1-1 Bersandar – Al-Hikam – Ulasan Syaikh Ahmad Zarruq

AL-ḤIKAM
IBN ‘ATHĀ’ILLĀH
(Diterjemahkan dari: Ḥikamu Ibni ‘Athā’illāh: Syarḥ-ul-‘Ārif bi Allāh Syaikh Zarrūq)

Ulasan al-‘Arif Billah
Syekh Ahmad Zarruq

Penerjemah: Fauzi Bahreisy dan Dedi Riyadi
Penerbit: Qalam (PT Serambi Semesta Distribusi).

BAB SATU

Di antara ciri bersandar kepada amal adalah berkurangnya harapan ketika terjadi kesalahan

Makrifat bagaikan matahari. Ia melenyapkan semua kegelapan dan melahirkan cahaya. Ia singkapkan berbagai hakikat dalam rupa yang luhur, mulia, dan berlimpah manfaat. Setiap orang bisa mengambil manfaat sesuai kapasitasnya.

 

Ibnu ‘Athā’illāh r.a. mengatakan:

 

1. مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

“Di antara tanda bersandar kepada amal adalah berkurangnya rasa harap ketika terjadi kesalahan.”

 

Bersandar adalah mengerahkan kekuatan kepada sesuatu. Penyandaran diri merupakan dorongan dari dalam diri yang muncul karena mengharapkan sesuatu dari yang disandari. Tandanya adalah mengutamakan sesuatu yang disandari dan selalu melihat kepadanya, baik ketika menghadap maupun di saat berpaling.

Berkaitan dengan bersandar kepada amal, manusia terbagi tiga golongan. Pertama, bersandar kepada amal. Golongan ini membatasi diri, mengabaikan karunia Allah, dan yang menjadi tujuan hidupnya adalah mengumpulkan amal. Ia berada dalam kedudukan “islām”, karena takut dan harapnya bersama amal. Kelompok ini seperti digambarkan firman Allah: “Hendaknya manusia memperhatikan apa yang ia persembahkan untuk esok.” (11) Ciri kelompok ini adalah seperti yang diungkapkan Ibnu ‘Athā’illāh di atas.

Kedua, golongan orang yang bersandar pada karunia Allah. Golongan ini menyadari karunia Allah dan tujuan hidupnya adalah melepaskan diri dari segala daya dan kekuatan. Golongan ini berada dalam kedudukan “īmān”, karena ia selalu bersama qudrat-Nya, baik ketika menghadap maupun di saat berpaling. Hamparan golongan ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “Apa saja nikmat yang ada padamu, dari Allah datangnya. Dan bila kamu ditimpa oleh bahaya, hanya kepada-Nya kamu meminta pertolongan.” (22) Ciri golongan ini adalah selalu kembali kepada Tuhan dengan memuji dan bersyukur ketika diliputi kesenangan dan menampakkan kehinaan serta kefakiran saat ditimpa kesulitan.

Ketiga, golongan yang bersandar pada pembagian dan ketentuan Allah yang sudah ditetapkan. Golongan ini menyadari adanya kendali Tuhan sehingga yang menjadi perhatian dan tujuan hidupnya adalah fana’ dalam tauhid. Kedudukannya “iḥsān” karena ia senantiasa melihat dan menyaksikan. Hamparannya sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: “Katakanlah Allah!” Lalu biarlah mereka bermain-main dalam kesesatan.” (33) Di antara tanda atau ciri golongan ini adalah pasrah dan diam menetapi semua ketentuan. Rasa takut dan harapnya tidak bertambah atau berkurang karena sebab apa pun. Jika takut dan harapnya ditimbang, pasti akan selalu sama dalam setiap keadaan. Ia senantiasa gembira dan juga sedih sebagaimana hal itu menjadi sifat Nabi s.a.w.

Seorang ahli hakikat mengatakan: “Orang yang telah sampai pada hakikat Islām tidak akan melemah dalam beramal. Orang yang telah sampai pada hakikat īmān tidak akan berpaling kepada amal. Dan orang yang telah sampai pada hakikat iḥsān tidak akan menoleh kepada apa pun dan siapa pun selain Allah s.w.t.

Seperti itulah keadaan orang yang bersandar kepada sesuatu. Bersandar kepada sesuatu untuk mencapai keinginan pasti akan melahirkan rasa kehilangan ketika mendapat yang sebaliknya serta melahirkan rasa tamak ketika ia mengikuti keinginannya. Salah satu fenomena yang menggambarkan hal ini adalah perbedaan antara kondisi tajrīd (menyendiri) dan kondisi asbāb (berusaha) seperti yang diungkapkan oleh Ibnu ‘Athā’illāh: (lihat Ḥikam # 2)

Catatan:


  1. 1). Q.S. al-Ḥasyr [59]: 18. 
  2. 2). Q.S. an-Naḥl [16]: 53. 
  3. 3). Q.S. al-An‘ām [6]: 91. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *