1-1-7 Kisah Nabi Adam a.s. – Kisah-kisah Para Nabi – Imam Ibnu Katsir

قَصَصُ الْأَنْبِيَاءِ
Judul Asli:
QASHASH-UL-ANBIYĀ’

Penulis:
Imam Ibnu Katsir.

Judul Terjemahan:
KISAH-KISAH PARA NABI

Penerjemah: Muhammad Zaini, Lc.
Penerbit: Insan Kamil Solo.

Rangkaian Pos: 1 Kisah Nabi Adam a.s. - Kisah-kisah Para Nabi - Imam Ibnu Katsir

Kata (الْإِهْبَاطُ) disebutkan dua kali di dalam sūrat-ul-Baqarah, sebagaimana firman-Nya: “…..Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” Kemudian Ādam menerima beberapa kalimat dari Rabb-nya, lalu Dia pun Menerima tobatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. Kami berfirman: “Turunlah kamu semua dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah [2]: 36-39).

Sebagian Mufassir berkata: “Maksud ihbāth (turun) yang pertama dalam ayat tersebut adalah turun dari surga ke langit dunia. Dan ihbāth (turun) yang kedua adalah dari langit dunia ke bumi.”

Namun pendapat ini dha‘īf (lemah) berdasarkan firman Allah: “…Kami berfirman: “Turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.”” (al-Baqarah [2]: 36) sehingga perintah turun (ihbāth) yang pertama dalam ayat tersebut menunjukkan perintah turun ke bumi. Wallāhu a‘lam.

Pendapat yang benar adalah bahwa Allah hanya mengulang lafazhnya meskipun maknanya sama, namun hukumnya berlaku pada masing-masing dari keduanya. Pertama, permusuhan yang terjadi di antara mereka. Kedua, penetapan syarat atas mereka bahwa barang siapa yang mengikuti petunjuk yang telah Allah turunkan kepada mereka, niscaya akan mendapatkan kebahagiaan. Sebaliknya, barang siapa yang menyelisihi petunjuk tersebut niscaya dia akan sengsara. Namun pendapat ini perlu dikaji ulang jika diukur dengan al-Qur’ān al-Ḥakīm.

Al-Ḥāfizh Ibnu ‘Asākir (511) meriwayatkan dari Mujāhid, dia menuturkan: Allah memerintahkan dua malaikat (Jibrīl dan Mikā’īl) untuk mengeluarkan Ādam dan Ḥawwā’ dari sisi-Nya. Jibrīl pun melepas mahkota yang berada di atas kepala Ādam, sedangkan Mikā’īl melepas mahkota yang ada di keningnya. Seketika dahan-dahan pepohonan mulai menghampirinya, sehingga Ādam mengira bahwa adzab telah disegerakan baginya. Kemudian dia membalikkan kepalanya sambil berkata: “Ampun, ampun.” Lalu Allah berfirman: “Wahai Ādam, apakah engkau akan lari dari-Ku?” Ādam menjawab: “Tidak wahai Rabb. Saya hanya malu kepada-Mu.”

Al-Auzā‘ī meriwayatkan dari Ḥassan – yakni Ibnu ‘Athiyyah – , dia berkata: Ādam tinggal di surga selama seratus tahun (di dalam riwayat lain disebutkan enam puluh tahun), menangis selama tujuh puluh tahun karena dikeluarkan dari surga, menangis atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya selama tujuh puluh tahun, dan menangisi anaknya yang meninggal selama tujuh puluh tahun.” (Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asākir). (522).

Ibnu Abī Ḥātim (533) berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abū Zur‘ah, telah menceritakan kepada kami ‘Utsmān bin Abī Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jarīr, dari ‘Athā’, dari Sa‘īd, dari Ibnu ‘Abbās, dia berkata: “Ādam a.s. diturunkan di sebuah daerah yang bernama Dahnān; yang terletak di antara Makkah dan Thā’if.”

Diriwayatkan dari al-Ḥasan, dia berkata: “Ādam diturunkan di Hindia, Ḥawwā’ di Jeddah, dan Iblīs di Distimyān yang terletak beberapa mil dari Bashrah, sedangkan ular diturunkan di Ashbahān.” Sebagaimana yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim. (544).

As-Suddī berkata: “Ādam diturunkan di Hindia dengan membawa hajar Aswad dan dedaunan dari surga, lalu dedaunan itu ia tanam dan tumbuhlah pohon yang paling bagus di sana.” (555).

Dari Ibnu ‘Umar r.a. dia berkata: “Ādam diturunkan di bukit Shafā, sedangkan Ḥawwā’ di Marwā.” Sebagaimana yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim. (566).

‘Abd-ur-Razzāq (577) meriwayatkan dari Ma‘mar, dia menuturkan: Telah menceritakan kepadaku ‘Auf, dari Qisāmah bin Zuhair, dari Abū Mūsā al-Asy‘arī, dia berkata: “Sungguh, ketika Allah hendak menurunkan Ādam ke bumi, Dia mengajarkan cara membuat segala sesuatu kepada Ādam, dan membekalinya dengan buah-buahan dari surga. Sehingga buah-buahan kalian itu bagian dari buah yang ada di surga. Hanya saja, buah-buahan yang ada di bumi ini berubah-rubah (busuk), sedangkan buah yang ada di surga tidak.”

Al-Ḥākim berkata di dalam Mustadrak-nya (588): Abū Bakar bin Balwaih bercerita kepada kami, dari Muḥammad bin Aḥmad bin Nadhar, dari Mu’āwiyah bin ‘Amru, dari Zā’idah, dari ‘Ammār bin Abī Mu‘āwiyah al-Bajalī, dari Sa‘īd bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbās, dia berkata: “Sesungguhnya Ādam menempati surga selama waktu antara ‘Ashar hingga terbenamnya matahati.” Al-Ḥākim berkata: “Hadits ini shaḥīḥ sesuai dengan syarat hadits shaḥīḥ yang ditetapkan oleh al-Bukhārī dan Muslim, hanya saja mereka tidak meriwayatkannya.

Di dalam Shaḥīḥ Muslim (599) disebutkan hadits dari az-Zuhrī, dari al-A‘rāj, dari Abū Hurairah, dia berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sebaik-baik hari adalah hari Jum‘at. Pada hari itu Ādam diciptakan, pada hari itu pula dia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari itu pula dia dikeluarkan darinya.” Di dalam Shaḥīḥ-nya dari jalur yang lain disebutkan: “Dan pada hari itu (Jum‘at) juga kiamat akan terjadi.

Imām Aḥmad (6010) berkata: Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Mush‘ab, telah menceritakan kepada kami al-Auzā‘ī, dari Abū ‘Ammār, dari ‘Abdullāh bin Fārūkh, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. beliau bersabda: “Sebaik-baik hari adalah hari Jum‘at. Pada hari itu Ādam diciptakan, pada hari itu pula dia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari itu pula dia dikeluarkan darinya, serta pada hari itu pula (kelak akan) terjadinya hari kiamat.” Sanad hadits ini sesuai dengan syarat Muslim.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asākir (6111) dari jalur Abul-Qāsim al-Baghawī, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Ja‘far al-Warkānī, telah menceritakan kepada kami Sa‘īd bin Maisarah, dari Anas, dia berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Ādam dan Ḥawwā’ diturunkan dalam keadaan telanjang. Keduanya hanya ditutupi dedaunan dari surga. Ketika Ādam merasa haus, dia duduk sambil menangis seraya berkata kepada Ḥawwā’: “Wahai Ḥawwā’, aku haus.” Rasūlullāh melanjutkan sabdanya: “Kemudian Jibrīl mendatanginya sambil membawa kapas dan memerintahkan Ḥawwā’ untuk memintalnya, sekaligus mengajarkan cara memintal kepadanya. Kemudian memerintahkan Ādam untuk menenun dan mengajarkan cara menenun kepadanya.” Beliau s.a.w. menambahkan: “Ketika di surga, Ādam belum pernah berjima‘ dengan istrinya, sampai mereka dikeluarkan dari surga karena kesalahan yang telah mereka lakukan; berupa memakan buah dari pohon terlarang.” Beliau berkata: “Masing-masing dari mereka berdua tidur sendiri-sendiri; yang satu tidur di atas kerikil, dan yang lainnya di tempat yang lain. Malaikat Jibrīl pun datang; menemui Ādam dan memerintahkannya agar menyetubuhi istrinya.” Nabi bersabda: “Jibrīl mengajarkan kepadanya bagaimana cara menyetubuhi istrinya. Tatkala Ādam selesai bersetubuh dengan istrinya, Jibrīl pun datang seraya bertanya kepadanya: “Wahai Ādam, bagaimana perasaannya terhadap istrimu? Ādam menjawab: “Menarik”.”

Status hadits ini gharīb, bahkan ada yang mengatakan derajatnya sangat mungkar. Bisa jadi ia hanyalah perkataan seorang salaf (bukan hadits), dan Sa‘īd bin Maisarah adalah Abū ‘Imrān al-Bakri al-Bashrī. Al-Bukhārī berkata bahwa dia (Sa‘īd bin Maisarah) haditsnya mungkar. Ibnu Ḥibbān berkata: “Dia senang meriwayatkan hadits-hadits maudhū‘ (palsu).” Ibnu ‘Adī berkata: “Dia senang melakukan kezhaliman.”

Firman Allah:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Kemudian Ādam menerima beberapa kalimat dari Rabb-nya, lalu Dia pun menerima taubatnya. Sungguh, Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. al-Baqarah [2]: 37).

Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah ayat:

قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَ إِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَ تَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

“….. “Ya Rabb kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. al-A‘rāf [7]: 23).

Sebagaimana yang diriwayatkan dari Mujāhid, Sa‘īd bin Jubair, Abul-‘Āliyah, ar-Rabī‘ bin Anas, al-Ḥasan, Qatādah, Muḥammad bin Ka‘ab, Khālid bin Ma‘dān, ‘Athā’ al-Khurasānī, dan ‘Abd-ur-Raḥmān bin Zaid bin Aslam. (6212).

Ibnu Abī Ḥātim menuturkan: Telah menceritakan kepada kami ‘Alī bin Ḥasan bin Isykāb, telah menceritakan kepada kami ‘Alī bin ‘Āshim, dari Sa‘īd bin Abū ‘Arūbah, dari Qatādah, dari al-Ḥasan, dari Ubay bin Ka‘ab, dia berkata bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Ādam a.s. berkata: “Wahai Rabb-ku, seandainya aku bertaubat dan menyesali perbuatanku, apakah Engkau akan mengembalikanku ke dalam surga? Allah menjawab: “Ya,” Oleh sebab itu, Allah ‘azza wa jalla menyebutkan di dalam firman-Nya: “Kemudian Ādam menerima beberapa kalimat dari Rabb-nya, lalu Dia pun menerima taubatnya….” (QS al-Baqarah [2]: 37) Dari jalur ini hadits tersebut gharīb (asing) dan munqathi‘ (sanadnya terputus).

Ibnu Abī Nājiḥ menuturkan dari Mujāhid, dia berkata: “(Yang dimaksud) dengan beberapa kalimat di dalam ayat tersebut adalah:

اللهُمَّ لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَ بِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ إِنَّكَ خَيْرُ الْغَافِرِيْنَ، اللهُمَّ لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَ بِحَمْدِكَ، رِبِّ إِنِّيْ ظلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ إِنَّكَ خَيْرُ الرَّاحِمِيْنَ، اللهُمَّ لَا إِلهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ وَ بِحَمْدِكَ، رَبِّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.

“Ya Allah, sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, dan segala puji hanya milik-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik pengampun. Ya Allah, sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, dan segala puji hanya milik-Mu. Ya Allah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku, sesungguhnya Engkau adalah sebaik-baik penyayang. Ya Allah, sesungguhnya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, dan segala puji hanya milik-Mu. Ya Allah sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku sendiri, maka ampunilah aku, sesungguhnya Engkau adalah Dzāt Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (6313).

Di dalam Mustadrak-nya, al-Ḥākim (6414) meriwayatkannya dari jalur Sa‘īd bin Jubair dari Ibnu ‘Abbās, dia berkata tentang firman Allah “Kemudian Ādam menerima beberapa kalimat dari Rabb-nya, lalu Dia pun menerima taubatnya….” (QS. al-Baqarah [2]: 37). Ādam berkata: “Wahai Rabb-ku bukankah Engkau telah menciptakanku dengan tangan-Mu Sendiri?” Allah menjawab: “Ya, benar.” Ādam berkata: ‘Dan Engkau telah meniupkan sebagian ruh-Mu kepadaku?” Allah menjawab: “Ya, benar.” Ādam berkata: “Ketika aku bersin, Engkau mendoakan: “Yarḥamukallāh (semoga Allah merahmatimu)”. Dan bukankah rahmat-Mu telah mendahului murka-Mu?” Allah menjawab: “Ya, benar.” Ādam berkata: “Bukankah Engkau telah menetapkan (mentakdirkan) diriku untuk melakukan perbuatan ini?” Allah menjawab: “Ya, benar.” Ādam berkata: “Ya Allah, jika aku bertaubat (dari kesalahanku) apakah Engkau akan mengembalikanku ke dalam surga?” Allah menjawab: “Ya, benar.” Al-Ḥākim berkata: “Hadits ini sanadnya shaḥīḥ, meskipun Imam al-Bukhārī dan Muslim tidak meriwayatkannya.”

Al-Ḥākim, al-Baihaqī dan Ibnu ‘Asākir (6515) juga meriwayatkannya dari jalur ‘Abd-ur-Rahman bin Zaid bin Aslam, dari bapaknya, dari kakeknya, dari ‘Umar bin Khaththāb dia berkata: bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Tatkala Ādam melakukan kesalahan, dia berkata: “Ya Allah, jika aku memohon kepada-Mu dengan hak Muḥammad, niscaya Engkau akan mengampuniku.” Allah berfirman: “Bagaimana kamu bisa mengenal Muḥammad, padahal Aku bukan menciptakannya?” Ādam berkata: “Ya Allah, ketika Engkau menciptakanku dengan tangan-Mu Sendiri, dan meniupkan sebagian ruh-Mu kepadaku, pada saat itu Engkau menengadahkan kepalaku, lalu aku melihat di ‘Arasy tertulis kalimat: “Tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Allah, dan Muḥammad adalah Rasūlullāh.” Sehingga aku mengetahui bahwa Engkau tidak akan menggandengkan sesuatu dengan nama-Mu, kecuali orang yang terbaik dari makhluk-Mu.” Lalu Allah berfirman: “Engkau benar wahai Ādam. Sesungguhnya dia (Muḥammad) adalah makhluk yang paling Aku cintai. Jika engkau memohon kepada-Ku dengan haknya, niscaya Aku akan mengampunimu. Dan jika bukan karena Muḥammad, niscaya Aku tidak akan menciptakanmu”.”

Al-Baihaqī berkata: “Hadits ini hanya diriwayatkan dari jalur ‘Abd-ur-Raḥmān bin Zaid bin Aslam seorang diri, dan dia adalah perawi dha‘īf (lemah).” Wallāhu a‘lam.

Ayat itu senada dengan firman Allah s.w.t.:

…. وَ عَصَى آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَى، ثُمَّ اجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَتَابَ عَلَيْهِ وَ هَدَى.

“…..dan telah durhakalah Adam kepada Rabb-nya, dan sesatlah dia. Kemudian Rabb-nya memilih dia, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (QS. Thāhā [20]: 121-122).

Catatan:

  1. 51). Tārīkh Dimasq (7/404).
  2. 52). Ibid.
  3. 53). Tafsīru Ibni Abī Ḥātim (394, 8316).
  4. 54). Tafsīru Ibni Abī Ḥātim (395).
  5. 55). Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (418).
  6. 56). Tafsīru Ibni Abī Ḥātim (394, 8314).
  7. 57). Tafsīru ‘Abd-ur-Razzāq (1/43, 44).
  8. 58). Al-Ḥākim (2/452).
  9. 59). HR. Muslim (854).
  10. 60). HR. Aḥmad (2/450), hadits ini di-shaḥīḥ-kan oleh al-Albānī di dalam Shaḥīḥ-ul-Jāmi‘ (3328).
  11. 61). Tārīkh Dimasq (7/413).
  12. 62). Lihat Tafsīr-uth-Thabarī (1/242-245), Tafsīru Ibni Abī Ḥātim (410), Asy-Syu‘ab (7172, 7174), dan ad-Durr-ul-Mantsūr (1/59).
  13. 63). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya (1/244, 245), dari jalur Ibnu Abī Nājiḥ.
  14. 64). Al-Ḥākim (2/545).
  15. 65). Al-Ḥākim (2/615), Al-Baihaqī di dalam ad-Dalā’il (5/489), dan Ibnu ‘Asākir (7/37). Al-Albānī berkata di dalam Silsilatu Haditsi Dha‘īf-nya (25) hadits ini maudhū’ (palsu).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *