13. كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مُنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ…..
“Bagaimanakah fenomena semesta tergambar pada cermin hati?”
Gambaran fenomena itu menghalangi tampilnya penampakannya (tajalliyyatihi) dari tiga segi: Pertama, tercetaknya gambaran wujudnya dari sisi manfaat dan mudarat dan hal itu meniscayakan penyandaran kepadanya.
Kedua, tercetaknya gambaran fenomena dari sisi keindahan dan kebaikan yang meniscayakan cinta, dan hal itu membutuhkan ‘ubudiyyah untuknya.
Ketiga, tercetaknya gambaran dari sisi keinginan yang membutuhkan kelalaian darinya.
Makna tercetaknya fenomena pada cermin hati adalah munculnya wujud fenomena dalam hati sehingga ia tidak menerima gambaran lainnya. Makna gambaran fenomena adalah ‘ain atau substansi segala maujud. Cermin hati disebut juga bashīrah. Sesungguhnya hati tidak terbit bersama apa yang diingatnya karena hati hanya memiliki satu wajah. Jika ia menghadap kepada sesuatu maka ia terputus dari segala yang lain. Ciri atau tanda tercetaknya fenomena pada cermin hati adalah jejak dan pengaruhnya yang terus terasa dan cenderung kepadanya meskipun disertai cacat dan kesibukan jiwa dengan tujuan-tujuan dan tampilan yang muncul-tenggelam.
Ini merupakan petunjuk (dalil) terhadap syahwat yang merupakan penghalang kebangkitan sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Athā’illāh:
13. أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَ هُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ
“Atau bagaimanakah ia berjalan menuju Allah sedangkan ia dibelenggu syahwatnya?”
Setiap kali seorang sālik menghendaki kebangkitan, syahwat menariknya ke bawah. Jika ia berhasil bangkit, syahwat membuatnya diam di tempat sehingga ia enggan bergerak maju. Jika ia berjalan maju, syahwat menahannya untuk tidak melangkah lebih cepat. Jika ia bergerak lebih cepat, syahwat menghalanginya sehingga ia tak lagi kuasa bergerak. Jika ia masih mampu bergerak, syahwat menahannya sehingga tak bisa berjalan cepat; jika ia mempercepat jalan, syahwat membuatnya lambat; jika di pagi hari semangat dan tekadnya terkumpul, pasukan syahwat memorak-porandakannya di sore hari. Akibatnya, ia tak kunjung beranjak dari alam tabiatnya menuju realitas al-ḥaqq meskipun ia diiringi oleh cahayanya hingga ia melihat hakikat dan mengetahui al-ḥaqq.
Karena karakter syahwat yang menahan dan melambatkan perjalanan, sang pejalan yang memiliki kehendak harus meinggalkannya, bukan karena dzat syahwat itu sendiri, melainkan karena ia harus terus bergerak untuk mendekatinya. Sebab, pada dzatnya, syahwat itu dibolehkan. Karena itulah sebagian sufi mengatakan: “Menyingkirkan kotoran yang melekati tubuh jauh lebih mudah daripada melepaskan hati dari lekatan syahwat.”
Diriwayatkan bahwa Allah s.w.t. mewahyukan kepada Dāūd a.s.: “Peringatkan kaummu akan bahaya syahwat! Sesungguhnya setiap hati yang terikat pada syahwat dunia ia terhalang dari-Ku.”
Kemudian, syahwat sesungguhnya mengajak pada kelalaian, dan banyak pula yang lalai meskipun tidak disertai syahwat. Syahwat merupakan penghalang pada satu tingkatan untuk memasuki tingkatan lain, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Athā’illāh:
13. أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَ هُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابِةِ غَفَلاَتِهِ
“dan bagaimana ia berharap bisa memasuki hadirat Allah sedangkan ia belum menyucikan diri dari kotoran lalai?”
Hadirat Allah merupakan wilayah istimewa dan maqām-nya yang khusus ditentukan oleh kekhususan ibadahnya. Ini merupakan maqām yang disucikan, yang tidak dimasuki kecuali oleh orang yang telah disucikan dari kotoran lalai, sebagaimana tidak boleh memasuki masjid kecuali yang suci dari najis. Bahkan, sesungguhnya rahasia (inti) kewajiban manusia adalah menyucikan dirinya dari hadats lahir atau hadats indriawi, agar ia menghadap kepada Tuhannya secara utuh menyeluruh dengan indra dan jiwanya. Setiap hamba harus meratakan usapan air bersucinya ke seluruh bagian tubuh, sebagaimana meratakan usapan air ruhaninya kepada seluruh bagian jiwa dengan sadar dan sengaja. Bersuci dari hadats maknawi itu dilakukan dengan penyucian maknawi, yaitu zikir dan pikir. Keduanya merupakan ibarat bagi kegaiban yang disebutkan dalam ucapan seorang alim:
Sucikan dirimu dengan air ghaib jika kau miliki rahasia
Jika tidak, tayammumlah dengan debu atau batu.
Debu adalah gambaran ibadah karena pengaruhnya yang tampak membekas pada wajah seorang hamba seperti bekas debu yang digunakannya untuk bertayammum. Batu adalah gambaran zuhud dan pelepasan diri dari segala kotoran, karena pengaruhnya tidak tampak secara lahiriah. Keduanya merupakan pengganti bagi yang asal sebagaimana debu dan batu menggantikan air. Maka, penyucian dengan keduanya berlangsung secara maknawi, bukan secara lahiriah. Kemudian Ibnu ‘Athā’illāh mengatakan:
وَ قَدِّمْ إِمَامًا كُنْتَ أَنْتَ إِمَامَهُ.
“Utamakan sang imam, niscaya kau akan menjadi imamnya.”
Artinya, ikutilah syariat karena syariat adalah imam, dan jadikan dirimu sebagai imam dalam penetapannya sehingga jika kau telah menetapkannya, kau harus menetapi ‘uzlahmu dengan kukuh mengikutinya. Pahamilah. Kemudian Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
“Dan dirikanlah shalat Zhuhur di awal waktu ‘Ashar.”
Maksudnya, satukanlah Zhuhur syariat dengan ‘Ashar hakikat agar kau mencapai penemuan (wijdān) dalam perjalananmu dan berhenti di padang makrifat. Hanya Allah yang mengetahui.
Kemudian, di antara ciri-ciri kelalaian adalah kekeliruan, yaitu jatuhnya seorang sālik dalam kesalahan tanpa ia sengaja. Ini merupakan penghalang dalam perjalanan menuju rahasia setelah memasuki kehadiran dengan keberadaan noda yang terus tumbuh. Inilah yang diperingatkan oleh Ibnu ‘Athā’illāh dengan ucapannya:
13. أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الأَسْرَارِ وَ هُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ.
“Bagaimana bisa ingin memahami kedalaman rahasia sedangkan ia belum lagi kukuh dari ketergelinciran.”
Maksudnya, ia dilalaikan dan disimpangkan oleh noda yang kemudian membutakan hatinya sehingga membuatnya sulit mendapatkan pemahaman. Allah berfirman:
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka lalukan itu telah menutupi hati mereka.” (221).
Dan Dia juga berfirman:
وَ اتَّقُوا اللهَ وَ يُعَلِّمُكُمُ اللهُ.
“Dan bertaqwalah kepada Allah, dan Allah akan mengajarimu.” (232).
Allah menjadikan taqwa sebagai hamparan ilmu. Abū Sulaimān ad-Dāranī r.a. (243) mengatakan: “Ketika satu jiwa telah yakin untuk meninggalkan dosa, ia akan berkelana di alam malakut, lalu kembali kepada pemiliknya dengan membawa pucuk-pucuk hikmah tanpa seorang alim pun yang mengajarkan ilmu kepadanya.” Kemudian ia menyampaikan hal itu kepada Imām Aḥmad ibn Ḥanbal yang membenarkannya seraya menyebutkan hadits Nabi s.a.w.: “Barang siapa mengamalkan apa yang diketahuinya, niscaya Allah akan memberinya ilmu tentang apa yang belum diketahuinya.” (254).
Disebutkan bahwa Imām Mālik berwasiat kepada Imām Syāfi‘ī: “Bertaqwalah kepada Allah dan janganlah kau padamkan cahaya yang telah dianugerahkan Allah ini kepadamu dengan kemaksiatan.”
Seorang sufi bersenandung:
Aku takkan berani memasukinya hingga ku lepaskan wadah budak yang hina
Ku tutup mataku di atas kehinaannya dan aku berlindung dari segala pandang.
Keempat hal itu sesungguhnya akan padam dalam penyaksian al-Ḥaqq yang mahasuci. Barang siapa yang menyaksikan-Nya di tengah semesta sebagai pelaku dan pengatur yang aktif maka keempat hal itu akan dilupakan dan tidak akan tergambar pada cermin hatinya. Barang siapa yang menyaksikan-Nya di tengah semesta sebagai kekuatan yang tegak dan kokoh berkuasa atas seluruh semesta. Dia maha memberi nikmat dan maha menyiksa. Dengan kesadaran itu, ia tidak akan terikat kepada syahwatnya. Dan barang siapa yang menyaksikan Dia setelah keberadaan semesta, ia akan beranjak dari semesta dan bergerak menuju-Nya.
Dan barang siapa yang menyaksikan bahwa seluruh semesta adalah kegelapan dan bahwa al-Ḥaqq satu-satunya yang meneranginya maka terbukalah baginya pintu-pintu tajallī-Nya. Sebab, ia melihat dengan hati yang bersenandung (265) melantunkan tauhid semata. Dikatakan kepada al-Junaid, (276): “Bagaimanakah jalan yang paling cepat menuju Allah?”
Al-Junaid menjawab: “Dengan tobat yang menghilangkan kekeraskepalaan, rasa takut yang menghilangkan kemalasan dan kelalaian, harapan yang membangkitkan jiwa untuk beramal, penistaan nafsu yang akan mendekatkannya kepada ajal dan menjauhkannya dari angan-angan kosong.”
“Dengan apakah seorang hamba sampai kepada semua itu?”
“Dengan hati yang bersenandung, semata-mata menyenandungkan tauhid.”
Keempat hal yang disebutkan inilah yang dapat menghilangkan empat penghalang yang disebutkan oleh Ibnu ‘Athā’illāh: (lihat Ḥikam # 14)
“Siapakah orang yang menyendiri wahai Rasūlullāh?”
Beliau bersabda: “Orang yang berdzikir kepada Allah dengan dzikir yang banyak.”