11. اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ
“Tanamlah wujudmu di dalam tanah kerendahan!”
Maksudnya, sembunyikanlah ilmu, amal, keadaan ruhani (aḥwāl) dan segala sesuatu yang membuatmu diingat. Sembunyikan segala sesuatu yang membuatmu dikenal, dipuji, bahak diagungkan sehingga kau mengabaikan dan melupakan air serta semua kekurangan dirimu, baik cacat yang mendasar, atau juga cacat yang lahir, dan yang batin. Berkaitan dengan hal ini, manusia terbagi tiga kelompok:
Pertama, kelompok orang yang tenggelam dalam hakikat sehingga tidak melihat kemuliaan dirinya karena selalu melihat aib dan cacat dirinya. Ia menyadari bahwa seluruh kesempurnaan hanya milik Allah s.w.t., sedangkan hamba teramat jauh dari kesempurnaan dan pada dasarnya sungguh tidak sempurna. Karena itulah ia mengembalikan semua kepada Tuhan sebagai bentuk pengamalan terhadap firman-Nya: “Kalaulah bukan karena anugerah dan rahmat Allah atas kalian, niscaya tidak ada seorang pun di antara kalian yang suci (dari dosa).” (191).
Kedua, orang yang mendapat taufik sehingga tidak melihat kebaikan dirinya dan selalu melihat aib-aib yang melekat pada dirinya. Ia melihat kebaikannya sebagai keburukan dan melihat berbagai hakikat dirinya hanyalah pengakuan. Dalam pandangannya, dirinya benar-benar rendah dan hina, bahkan lebih rendah dari siapa yang dikenalnya.
Ketiga, kelompok orang yang dikuasai oleh diri dan nafsunya sehingga tenggelam dalam ilusi. Ia melihat bagian nafsunya dan melakukan berbagai upaya mendapatkannya. Maka, ia perlu menghilangkannya dengan hal mubah yang dianggap buruk guna menyingkirkan pengakuannya dan menyelamatkan diri dari fitnahnya; bukan untuk bersembunyi dari makhluk. Sebab, jika kau bersembunyi dari makhluk, berarti kau mengagungkan mereka. Syaikh Abul-‘Abbās al-Mursī (202) berkata: “Siapa yang ingin terlihat berarti ia hamba keterlihatan. Siapa yang ingin bersembunyi maka ia hamba ketersembunyian. Sementara bagi hamba Allah sama saja apakah Dia perlihatkan atau Dia sembunyikan.” Lalu Ibnu ‘Athā’illāh menjelaskan manfaat penyembunyian tersebut:
11. فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لاَ يَتِمَّ نَتَائِجُهُ.
“Sebab, sesuatu yang tumbuh tanpa ditanam, niscaya tidak akan berbuah sempurna.”
Inilah kondisi yang terlihat pada tanaman dan yang sejenisnya. Ia baru berbuah kalau ditanam. Tumbuhan yang tidak ditanam di dalam tanah tidak akan berbuah meskipun mungkin saja bisa tumbuh. Atau meskipun berbuah tidak akan sempurna hasilnya. Itu pula yang terlihat pada amal dan buah yang tersimpan di dalamnya. Adanya perubahan merupakan sesuatu yang dapat dirasakan. Karena itu, Syaikh Abul-‘Abbās Aḥmad ibn ‘Uqbah al-Ḥadhramī mengungkapkan bait-bait syair – entah syair karyanya sendiri atau gubahan orang lain – yang bertutur:
Hiduplah sebagai orang tak dikenal, terimalah
Pilihan itu lebih selamat bagi dunia dan agama
Ia yang bergaul dengan manusia, agamanya takkan aman
Ia terus berada antara digerakkan dan dibikin tenang
Jika kau menanam tumbuhan maka tanamlah di tanah yang baik. Sebab, menanam tumbuhan di tanah yang buruk akan menghasilkan buah yang buruk pula. Sama halnya, jika kau menyembunyikan diri, jangan menyembunyikannya pada kondisi yang tidak diridhai. Yaitu kondisi yang disepakati keharamannya. Sebab, sesuatu yang gelap pada dzatnya tidak akan bisa menjadi cahaya. Maka, analogi keadaan bersembunyi pada sesuatu yang diharamkan dengan orang yang tersedak makanan dan hanya tegukan arak yang bisa melancarkannya analogi yang pantas. Sebab, sesuatu yang haram tidak boleh dipergunakan untuk menghilangkan sesuatu yang makruh. Pandangannya hamba ini adalah penguatan kehidupan duniawi yang fana’ sedangkan itu kehidupan yang abadi bukanlah pandangan yang bisa diterima, karena hal itu sama saja dengan tindakan bunuh diri: ia meluputkan kehidupan yang abadi dengan perbuatan-perbuatannya dan ia juga meluputkan kesempurnaan urusan-urusan yang lainnya.
Selanjutnya, penghubung menuju ikhlas dan kerendahan adalah ilmu yang memadai yang bersumber dari pikiran yang bening dan suci. Awal dari ilmu yang mencukupi itu adalah ‘uzlah, kemudian khuluwah. Karena itulah Ibnu ‘Athā’illāh melanjutkan dengan ucapannya: (lihat Ḥikam # 12)