Hati Senang

1-14 Seluruh Semesta Adalah Kegelapan – Al-Hikam – Ulasan Syaikh Ahmad Zarruq

AL-ḤIKAM
IBN ‘ATHĀ’ILLĀH
(Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq)


Ulasan al-‘Arif Billah
Syekh Ahmad Zarruq

Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi
Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi).

14. الْكَوْنُ كُلُّهُ ظُلْمَةٌ

“Seluruh semesta adalah kegelapan.”

Kegelapan tidak akan menunjukkan kepada apa pun. Sebaliknya, kegelapan menahan hamba dari apa pun. Maka, kegelapan harus dihilangkan agar tidak tercetak pada cermin hati. Jika hati terbebas dari kegelapan maka ia akan terbebas pula kebersandaran pada amal (281) dan kebersandaran pada segala yang lain. Seluruh semesta adalah kegelapan karena ia tiada dalam seluruh aḥwāl-nya. Di masa lalu dengan hakikat ahwal-nya, di masa sekarang dengan ketiadaan kebebasannya, dan di masa depan dengan ketidakpastiannya. Seandainya ia abadi maka seharusnya ia menetapi keadaan masa sekarang. Jika ia fanā’ maka ketetapannya mengikuti ketetapan masa lalu. Kemudian, apakah yang ada dalam wujud yang memberi cahaya, karena seluruh cahaya berasal dari al-Ḥaqq yang mahasuci, sebagaimana dijelaskan Ibnu ‘Athā’illāh:

 

14. وَ إِنَّمَا أَنَارَهُ ظُهُوْرُ الْحَقِّ فِيْهِ

“Sesungguhnya ia diterangi kemunculan al-Ḥaqq di dalamnya.”

Dia meneranginya dengan keberadaannya yang mungkin sebagai pengganti dari ketiadaannya yang lampau. Maka Dia muncul di dalamnya dengan ilmu-Nya dari sisi kedekatannya, muncul dengan kehendak-Nya dari sisi kekhususannya, dengan kekuasaan-Nya dari sisi penampakannya di balik dalil dan pengertiannya, bukan penampakan proses dan kaifiyyat. Maka, dengan begitu dzat, sifat, dan nama-Nya diketahui karena Dialah yang melakukannya. Dengan cara itulah dipahami firman-Nya: “Allah, Cahaya langit dan bumi” dan bahwa seluruh semesta adalah pelita yang di dalamnya terdapat kaca perbuatan-perbuatan yang menghimpun minyak kebersandaran yang diperas dari zaitun sifat-sifat kesempurnaan, keagungan yang tidak di timur dan tidak di barat hampir saja menerangi seandainya tidak disentuh api pengaruh lahiriah pelita sifat. Cahaya di atas cahaya perbuatan di atas cahaya kebersandaran di atas cahaya asmā’ di atas cahaya sifat. Cahaya itulah yang muncul pada seluruh semesta. Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya siapa saja yang Dia kehendaki pada tingkatan apa pun. Maka, ia menyaksikan al-Ḥaqq sesuai dengan kadar hidayah yang didapatkannya. Pahamilah.

Wujud penyaksian berbeda-beda. Barang siapa yang mencapai sebagian darinya maka itu menjadi kesempurnaan baginya. Barang siapa yang tidak mencapai bagiannya maka ia berada di wilayah kekurangan sebagaimana diperingatkan Ibnu ‘Athā’illāh:

 

14. فَمَنْ رَأَى الْكَوْنَ وَ لَمْ يَشْهَدْهُ فِيْهِ أَوْ عِنْدَهُ أَوْ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ فَقَدْ أَعْوَزَهُ وُجُوْدُ الْأَنْوَارِ

“Maka siapa yang melihat semesta dan tidak menyaksikan Dia di dalamnya, di sisinya, sebelumnya, atau sesudahnya maka ia telah disamarkan oleh wujud cahaya.”

Sebaliknya, barang siapa menyaksikan Dia di dalamnya, di sisinya, sebelumnya, atau sesudahnya maka ia adalah yang sempurna dan menyempurnakan cahaya, yang menampakkan rahasia, meskipun urutannya berbeda-beda. Maksud melihat semesta adalah gambaran wujudnya dari sisi apa yang tampak di dalamnya dan padanya dari perubahan biasa dan yang lainnya. Penyaksian al-Ḥaqq di dalamnya adalah melihat wujud perubahan dan pengelolaan al-Ḥaqq atas semesta dari sisi yang tidak pecah dan berjalannya perbuatan-perbuatan (Allah) sesuai dengan hikmah sehingga tidak ada yang kekal pada diri hamba apa pun selain kebersandaran kepada-Nya. Ia tidak bergantung kepada apa pun selain kepada-Nya. Sehingga hatinya siap sedia selamanya untuk menerima segala anugerah dari-Nya dengan kedalaman dan hakikatnya. Allah berfirman: “Allah pencipta segala sesuatu”. Dialah yang maha menciptakan. Hamba harus meyakini segala perbuatan-Nya dengan tauhid yang tulus dan lepas di atas hamparan tajrid. (292) Pahamilah. Namun, semua itu musnah tak berbekas ketika hamba bersandar kepada asbab dan amal sehingga ia percaya bahwa pencapaian dan penahanan terjadi karena upaya dan perjuangan.

Penyaksian-Nya bersamanya adalah melihat bahwa sesungguhnya Dia tegak berdiri untuknya dengan apa pun yang Dia sukai dan tegak untuknya dengan apa pun yang harus terjadi atas dirinya. Maka, semua itu menetap dalam hati yang menghajatkan murāqabah kepada-Nya dengan syukur atas segala yang dilimpahkan berupa segala yang dicintai, dan dengan menegakkan apa pun yang diwajibkan dan dituntut darinya. Maka, syahwatnya padam karena ia disibukkan memuji Allah dan jiwanya senantiasa bersyukur. Ia juga sibuk memenuhi hak-hak Allah sehingga melupakan upaya untuk mencari keuntungan diri sendiri dengan terus mengingat amal. Allah berfirman: “Dan Dia maha memelihara segala sesuatu.” (303).

Sesungguhnya Tuhanmu, Dia benar-benar mengawasi.” (314).

Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal) dengan sempurna.” (325) Dan juga firman-Nya sebagaimana diriwayatkan oleh manusia yang paling jujur dan membenarkan, Muḥammad s.a.w.: “Aku adalah sebagaimana sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku.” (336) Sesungguhnya Allah bersama setiap perbuatan dan orang yang berbuat hingga ia melakukan perbuatannya. Dalam hadits qudsi lainnya Allah berfirman: “Aku bersama orang-orang yang pecah hatinya demi Aku.” Pahamilah.

Semua itu akan tiada dengan kelalaian dan meninggalkan hak-hak. Allah lebih mengetahui. Dan penyaksian-Nya sebelumnya adalah ia bersegera menuju hatinya. Bahwa maksud dan tujuannya tidak mewujud kecuali dengan kehendak Allah dan kekuasaan-Nya. Maka, ia mencapai tawakkal kepada Allah di dalamnya karena mengetahui bahwa wujud segala sesuatu berasal dari-Nya: “Milik-Nya segala kunci langit dan bumi”. Yakni, kunci-kunci langit dan bumi yang membuka keberadaan semesta dan siapa yang membuatnya ada sehingga kelalaian akan musnah dengan pandangan ini; musnah karena hati dipenuhi rasa syukur. Karena dipenuhi syukur, ia terbebas meminta bantuan. Kelalaian musnah dengan ridha serta keberserahan diri kepada-Nya. Namun, semua pencapaian itu akan musnah ketika diri melihat nafsu dalam setiap perbuatannya yang membuat ada atau pun yang meniadakan. Pahamilah.

Dan penyaksian setelahnya adalah ketika hamba mengabaikan pendayagunaan dan pengaturan berbagai urusan dan perputaran berbagai hukum sehingga ia sampai pada suatu perkara yang diinginkannya dan kemudian ia mengingat anugerah al-Ḥaqq dengan segala kemudahan yang diberikan-Nya atau mengingat lawannya sehingga ia mengingat pemaksaan Allah dalam segala yang menyulitkannya. Ini keadaan (aḥwāl) orang awam di antara orang-orang yang menghadapkan wajah mereka kepada Allah. Untuk kelompok inilah Nabi s.a.w. bersabda: “Seorang hamba-Ku berbuat dosa kemudian ia mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menghukum akibat dosa itu…..” (347).

Di balik tingkatan ini hanya ada tingkatan orang yang nyaman dalam kelalaian yang membuatnya terjatuh dalam kesalahan dan kekeliruan. Untuk mereka inilah firman Allah: “Dan orang yang beriman dengan yang batil dan kufur kepada Allah, mereka adalah orang yang merugi.” (358) Itu karena mereka lalai dan merasa nyaman dalam kelalaian. Seandainya mereka kembali (kepada Allah), niscaya mereka tidak akan merugi. Pahamilah. Kemudian, yang mencapai penyaksian pertama maka ia bersama Allah. Atau penyaksian kedua bersama Allah, atau penyaksian ketiga, melihat segala perkara dari Allah atau penyaksian keempat berpaling dari segala yang lain dan kemudian menghadap hanya kepada Allah. Barang siapa yang meluputkan semua itu maka ia adalah orang linglung. Ia membutuhkan pancaran cahaya karena dirinya dikuasai pandangan kepada yang lain selain Dia.

 

14. وَ حُجِبَتْ عَنْهُ شُمُوْسُ الْمَعَارِفِ بِسُحُبِ الْآثَارِ

“Dan awan ciptaan menghalanginya dari matahari makrifat.”

Makrifat diumpamakan matahari karena ia menghilangkan segala kegelapan dan menyapu semua cahaya yang lain. Makrifat menyingkapkan hakikat segala perkara bersama ketinggian, keluhuran, dan kemanfaatannya yang bersifat umum. Dan setiap orang akan mendapatkan manfaatnya sesuai dengan kemampuannya.

Awan dikaitkan dengan alam ciptaan, karena ia menutupi hakikat, tetapi tidak bergerak bersama hakikat; melemahkan cahaya, tetapi tidak menghilangkannya; tampak pada hakikat tetapi tidak abadi bersamanya. Secara umum dikatakan bahwa makrifat al-Ḥaqq adalah asal bagi segala asal. Segala sesuatu selain al-Ḥaqq adalah tirai yang menghalangi-Nya. Tidak ada yang mengeluarkanmu dari penyifatan selain penykasian yang disifati. Siapa yang mengingat al-Ḥaqq, ia akan melupakan nafsunya. Sebaliknya, siapa yang mengingat nafsunya, ia akan melupakan al-Ḥaqq. Bab paling agung dalam makrifat kepada-Nya adalah penyaksian keperkasaan Allah dari hamparan tauhid, karena ia merasakan agungnya keagungan-Nya. Ibnu ‘Athā’illāh mengatakan: (lihat Ḥikam # 15)

Catatan:

  1. 28). Diriwayatkan oleh Imām Aḥmad dari Abū Sa‘īd, juga oleh Bazzār dari Syuraik, ath-Thabrānī dalam al-Kabīr dari Abū Mūsā r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tidak akan masuk surga siapa pun kecuali karena rahmat Allah, tidak pula aku, kecuali jika aku mendapatkan curahan rahmat-Nya.
  2. 29). Dalam manuskrip yang lain at-tafrīd, bukan at-tajrīd.
  3. 30). Q.S. az-Zumar [39]: 62.
  4. 31). Q.S. al-Fajr [89]: 14.
  5. 32). Q.S. an-Nūr [24]: 39.
  6. 33). H.R. Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Allah berfirman: “Aku berada dalam sangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku, Aku pun mengingatnya dalam Jiwa-Ku, dan Jika dia menyebut-Ku di tengah khalayak, Aku menyebutnya di tengah khalayak yang lebih baik daripada mereka. Dan jika ia mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekatinya satu hasta, dan jika ia mendekati-Ku satu hasta, Aku mendekatinya satu depa. Jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, Aku mendatanginya dengan bersederap”.
  7. 34). Hadits ini diriwayatkan oleh Imām Muslim r.a.: “Seorang hamba-Ku berbuat dosa maka ia berkata: “Ya Allah ampunilah dosaku. Maka, Allah berfirman: “Hamba-Ku berbuat dosa dan kemudian menyadari bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menghukum akibat dosa (maka ia diampuni), kemudian ia kembali dan melakukan dosa dan ia berkata: wahai Tuhan, ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman: “Hamba-Ku berbuat dosa dan kemudian menyadari bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menghukum akibat dosa (maka ia diampuni), kemudian ia kembali dan melakukan dosa dan ia berkata: “wahai Tuhan, ampunilah dosaku”. Maka Allah berfirman: “Hamba-Ku berbuat dosa dan kemudian menyadari bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menghukum akibat dosa (maka ia diampuni), kemudian ia kembali dan melakukan dosa dan ia berkata: “wahai Tuhan, ampunilah dosaku.” Maka Allah berfirman: “Hamba-Ku berbuat dosa dan kemudian menyadari bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan kemudian menyadari bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menghukum akibat dosa (maka ia diampuni), berbuatlah sekehendakmu maka kau telah diampuni.

    ‘Abd-ul-A‘lā mengatakan: “Aku tidak tahu, apakah beliau mengatakan “berbuatlah sesukamu” itu pada kali yang ketiga atau yang keempat.”

    Dari riwayat al-Bukhārī: “Sesungguhnya seorang hamba melakukan dosa maka ia berkata: “Tuhan, aku telah melakukan dosa maka ampunilah aku.” Tuhannya berkata: “Hamba-Ku mengetahui bahwa ia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa karena dosa itu, maka Aku mengampuni hamba-Ku itu” Kemudian ia berucap Mā Syā’ Allāh. Lalu ia kembali melakukan dosa dan berkata: “Tuhanku, aku melakukan dosa yang lain maka ampunilah aku.” Tuhan berkata: “Hamba-Ku tahu bahwa ia punya Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa akibat dosa itu maka Aku mengampuni hamba-Ku”. Lalu ia berucap Mā Syā’ Allāh. Lalu ia melakukan dosa yang lain dan berkata: “Tuhanku, aku melakukan dosa yang lain maka ampunilah aku.” Dia berfirman: “Hamba-Ku tahu bahwa ia punya Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa karena dosa. Maka, Aku mengampuninya, tiga kali. Maka, lakukanlah apa yang ia kehendaki.” (H.R. Bukhārī, Muslim, dan an-Nasā’ī).

  8. 35). Q.S. al-‘Ankabūt [29]: 52.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.