Hati Senang

1-1-6 Kisah Nabi Adam a.s. – Kisah-kisah Para Nabi – Imam Ibnu Katsir

قَصَصُ الْأَنْبِيَاءِ
Judul Asli:
QASHASH-UL-ANBIYĀ’

Penulis:
Imam Ibnu Katsir.

Judul Terjemahan:
KISAH-KISAH PARA NABI

Penerjemah: Muhammad Zaini, Lc.
Penerbit: Insan Kamil Solo.

Maka, ketika Ādam memakan buah dari pohon yang dilarang, dia segera diturunkan ke bumi; tempat yang penuh dengan kesengsaraan, kesulitan, kesusahan, kecemasan, kerja keras, ujian, cobaan, dan bala’. Serta keanekaragaman penduduk baik dari segi agama, akhlak, ‘amal perbuatan, tujuan (niat), keinginan perkataan, dan perbuatan. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

….. وَ لَكُمْ فِي الْأَرْضِ مَسْتَقَرٌّ وَ مَتَاعٌ إِلَى حِيْنٍ.

“…. dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (al-Baqarah [2]: 36).

Jelas, hal ini menunjukkan bahwa mereka pada saat itu tidak berada di langit, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

وَ قُلْنَا مِنْ بَعْدِهِ لِبَنِيْ إِسْرَائِيْلَ اسْكُنُوْا الْأَرْضَ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ جِئْنَا بِكُمْ لَفِيْفًا.

Dan Kami berfirman sesudah itu kepada Bani Isrā’īl: “Diamlah di negeri ini. Maka apabila datang masa berbangkit, niscaya Kami datangkan kamu dalam keadaan bercampur baur (dengan musuhmu).” (QS. Al-Isrā’ [17]: 104).

Ayat ini menunjukkan bahwa mereka berada di bumi, bukan di langit.

Mereka berkata: “Pendapat ini bukan bagian dari pendapat kelompok yang mengingkari adanya surga dan neraka hari ini. Sesungguhnya pendapat di atas dinukil dari pendapat para salaf, dan kebanyakan khalaf hari ini yang menetapkan bahwa surga dan neraka telah ada; sebagaimana yang disebutkan oleh ayat-ayat dan hadits-hadits shaḥīḥ. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.”

Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Lalu syaithan memperdayakan keduanya darinya (surga), sehingga keduanya dikeluarkan dari (segala kenikmatan) ketika keduanya di sana (surga).” (QS. Al-Baqarah [2]: 36). Yaitu dikeluarkan dari tempat yang penuh dengan kenikmatan, kesenangan, dan kebahagiaan, kepada tempat yang penuh kesusahan, kesengsaraan, dan kesulitan. Hal itu dikarenakan syaithān telah membisikkan pikiran jahat kepada mereka berdua dan menampakkan dunia itu indah di dalam hati mereka. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُوْرِيَ عَنْهُمَا مِنْ سَوْءَاتِهِمَا وَ قَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَنْ تَكُوْنَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُوْنَا مِنَ الْخَالِدِيْنَ

Kemudian syaithān membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup. Dan (syaithān) berkata: “Rabb-mu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” (QS. Al-A‘rāf [7]: 20).

Syaithān berkata: “Rabb kalian tidak melarang kalian memakan buah pohon itu, agar kalian tidak menjadi malaikat dan tidak menjadi orang-orang yang kekal (di dalam surga).” Maksudnya: “Sekiranya kalian memakan buah pohon tersebut, niscaya kalian akan menjadi malaikat dan menjadi orang-orang yang kekal di dalam surga.”

Dan dia (Syaithān) bersumpah kepada keduanya.” (QS. Al-A‘rāf [7]: 21). Yakni bersumpah kepada mereka berdua tentang hal itu. Sebagaimana firman Allah di dalam ayat yang lain:

فَوَسْوَسَ إِلَيهِ الشَّيْطَانُ قَالَ: يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَ مُلْكٍ لَا يَبْلَى. (طه: 120)

Kemudian syaithān membisikkan (pikiran jahat) kepadanya, dengan berkata: “Wahai Ādam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS. Thāhā [20]: 120). Yakni: “Maukah engkau saya tunjukkan kepada sebuah pohon, yang jika engkau memakan buahnya niscaya engkau akan tetap kekal di dalam kenikmatan yang sedang kamu nikmati saat ini dan tetap berada di dalam kerajaan yang tidak akan binasa?” Ini merupakan bentuk penipuan yang dilakukan oleh syaithan kepada Ādam.

Yang dimaksud dengan Pohon Khuldi dalam ayat tersebut, yang (menurut syaithān) apabila engkau memakan buahnya niscaya engkau akan tetap kekal di dalam surga, bisa jadi merupakan jenis pohon yang disebutkan dalam riwayat Imām Aḥmad. (391). Telah menceritakan kepada kami ‘Abd-ur-Raḥmān bin Mahdī, telah menceritakan kepada kami Syu‘bah, dari Abudh-Dhaḥḥāk, dia menuturkan: Saya mendengar Abū Hurairah berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga terdapat sebatang pohon. Apabila seorang pengendara kuda berjalan di bawah naungannya (dari satu ujung) selama seratus tahun, niscaya dia belum menemukan ujung naungan yang lain. Itulah pohon khuldi.

Imām Aḥmad juga meriwayatkan hadits tersebut dari jalur Ghundar dan Ḥajjāj dari Syu‘bah. (402) Abū Dāūd ath-Thayālisī juga meriwayatkan hadits tersebut di dalam Musnad-nya dari Syu‘bah. (413) Ghundar berkata: “Saya bertanya kepada Syu‘bah: “Apakah itu pohon Khuldi?” Dia menjawab: “Di dalam surga tidak ada pohon itu.” Hanya Imām Aḥmad yang meriwayatkan hadits ini.

Allah ‘azza wa jalla berfirman:

فَدَلَّاهُمَا بِغُرُوْرٍ، فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْءَاتُهُمَا وَ طَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ…..

Maka syaithan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga....” (QS. Al-A‘rāf [7]: 22).

Sebagaimana firman-Nya di dalam surat Thāhā:

فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْءَاتُهُمَا وَ طَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ…..

Lalu keduanya memakannya, lalu tampaklah oleh keduanya aurat mereka dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga.…..” (QS. Thāhā [20]: 121).

Ibunda Hawwā’ lebih dahulu memakan buah pohon itu, dan dialah yang mengajak Ādam memakan buah tersebut. Wallāhu a‘lam.

Mengenai hal ini, Imām al-Bukhārī meriwayatkan sebuah hadits yang berbunyi (424): Telah bercerita kepada kami Bisyr bin Muḥammad, telah mengabarkan kepada kami ‘Abdullāh, telah mengabarkan kepada kami Ma‘mar, dari Ḥammām bin Munabbih, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:

لَوْ لَا بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ لَمْ يَخْنَزِ اللَّحْمُ وَ لَوْ لَا حَوَّاءُ لَمْ أَنْثَى زَوْجَهَا.

Seandainya bukan karena perbuatan Bani Isrā’īl, maka daging tidak akan membusuk. Dan seandainya bukan karena Hawwā’ (istri Nabi Ādam a.s.) tentu wanita tidak akan mengkhianati suaminya.

Dengan lafal ini, hanya Imām al-Bukhārī yang meriwayatkan hadits tersebut. Imām al-Bukhārī dan Muslim meriwayatkan hadits tersebut di dalam shaḥīḥ-nya dari ‘Abd-ur-Razzāq, dari Ma‘mar, dari Ḥammām, dari Abū Hurairah. (435). Sedangkan Imām Aḥmad dan Muslim meriwayatkannya dari Hārūn bin Ma‘rūf, dari Abū Wahab, dari ‘Amru bin Ḥārits, dari Abū Yūnus, dari Abū Hurairah. (446).

Di dalam kitab Taurāt yang dipegang oleh Ahli Kitāb disebutkan bahwa, yang menunjukkan ibunda Ḥawwā’ untuk memakan buah pohon tersebut adalah seekor ular yang sangat indah dan bagus bentuknya. Ḥawwā’ pun memakannya atas perintah ular tersebut, lalu ia menyuapi suaminya; Ādam a.s. dan tidak disebutkan keterangan bahwa di situ ada Iblīs.

Ketika Ḥawwā’ memakan buah pohon tersebu, mata mereka terbelalak. Saat tersadar, mereka dapati diri mereka sudah tak berpakaian. Lalu mereka pun mengambil daun pohon tin dan menjadikannya sebagai sarung. Di dalam Taurāt disebutkan bahwa keduanya dalam keadaan telanjang. Demikian juga yang dikatakan oleh Wahab bin Munabbih: “(Sebelumnya), pakaian mereka adalah cahaya yang menutup aurat keduanya.” (457).

Kisah yang disebutkan di dalam Taurāt yang ada di tangan Ahli Kitāb ini banyak mengandung kesalahan dan penyelewengan dalam penerjemahan, karena menerjemahkan satu bahasa kepada bahasa yang lain tidak mudah bagi setiap orang, terlebih bagi orang yang tidak memahami bahasa ‘Arab dengan baik, dan tidak menguasai ilmu untuk memahami kitabnya sendiri. Oleh karena itu, dalam menerjemahkan kitab tersebut banyak melakukan kesalahan, baik secara lafazh atau makna.

Di dalam al-Qur’ān al-Karīm disebutkan bahwa Ādam dan Ḥawwā’ mempunyai baju, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla: “…. dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya…..” (QS. Al-A‘rāf [7]: 27). Ayat ini tidak akan terbantahkan dengan pendapat siapapun. Wallāhu ta‘ālā a‘lam.

Ibnu Abī Ḥātim berkata: (468) “Telah menceritakan kepada kami ‘Alī bin al-Ḥasan bin Asykāb, telah menceritakan kepada kami ‘Alī bin ‘Āshim dari Sa‘īd bin Abī ‘Arūbah, dari Qatādah, dari al-Ḥasan, dari Ubay bin Ka‘ab, dia menuturkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan Ādam seorang laki-laki yang jangkung berambut lebat, seolah-olah ia pohon kurma yang menjulang tinggi. Ketika dia memakan buah pohon larangan tersebut, maka terlepaslah baju yang dikenakannya. Dan yang pertama kali nampak darinya adalah auratnya (kemaluannya). Ketika dia melihat auratnya, dia langsung lari dari surga, namun pohon tersebut menarik rambutnya, dan melepaskannya. Lalu Allah memanggilnya: “Wahai Ādam, mengapa engkau lari dari-Ku?” Ketika dia mendengar seruan Allah tersebut, Ādam menyahut: “Tidak ya Allah. Hanya saja saya malu”.

Ats-Tsaurī meriwayatkan dari Ibnu Abī Lailā, dari al-Minhāl bin ‘Amru, dari Sa‘īd bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbās tentang firman Allah ‘azza wa jalla: “…. Maka mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga…..” (al-A‘rāf [7]: 22) yakni daun pohon tin. (479).

Sanad hadtis ini shaḥīḥ, seolah-olah diambil dari Ahli Kitāb. Namun Nash ayat tersebut lebih umum darinya, dan tidak mengapa tidak menyebutkannya secara langsung. Wallāhu ta‘ālā a‘lam.

Al-Ḥāfizh Ibnu ‘Asākir (4810) meriwayatkan dari jalur Muḥammad bin Isḥāq, dari al-Ḥasan bin Dzakwān, dari al-Ḥasan al-Bashrī, dari Ubay bin Ka‘ab dia berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya bapak kalian (Ādam) seperti pohon kurma yang menjulang tinggi. Tingginya enam puluh hasta, rambutnya lebat, dan auratnya tersingkap. Ketika ia hendak keluar dari surga, sebuah pohon menarik ubun-ubunnya, kemudian Allah menyerunya: “Wahai Ādam, apakah engkau akan lari dari-Ku?” Ādam menjawab: “Demi Allah, saya sangat malu atas apa yang saya perbuat.

Ibnu ‘Asākir (4911) juga meriwayatkannya dari jalur Sa‘īd bin Abī Arwibah, dari Qatādah, dari al-Ḥasan, dari Yaḥyā bin Dhamrah, dari Ubay bin Ka‘ab, dari Nabi s.a.w. Dan inilah yang lebih shaḥīḥ karena al-Ḥasan tidak berjumpa dengan Ubay.

Demikian juga Ibnu ‘Asākir meriwayatkannya dari jalur Khaitsamah bin Sulaimān al-Athrabulusī, dari Muḥammad bin ‘Abd-il-Wahhāb Abū Qirshafah al-‘Asqalānī, dari Ādam bin Abī Iyās, dari Sinān, dari Qatādah, dari Anas secara marfū‘.

Firman Allah ‘azza wa jalla: “…. Allah menyeru mereka: “Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” Keduanya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” (al-A‘rāf [7]: 22-23).

Hal ini merupakan bentuk pengakuan dan pertaubatan dari kesalahan yang telah dilakukannya, merendahkan diri, tunduk, dan patuh, serta perasaan sangat membutuhkan Allah di saat-saat sulit seperti itu. Yang demikian itu tidaklah ada pada seseorang di antara anak keturunannya, melainkan dia akan mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.

Allah berfirman:

قَالَ اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَ لَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَ مَتَاعٌ إِلَى حِيْنٍ

(Allah) berfirman: “Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang telah ditentukan.” (al-A‘rāf [7]: 24).

Objek ayat ini ditujukan kepada Ādam, Ḥawwā’, dan Iblīs. Ada yang berpendapat: “Bahkan pada saat itu ada ular yang bersama mereka. Mereka diperintahkan turun dari surga ketika mereka saling bermusuhan dan memerangi.” Pendapat yang mengatakan bahwa pada saat itu ada seekor ular yang bersama mereka adalah hadits Nabi s.a.w. yang menerangkan bahwa beliau memerintahkan untuk membunuh ular. Beliau bersabda: “Kami tidak akan berdamai dengan mereka sejak kami memeranginya.” (5012).

Allah ‘azza wa jalla berfirman di dalam Sūrat Thāhā:

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيْعًا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ

Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain.” QS. Thāhā [20]: 123).

Perintah yang terdapat dalam ayat tersebut ditujukan kepada Ādam dan Iblīs, dan permusuhan di antara mereka akan terjadi terus-menerus. Kemudian Ādam meminta ular untuk mengikuti Ḥawwā’ dan Iblīs. Ada juga yang berpendapat: “Sesungguhnya perintah tersebut ditujukan kepada mereka semua, hanya saja menggunakan shīghah (redaksi) tatsniyah (dua orang). Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

وَ دَاوُدَ وَ سُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيْهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَ كُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِيْنَ

Dan (ingatlah kisah) Dāūd dan Sulaimān, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu.” (al-Anbiyā’ [21]: 78).

Yang benar adalah, bahwa seorang hakim tidak akan menghakimi kecuali ada dua unsur; penuduh dan yang tertuduh. Sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu.” (al-Anbiyā’ [21]: 78).

Catatan:

  1. 39). HR. Aḥmad (2/462). Muḥaqqīq al-Musnad berkata: hadits ini shaḥīḥ namun tanpa kata (شَجَرَةُ الْخُلْدِ) “pohon kekekalan”. Karena dengan lafal tersebut sanadnya dha‘īf (lemah). Lihat: al-Musnad, (9870, 9950), cetakan ar-Risālah.
  2. 40). HR. Aḥmad (455).
  3. 41). Ath-Thayālisī (2547).
  4. 42). HR. al-Bukhari (3330).
  5. 43). HR. al-Bukhari (3330), Muslim (1470).
  6. 44). HR. Aḥmad (2/304, 315, 349), Muslim (1470).
  7. 45). HR. at-Tirmidzī (2/206), ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya (10/114), Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (8348), Ibnu ‘Asākir (7/401), dan as-Suyūthī di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (3/74) menyandarkannya kepada Abū Syaikh.
  8. 46). Tafsīru Ibni Abī Ḥātim (392).
  9. 47). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya (8/143), Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (8302), al-Baihaqī (2/244), Ibnu ‘Asākir (7/402-403) dari jalur ats-Tsaurī, dan as-Suyūthī di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (3/75) menisbatkannya kepada al-Fibāyī, Ibnu Abī Syaibah, ‘Abdun bin Ḥāmid, Ibn-ul-Mundzir, Abū Syaikh, dan Ibnu Mardawaih.
  10. 48). Tārīkh Dimasq (7/404).
  11. 49). Ibid.
  12. 50). HR. Aḥmad (1/230, 2/247, 432, 520), Abū Dāūd (5248), dan hadits ini di-shaḥīḥ-kan oleh al-Albānī di dalam Shaḥīḥu Sunani Abī Dāūd. (4370).
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.