ialah sesuatu hal karena adanya menyebabkan tidak adanya hukum, ada halangan tersebut menyebabkan adanya hukum.
Contoh:
- Sembahyang bagi wanita yang lagi dalam keadaan haidh, menyebabkan tidak ada hukum wajib sembahyang padanya karena wanita itu lagi dalam berhadats (haidh = māni‘).
- Sembahyang bagi orang yang bernajis pakaiannya menjadi penghalang baginya untuk melakukan sembahyang.
Firman Allah s.w.t.:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.
Dan bersihkanlah pakaianmu. (Sūrat-ul-Muddatstsir: 4).
Pasal 2
Hakim.
Sebagaimana kita ketahui tidak ada perbedaan pendapat para ulama tentang hakim sesudah Allah s.w.t. mengutus rasul-rasulNya untuk menyampaikan da‘wah Islamiyyah, yaitu menetapkan hukum buruk baiknya perbuatan seseorang. Hanya timbul pertanyaan. Siapakah atau apakah hakim sebelum diutus Allah s.w.t. Rasūl-Nya sebagai pembawa syari‘at kepada manusia-manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini timbul dua pendapat:
- Golongan Asy‘ariyyah yang disponsori oleh Abū Ḥasan al-Asy‘arī (874 M.) yang berpendapat, yang terjadi sebelum Rasūl diutus oleh Allah, tidak dapat dihukum. Artinya tidak haram kafir dan wajib iman.
Firman Allah s.w.t.:
وَ مَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلًا.
Tidak Kami azab manusia sebelum Kami utus Rasul kepadanya. (Sūrat-ul-Isrā’: 5)
- Golongan Mu‘tazilah yang disponsori oleh Wāshil bin ‘Athā’ (700-749 M.) yang mengemukakan pendapatnya bahwa yang menjadi hakim sebelum Rasul diutus dapat diketahui dengan akal, karena dengan akal itu manusia dapat membedakan antara yang buruk dengan yang baik di antara perbuatan-perbuatan manusia, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Allah akan memberikan balasan kepada orang dewasa (mukallaf) berdasarkan kepada perbuatan yang diketahui menurut akalnya.
Firman Allah s.w.t.:
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيْثُ وَ الطَّيِّبُ.
Katakanlah (hai Muḥammad) tidak sama antara yang baik dengan yang buruk. (Sūrat-ul-Mā’idah: 100).
Peringatan: Allah menghukum kepada segala yang dapat diketahui oleh akal, antara lain:
- Wājib : seperti membayar utang.
- Taḥrīm : seperti aniaya.
- Nadab : seperti berbuat baik.
- Karāhah : seperti kurang budi pekerti berwudhu’ dengan air panas.
Pasal 3
Maḥkūm bih.
Maḥkūm bih ialah perbuatan yang dihukumkan. Perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan lima pembahasan, sebagai akibat dari macam-macam isi dan maksud yang terkandung dalam Kitābullāh dan Sunnah Rasūl.
Maḥkūm bih ada beberapa macam:
1. Wājib.
Ialah suatu perbuatan yang diberi pahala bila dikerjakan dan disiksa bila ditinggalkan. Wājib ini dapat dibagi kepada:
Ditinjau dari tertentu atau tidaknya perbuatan yang diminta:
- Wājib Mu‘ayyan, yaitu yang telah ditentukan macam perbuatan, seperti kifarat puasa, sembahyang, zakat, dan lain-lain.
- Wājib Mukhayyar, yaitu segala perbuatan yang disuruh pilih oleh syara‘ mengerjakannya di antara beberapa pekerjaan yang tertentu seperti kifarat sumpah, yaitu boleh pilih salah satu di antara tiga macam hukum:
– memberi makan sepuluh orang miskin.
– memberi pakaian sepuluh orang miskin.
– memerdekakan seorang budak.
Ditinjau dari segi waktu mengerjakan:
- Wājib Mudhayyaq, yaitu untuk melakukan kewajiban sama dengan banyaknya waktu yang ditentukan dan dibutuhkan, yakni kewajiban harus segera dikerjakan di waktu itu juga, seperti akhir waktu shalat, sekedar untuk shalat saja.
- Wājib Muwassa‘, yaitu waktunya lebih banyak dari waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan kewajiban, seperti sembahyang di awal waktu.
Ditinjau dari segi orang yang mengerjakan.
- Wājib ‘Aini, yaitu perbuatan yang harus dikerjakan oleh setiap orang mukallaf. Kewajiban ini tidak dapat digantikan oleh orang lain, seperti sembahyang tahajjud difardhukan atas Nabi saja dan sembahyang yang lima waktu sehari semalam kepada seluruh manusia yang dewasa, puasa bulan Ramadhān diwajibkan kepada setiap orang mukallaf.
- Wājib Kifāyah, yaitu perbuatan yang harus dikerjakan oleh salah seorang anggota masyarakat dengan tidak memandang kepada siapa yang mengerjakan, seperti menyembahyangkan mayat dan mengafaninya.
Ditinjau dari segi qadarnya (ketentuan, ukurannya):
- Wājib Muḥaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan oleh syara‘ qadarnya atau jumlah dzatnya, seperti zakat.
- Wājib Ghairu Muḥaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan oleh syara‘ batas jumlahnya seperti mengeluarkan zakat harta pada jalan Allah, memberi makan orang dalam kelaparan, dan lain-lain.
2. Mandūb.
Ialah suatu perbuatan yang bila dikerjakan akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Mandūb dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
- Mandūb (sunnat) ‘aini, perbuatan yang dianjurkan kepada setiap orang seperti sembahyang rawatib yang dikerjakan sebelum dan sesudah sembahyang yang lima waktu (wajib).
- Mandūb (sunnat) kifāyah, perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat oleh salah seorang anggota masyarakat, seperti menjawab salam, mendoakan orang bersin.
3. Ḥarām.
Ialah suatu pekerjaan yang berdosa mengerjakannya dan berpahala meninggalkannya, seperti membunuh, mencuri, dan lain-lain.
WAJIB DAN BAHAGIANNYA
4. Makrūh.
Ialah suatu perbuatan yang terlarang, bila dikerjakan tidak mendapat siksa, bila ditinggalkan mendapat pahala. Makrūh ini dapat dibagi kepada:
- Makrūh Tanzīh, suatu perbuatan yang dirasakan meninggalkannya lebih baik daripada mengerjakannya, seperti meninggalkan jual beli untuk melakukan sembahyang Jum‘at.
Firman Allah s.w.t.:
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَ ذَرُوا الْبَيْعَ.
Bila kamu diseru untuk melakukan sembahyang Jum‘at maka bersegeralah mengingat Allah (pergi ke Masjid) dan tinggalkan jual-beli. (Suratu Jumu‘ah: 9).
- Tark-ul-Aulā, meninggalkan yang lebih utama seperti meninggalkan shalat dhuha.
- Makrūh Taḥrīm, sesuatu perbuatan yang dilarang tetapi dalilnya tidak qath‘i, seperti dilarang memakan daging ular.
5. Mubāḥ.
Ialah suatu perbuatan bila diperbuat tidak diberi pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Dikatakan hal ini dengan Jaiz, seperti mengeluarkan darah orang murtad.
Pasal 4
Rukhshah dan ‘Azhīmah.
Hukum bila dilihat dari sudut berat ringannya dan luas sempit daerah berlakunya, dapat dibedakan kepada Rukhshah dan ‘Azhīmah.
Rukhshah ialah peraturan-peraturan yang berubah dari yang berat kepada yang ringan disamping tetapnya hukum yang asal, seperti boleh berbuka bagi musafir dalam bulan Puasa dan dibolehkan memakan bangkai, darah dan daging babi bagi orang yang terpaksa.
Firman Allah s.w.t.:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَ الدَّمَ وَ لَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَ مَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَ لَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ.
Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih selain nama Allah, tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (Sūrat-ul-Baqarah: 173).
‘Azhīmah ialah peratutan Agama yang pokok dan berlaku umum sejak dari semulanya peraturan dan berlaku bagi semua orang mukallaf dalam semua keadaan dan waktu dengan tanpa memandang halangan, seperti sembahyang yang lima waktu sehari semalam itu wajib.
Pasal 5
Maḥkūm ‘Alaih.
Maḥkūm ‘Alaih ialah orang mukallaf (baligh lagi berakal) perbuatan mana tempat berlakunya hukum Allah dan firman-Nya. Sedangkan orang gila, “orang tidur”, anak kecil tidak termasuk mukallaf, karena tidak dapat mereka memahami dan melaksanakan tuntutan (perintah) yang ditimpakan kepadanya.
Sabda Rasūlullāh s.a.w.:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ.
Diangkat hukum dari tiga perkara: 1. Orang tidur sampai dia bangun, 2. Anak kecil sampai dia dewasa (‘āqil bāligh), 3. Orang gila sampai dia sembuh. (H.R. Abū Dāūd dan Nasā’ī, Hadits Ḥasan).