BAHAGIAN PERTAMA
Ilmu Ushul Fiqh
BAB III
Hukum menurut bahasa artinya menetapkan sesuatu atas yang lain. Menurut istilah agama ialah tuntutan dari pembuat syara‘ (Allah) yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf).
Pasal 1
Hukum Wadha‘i ialah ketentuan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain (musabbab), atau sebagai syarat yang lain (musyarat) dan sebagai penghalang (māni‘) adanya yang lain. Dengan definisi ini dapat diambil unsur-unsur dari hukum Wadha‘i.
Firman Allah s.w.t.:
الزَّانِيَةُ وَ الزَّانِيْ فَاجْلِدُوْا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ.
Orang perempuan dan orang laki-laki yang berzina, maka pukulilah masing-masingnya seratus kali pukulan. (Sūrat-un-Nūr: 2).
Sabda Rasūlullāh s.a.w.:
لَيْسَ فِيْ حَبٍّ وَ لَا تَمْرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسَقٍ.
Tidak ada sedekah (zakat) pada biji dan buah-buahan sehingga sampai banyaknya lima wasaq. (H.R. Muslim).
Catatan:
1 wasaq = 60 sha‘.
1 sha‘ = 3,1 liter.
Jadi lima wasaq = 5 x 60 x 3,1 = 930 liter.
Sabda Rasūlullāh s.a.w.:
Allah tidak menerima sembahyang seseorang di antara kamu apabila ia berhadats sehingga berwudhu’. (H.R. Bukhārī Muslim).
Contoh:
Firman Allah s.w.t.:
وَ ثِيَابَكَ فَطَهِّرْ.
Dan bersihkanlah pakaianmu. (Sūrat-ul-Muddatstsir: 4).
Pasal 2
Sebagaimana kita ketahui tidak ada perbedaan pendapat para ulama tentang hakim sesudah Allah s.w.t. mengutus rasul-rasulNya untuk menyampaikan da‘wah Islamiyyah, yaitu menetapkan hukum buruk baiknya perbuatan seseorang. Hanya timbul pertanyaan. Siapakah atau apakah hakim sebelum diutus Allah s.w.t. Rasūl-Nya sebagai pembawa syari‘at kepada manusia-manusia? Untuk menjawab pertanyaan ini timbul dua pendapat:
Firman Allah s.w.t.:
وَ مَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُوْلًا.
Tidak Kami azab manusia sebelum Kami utus Rasul kepadanya. (Sūrat-ul-Isrā’: 5)
Firman Allah s.w.t.:
قُلْ لَا يَسْتَوِي الْخَبِيْثُ وَ الطَّيِّبُ.
Katakanlah (hai Muḥammad) tidak sama antara yang baik dengan yang buruk. (Sūrat-ul-Mā’idah: 100).
Peringatan: Allah menghukum kepada segala yang dapat diketahui oleh akal, antara lain:
Pasal 3
Maḥkūm bih ialah perbuatan yang dihukumkan. Perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan lima pembahasan, sebagai akibat dari macam-macam isi dan maksud yang terkandung dalam Kitābullāh dan Sunnah Rasūl.
1. Wājib.
Ialah suatu perbuatan yang diberi pahala bila dikerjakan dan disiksa bila ditinggalkan. Wājib ini dapat dibagi kepada:
– memberi makan sepuluh orang miskin.
– memberi pakaian sepuluh orang miskin.
– memerdekakan seorang budak.
2. Mandūb.
Ialah suatu perbuatan yang bila dikerjakan akan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Mandūb dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
3. Ḥarām.
Ialah suatu pekerjaan yang berdosa mengerjakannya dan berpahala meninggalkannya, seperti membunuh, mencuri, dan lain-lain.
4. Makrūh.
Ialah suatu perbuatan yang terlarang, bila dikerjakan tidak mendapat siksa, bila ditinggalkan mendapat pahala. Makrūh ini dapat dibagi kepada:
Firman Allah s.w.t.:
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَ ذَرُوا الْبَيْعَ.
Bila kamu diseru untuk melakukan sembahyang Jum‘at maka bersegeralah mengingat Allah (pergi ke Masjid) dan tinggalkan jual-beli. (Suratu Jumu‘ah: 9).
5. Mubāḥ.
Ialah suatu perbuatan bila diperbuat tidak diberi pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Dikatakan hal ini dengan Jaiz, seperti mengeluarkan darah orang murtad.
Pasal 4
Hukum bila dilihat dari sudut berat ringannya dan luas sempit daerah berlakunya, dapat dibedakan kepada Rukhshah dan ‘Azhīmah.
Rukhshah ialah peraturan-peraturan yang berubah dari yang berat kepada yang ringan disamping tetapnya hukum yang asal, seperti boleh berbuka bagi musafir dalam bulan Puasa dan dibolehkan memakan bangkai, darah dan daging babi bagi orang yang terpaksa.
Firman Allah s.w.t.:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَ الدَّمَ وَ لَحْمَ الْخِنْزِيْرِ وَ مَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَ لَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ.
Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih selain nama Allah, tetapi barang siapa yang terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (Sūrat-ul-Baqarah: 173).
‘Azhīmah ialah peratutan Agama yang pokok dan berlaku umum sejak dari semulanya peraturan dan berlaku bagi semua orang mukallaf dalam semua keadaan dan waktu dengan tanpa memandang halangan, seperti sembahyang yang lima waktu sehari semalam itu wajib.
Pasal 5
Maḥkūm ‘Alaih ialah orang mukallaf (baligh lagi berakal) perbuatan mana tempat berlakunya hukum Allah dan firman-Nya. Sedangkan orang gila, “orang tidur”, anak kecil tidak termasuk mukallaf, karena tidak dapat mereka memahami dan melaksanakan tuntutan (perintah) yang ditimpakan kepadanya.
Sabda Rasūlullāh s.a.w.:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلَاثٍ: عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَ عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَ عَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يُفِيْقَ.
Diangkat hukum dari tiga perkara: 1. Orang tidur sampai dia bangun, 2. Anak kecil sampai dia dewasa (‘āqil bāligh), 3. Orang gila sampai dia sembuh. (H.R. Abū Dāūd dan Nasā’ī, Hadits Ḥasan).