10. اَلْأَعْمَالُ صُوَرٌ قَائِمَةٌ وَ أَرْوَاحُهَا وُجُوْدُ سِرِّ الْإِخْلَاصِ فِيْهَا
“Amal adalah kerangka yang tegak, sementara ruhnya berupa keikhlasan yang murni.”
Tidak ada artinya kerangka tanpa ruh. Sama halnya, ruh tidak mungkin bisa eksis tanpa kerangka. Frasa keikhlasan yang murni merupakan bentuk penegasan, karena keikhlasan itu mengandung arti kemurnian. Orang yang ikhlas berarti terlepas dari ikatan dan kebergantungan dengan apa pun. Jadi, yang dimaksudkan adalah inti keikhlasan atau hakikat terdalam keikhlasan.
Namun, bisa pula maksudnya sesuatu yang lebih khusus, yaitu kejujuran yang diungkapkan dengan sikap berlepas diri dari daya dan kekuatan. Keduanya sama-sama termasuk sifat yang dituntut dari hamba. Artinya, setiap hamba dituntut untuk ikhlas dengan menghilangkan riya’ dan dituntut untuk jujur dengan melenyapkan sifat ujub. Amal yang dilakukan hamba barulah sempurna jika disertai dengan keikhlasan dan kejujuran. Karena itu, seorang syaikh mengatakan: “Luruskan amalmu dengan ikhlas dan luruskan ikhlasmu dengan berlepas dari segala daya dan kekuatan.”
Syaikh Abū Thālib al-Makkī r.a. mengatakan: “Bagi para mukhlishin, ikhlas adalah mengeluarkan makhluk dari mu‘āmalah dengan Tuhan. Dan makhluk yang pertama harus disingkirkan adalah nafsu. Sedangkan bagi para pecinta (muḥibbīn), ikhlas adalah tidak melakukan amal karena nafsu. Jika tidak disertai ikhlas maka amal mereka pasti termasuk dalam amal yang dilakukan untuk mendapat upah atau memenuhi bagian nafsu. Dan bagi para ahli tauhid, ikhlas adalah keluarnya makhluk dari mu‘āmalah dengan Tuhan, entah dalam bentuk melihat mereka ketika beramal, tidak merasa nyaman dengan mereka, atau merasa lapang dengan mereka.”
Jika ikhlas merupakan perisai atau benteng amal maka mencampakkan diri pada tanah kerendahan adalah benteng ikhlas. Karena itulah diri ini harus dipendam di tanah kerendahan. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Athā’illāh dalam untaian hikmah berikutnya: (lihat Ḥikam # 11)