1-12 Tak Ada Yang Lebih Bermanfaat Bagi Hati Kecuali ‘Uzlah Yang Melaluinya Kita Memasuki Medan Pemikiran – Al-Hikam – Ulasan Syaikh Ahmad Zarruq

AL-ḤIKAM
IBN ‘ATHĀ’ILLĀH
(Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq)

Ulasan al-‘Arif Billah
Syekh Ahmad Zarruq

Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi
Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi).

 

12. مَا نَفَعَ الْقَلْبَ شَيْئٌ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيْدَانُ فِكْرَةٍ.

“Tak ada yang lebih bermanfaat bagi hati kecuali ‘uzlah, yang melaluinya kita memasuki medan pemikiran.”

Jelaslah, seseorang akan selamat dari segala sesuatu selain Allah dengan menetapi ‘uzlah dan cahaya ruhani akan semakin jelas memancar melalui pemikiran. ‘Uzlah yang tidak disertai dengan pemikiran akan mengarahkannya kepada kebodohan dan pemikiran tidak sah tanpa ‘uzlah. Maka, ‘uzlah adalah rumah pemikiran “dan di dalam rumahnya dia mendapatkan kebijaksanaan”. ‘Uzlah hakiki adalah menyendiri dengan keadaan (al-ḥāl) dan ‘uzlah metaforis adalah menyendiri dengan diri sendiri (asy-syakhsh).

Manusia terdiri atas tiga kelompok: orang yang menyendiri dengang hatinya, tidak dengan kepribadiannya. Ini adalah kelompok yang terang dan jelas, pejalan yang kukuh, dan keadaan mereka adalah keadaan orang yang kuat dan sempurna. (211)

Kelompok kedua adalah yang menyendiri dengan dirinya, tidak dengan hatinya. Mereka ini selamat jika syarat-syaratnya terpenuhi. Kelompok ini terpapar dan terbuka untuk menerima percik-percik rahmat Ilahi meskipun tidak memiliki aḥwāl yang mengarahkannya ke sana.

Kelompok berikutnya adalah yang menyendiri dengan keduanya; diri dan hatinya. Kelompok ini pun terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu golongan yang menyendiri untuk berserah diri (liyaslama), menyendiri untuk menyepi (liyaghnama), dan menyendiri untuk mendapatkan nikmat (liyan‘ama). Syarat pertama setelah mengetahui keadaan (aḥwāl)nya adalah teguh menjalankan segala kewajiban berkaitan dengan waktunya dan selamat dari prasangka buruk dirinya. Syarat kedua adalah menjaga sunnah dan bekerja keras melakukan amal. Syarat ketiga adalah mewujudkan aḥwāl dan membebaskan diri dari segala pendapat.

Asal makna “medan” adalah tempat untuk mengosongkan diri. Ibnu ‘Athā’illāh mengumpamakan medan dalam perjalanan atau proses pengosongan diri dengan medan dalam proses pemikiran. Ada empat medan dalam pemikiran: (Pertama) Keberadaan fenomena untuk mewujudkan dalil yang menunjukkan kepada fenomena itu sehingga berujung pada “negasi atau penegasan”. (Kedua) Keberadaan syahwat atau keinginan yang menghalangi pencapaian maksud sehingga dalil pertama semakin kukuh. (Ketiga) Keberadaan hal-hal yang melalaikan yang menyimpangkan dari tujuan atau maksud sehingga suatu pemikiran semakin ajeg dan jelas kebenarannya. Keempat, adanya al-hafawāt dalam penyimpangan atau perubahan sehingga pemikiran itu tidak menyimpang dari pemahaman. Awal semua itu adalah pengetahuan bahwa keempat medan itu bekerja untuk satu tujuan dan keempatnya bersifat pasti dari sisi tingkatan untuk mencapai tujuan. Inilah yang dimaksudkan Ibnu ‘Athā’illāh dalam perkataannya: (lihat Ḥikam # 13)

Catatan:

  1. 21). Kepada golongan seperti inilah dikatakan: “khullu bihim fī jalwatihim”. Secara lahiriah mereka berada di tengah manusia tetapi secara batinlah mereka berada bersama Allah…..

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *