1-1-5 Kisah Nabi Adam a.s. – Kisah-kisah Para Nabi – Imam Ibnu Katsir

قَصَصُ الْأَنْبِيَاءِ
Judul Asli:
QASHASH-UL-ANBIYĀ’

Penulis:
Imam Ibnu Katsir.

Judul Terjemahan:
KISAH-KISAH PARA NABI

Penerjemah: Muhammad Zaini, Lc.
Penerbit: Insan Kamil Solo.

Rangkaian Pos: 1 Kisah Nabi Adam a.s. - Kisah-kisah Para Nabi - Imam Ibnu Katsir

Allah berfirman kepada Iblīs: “Maka turunlah kamu darinya (surga).” (al-A‘rāf [7]: 13) dan “Dan keluarlah dari sana (surga).” (al-A‘rāf [7]: 18). Ini merupakan bukti bahwa hal itu terjadi di langit, kemudian Allah memerintahkannya untuk turun darinya; keluar dari derajat dan kedudukan tinggi yang telah didapatkannya dengan ibadah yang dilakukannya. Bahkan, (dahulu) dia serupa dengan malaikat dalam melaksanakan ketaatan dan ibadah. Namun hal itu berubah menjadi kehinaan akibat kesombongan, kedengikan, dan pembangkangannya terhadap perintah Allah, sehingga Allah memerintahkannya untuk turun ke bumi dalam keadaan hina dan terusir.

Kemudian Allah memerintah Nabi Ādam dan istrinya untuk tinggal di dalam surga, seraya berfirman:

وَ قُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَ زَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَ كُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَ لَا تَقْرَبَا هذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الْظَّالِمِيْنَ.

Dan kami berfirman: “Wahai Ādam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zhalim!” (al-Baqarah [2]: 35).

Dan firman-Nya di dalam Sūrat-ul-A‘rāf:

قَالَ اخْرُجْ مِنْهَا مَذْؤُوْمًا مَّدْحُوْرًا لَّمَنْ تَبِعَكَ مِنْهُمْ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنْكُمْ أَجْمَعِيْنَ. وَ يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَ زَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَ لَا تَقْرَبَا هذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُوْنَا مِنَ الظَّالِمِيْنَ.

(Allah berfirman): “Keluarlah kamu dari sana (surga) dalam keadaan terhina dan terusir! Sesungguhnya barang siapa di antara mereka ada yang mengikutimu, pasti akan Aku isi neraka Jahannam dengan kamu semua.” Dan (Allah berfirman): “Wahai Ādam! Tinggallah engkau bersama istrimu dalam surga dan makanlah apa saja yang kamu berdua sukai. Tetapi janganlah kamu berdua dekati pohon yang satu ini. (Apabila didekati) kamu berdua termasuk orang-orang yang zhalim.” (al-A‘rāf [7]: 18-19).

Dan Allah ‘azza wa jalla juga berfirman:

وَ إِذْ قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُوْا لِآدَمَ فَسَجَدُوْا إِلَّا إِبْلِيْسَ أَبَى. فَقُلْنَا يَا آدَمُ إِنَّ هذَا عَدُوٌّ لَّكَ وَ لِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَى. إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوْعَ فِيْهَا وَ لَا تَعْرَى. وَ أَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيْهَا وَ لَا تَضْحَى.

Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: “Sujudlah kamu kepada Ādam”, maka mereka sujud kecuali Iblīs; dia membangkang. Maka Kami berfirman: “Wahai Ādam, sesungguhnya ini (Iblīs) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya.” (Thāhā [20]: 116-119).

Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa ibunda Hawwā’ diciptakan sebelum Ādam diperintahkan masuk surga, sebagaimana firman-Nya: “Wahai Ādam! Tinggallah engkau bersama istrimu dalam surga.” (al-A‘rāf [7]: 19). Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Muḥammad bin Isḥāq bin Yasār, berdasarkan zhahir ayat-ayat tersebut. (211)

Akan tetapi as-Suddī menceritakan dari Abū Shāliḥ dan Abū Mālik dari Ibnu ‘Abbās, sedangkan Murrah dari Ibnu Mas‘ūd, dari sekolompok shahabat, mereka berkata: “Ketika Iblīs dikeluarkan dari surga, maka Ādam dimasukkan ke dalamnya. Pada saat itu, Ādam berjalan sendirian dan tidak ada seorang istri pun yang mendampinginya. Kemudian ia tidur. Ketika bangun, dia mendapati seorang wanita yang Allah ciptakan dari tulang rusuknya (Ādam) sedang duduk di samping kepalanya. Lalu Ādam bertanya kepadanya: “Siapa engkau?” Wanita itu menjawab: “Saya seorang wanita.” Ādam bertanya lagi: “Untuk apa kamu diciptakan?” Ia menjawab: “Untuk mendampingimu.” Kemudian para malaikat bertanya kepada Ādam untuk melihat seberapa keilmuannya: “Siapa nama wanita tersebut wahai Ādam?” Dia menjawab: “Ḥawwā’.” Para malaikat bertanya lagi: “Mengapa dia bernama Ḥawwā’?” Ādam menjawab: “Karena dia diciptakan dari sesuatu yang hidup.” (222).

Muḥammad bin Isḥāq meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, bahwa Ḥawwā’ diciptakan dari tulang rusuk yang paling kecil sebelah kiri yang tertutupi oleh daging, di saat Ādam sedang tidur. (233) Hal ini dibenarkan oleh firman Allah ‘azza wa jalla yang berbunyi:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَ نِسَاءً وَ اتَّقُوا اللهَ الَّذِيْ تَسَاءَلُوْنَ بِهِ وَ الْأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا

Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Ādam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Ḥawwā’) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (an-Nisā’ [4]: 1).

Dan firman-Nya:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا، فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهِ….

Dia-lah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Ādam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu)…...” (al-A‘rāf [7]: 189). Hal ini akan kami jelaskan pada pembahasan berikutnya, in syā’ Allāh.

Dalam shaḥīḥ al-Bukhārī dan Muslim (244) disebutkan hadits dari Zā’idah, dari Maisarah al-Asyja‘ī, dari Abū Ḥāzim, dari Abū Hurairah, dari Nabi s.a.w. beliau bersabda:

وَ اسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ، وَ إِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ، فَإِنْ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ، وَ إِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا.

Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan, karena sesungguhnya dia diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas. Jika kamu berusaha untuk meluruskannya, niscaya akan patah. Namun jika kamu membiarkannya, dia akan senantiasa bengkok. Maka berwasiatlah terhadap wanita dengan kebaikan.” Ini adalah redaksi hadits milik al-Bukhārī.

Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai firman Allah: “Tetapi janganlah kamu berdua mendekati pohon ini.” (al-A‘rāf [7]: 19). Ada yang berpendapat bahwa itu adalah pohon anggur. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, Sa‘īd bin Jubair, asy-Sya‘bī, Ja‘dah bin Hubairah, Muḥammad bin Qais, dan as-Suddī dalam riwayat yang bersumber dari Ibnu ‘Abbās, Ibnu Mas‘ūd, dan sekelompok shahabat, mereka berkata: “Orang-orang Yahudi mengatakan bahwa itu adalah pohon gandum.”

Hal ini senada dengan apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, al-Ḥasan al-Bashrī, Wahab bin al-Munabbih, ‘Athiyyah al-‘Aufī, Abū Mālik, Muḥārib bin Ditsār, dan ‘Abd-ur-Raḥmān bin Abū Lailā. (255).

Wahab berkata: “Biji pohon itu lebih lembut dari mentega dan lebih manis dari madu.” (266).

Ats-Tsaurī meriwayatkan dari Abū Ḥushain, dari Abū Mālik tentang firman Allah: “Dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini,” ia adalah pohon kurma. (277) Ibnu Juraij (288) berkata dari Mujāhid: “Itu adalah pohon tin.” (299) Hal senada juga dikatakan oleh Qatādah dan Ibnu Juraij. Abul-‘Āliyah berkata: “Itu adalah sebuah pohon, yang apabila seseorang memakan buahnya, niscaya dia akan langsung buang air besar. Padahal di dalam surga tidak ada buang air besar.” (3010).

Perbedaan pendapat di atas tidak terlalu jauh, karena Allah telah menyembunyikan nama sebenarnya dari pohon tersebut. Seandainya dengan menyebutkan nama pohon tersebut mengandung kemaslahatan bagi kita, niscaya Dia akan menyebutkannya kepada kita, sebagaimana hal-hal lain yang juga disamarkan penyebutannya oleh Allah di dalam al-Qur’ān.

Hanya saja, perbedaan pendapat yang mereka kemukakan terkait surga yang dimasuki oleh Ādam; apakah itu merupakan surga yang ada di langit ataukah surga di dunia? Sebenarnya inilah perbedaan pendapat yang harus kita perinci, sehingga kita bisa mendapatkan solusi.

Jumhur ‘ulama’ mengatakan bahwa itu adalah surga yang ada di langit, yaitu surga Ma’wā; sebagaimana zhahir ayat dan hadits-hadits yang menerangkan hal itu. Seperti firman Allah ‘azza wa jalla.:

وَ قُلْنَا يَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَ زَوْجُكَ الْجَنَّةَ….

Dan Kami berfirman: “Wahai Ādam. Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga….” (al-Baqarah [2]: 35).

Alif dan lām pada kata (الْجَنَّةَ) bukan bermakna umum, dan bukan hanya diketahui secara lafazh, namun dia juga diketahui secara akal. Dan secara syar‘i, dia adalah surga Ma’wā. Demikian juga ucapan Nabi Mūsā a.s. kepada Nabi Ādam a.s.: “Mengapa engkau mengeluarkan kami dan dirimu dari surga?” Hadits ini akan dijelaskan dalam pembahasan berikutnya.

Imām Muslim meriwayatkan di dalam Shaḥīḥ-nya (3111) sebuah hadits dari Abū Mālik al-Asyja‘ī (dia adalah Sa‘ad bin Thāriq), dari Abū Ḥāzim Salamah bin Dīnār, dari Abū Hurairah. Sedangkan Abū Mālik meriwayatkannya dari Rab‘ī, dari Ḥudzaifah, mereka berdua menuturkan: Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kelak di hari Akhir, Allah ‘azza wa jalla akan mengumpulkan semua manusia. Lalu orang-orang mu’min bangkit, dan (3212) surga telah didekatkan kepada mereka. Mereka mendatangi Nabi Ādam seraya berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah agar pintu surga segera dibukakan untuk kami! Ādam menjawab: “(Aku tidak pantas memintakan hal ini untuk kalian), bukankah yang mengeluarkan kalian adalah karena kesalahan bapak kalian dari surga ini?” Kemudian dia menyebutkan hadits tersebut secara lengkap. Hadits ini merupakan dalil yang sangat kuat bahwa yang dimaksud surga tersebut adalah surga Ma’wā, yang tidak perlu diperdebatkan lagi.

‘Ulama’ yang lain berpendapat: “Surga yang dimasuki Ādam bukan Jannat-ul-Khuldi, karena dia diperintahkan untuk tidak makan buah dari pohon tersebut, dia juga tidur di dalam surga tersebut, dan dikeluarkan darinya. Kemudian Iblīs juga datang menemuinya, ketika dia berada di dalam surga tersebut. Hal ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan surga Ma’wā.” Pendapat ini diriwayatkan dari Ubay bin Ka‘ab, ‘Abdullāh bin ‘Abbās, Wahab bin Munabbih dan Sufyān bin ‘Uyainah. Pendapat ini diikuti oleh Ibnu Qutaibah di dalam al-Ma‘ārif. (3313) Dan al-Qādhī Mundzir bin Sa‘īd al-Balūthī juga menjelaskan hal itu di dalam tafsirnya. Bahkan, dia juga mengarang buku tentang hal itu secara khusus. Dia meriwayatkannya dari Imām Abī Ḥanīfah dan sahabat-sahabat beliau r.h. Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin ‘Umar ar-Rāzī bin Khathīb ar-Rayy menyebutkannya di dalam tafsirnya (3414) dari Abā Qāsim al-Balkhī dan Abū Muslim al-Ashbahānī. Demikian juga Imām al-Qurthubī menyebutkannya di dalam tafsirnya (3515) dari Mu‘tazilah dan Qadariyyah, dan pendapat tersebut merupakan nash Taurat yang berada di tangan Ahli Kitab.

Di antara ‘ulama’ yang menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah Muḥammad bin Ḥāzim di dalam Al-Milalu wan-Nihal (3616), Abū Muḥammad bin ‘Athiyyah di dalam tafsirnya (3717), Abū ‘Īsā ar-Rummānī di dalam tafsirnya – dia juga meriwayatkannya dari jumhur ‘ulama’ – Abul-Qāsim ar-Rāghib, dan al-Qādhī al-Mawardī di dalam tafsirnya. Dia berkata: “Para ulama berbeda pendapat tentang surga di mana Ādam dan Ḥawwā’ tinggal di dalamnya. Mereka terbagi menjadi dua pendapat; pertama, surga khuldi. Dan kedua, surga yang disiapkan oleh Allah bagi mereka berdua, dan surga itu Allah jadikan sebagai tempat ujian bukan surga khuldi yang merupakan tempat pemberian balasan (pahala).”

Ada juga ‘ulama’ yang mengatakan bahwa kedua pendapat ini terbagi lagi menjadi dua; pertama, surga tersebut berada di langit karena Allah memerintahkan mereka berdua untuk turun darinya. Inilah pendapat yang benar. Kedua, surga tersebut berada di bumi, karena Allah menguji mereka berdua dengan cara melarang mereka mendekati pohon tersebut, namun tidak melarang mereka dari pohon yang lainnya. Demikianlah pendapat Ibnu Yaḥyā. Dan itu terjadi setelah Iblis diperintahkan oleh Allah untuk sujud kepada Ādam. Wallāhu a‘lamu bish-shawāb.

Demikianlah pendapat beliau, dan pendapat beliau mencakup ketiga pendapat sebelumnya. Dan menurut saya (penulis), pendapat beliau bersifat tawaqquf dari masalah tersebut.

Mengenai hal ini, Abū ‘Abdillāh ar-Rāzī menyebutkan empat pendapat di dalam tafsirnya, yaitu tiga pendapat yang telah disebutkan oleh al-Mawardī, dan yang keempat adalah tawaqquf. Dan dia merajihkan (menguatkan) pendapat yang pertama. Dia menyebutkan pendapat tersebut sebagaimana yang diriwayatkan dari Abū ‘Alī al-Jabā’ī, bahwa itu adalah surga yang ada di langit; namun bukan surga Ma’wā.

Para pengikut pendapat kedua mengutarakan sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Mereka berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa Allah ‘azza wa jalla telah mengusir Iblīs karena dia tidak bersujud kepada Ādam, padahal itu adalah perintah-Nya. Lalu Allah memerintahkan Iblīs untuk keluar dari surga dan turun darinya, dan perkara ini bukanlah perkara-perkara syar‘i yang ringan; di mana seseorang boleh menyelisihinya, namun ia adalah perkara qadari (takdir) yang tidak bisa dicegah dan diselisihi. Oleh sebab itu, Allah berfirman: “Keluarlah kamu dari sana (surga).” (al-A‘rāf [7]: 18). Dan firman-Nya: “Maka turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya.” (al-A‘rāf [7]: 13). Dan firman-Nya: “(Kalau begitu) keluarlah darinya (surga), karena sesungguhnya kamu terkutuk.” (al-Ḥijr [15]: 34). Apakah dhamīr (kata ganti) yang ada dalam ayat-ayat tersebut menunjukkan surga, atau langit, ataukah kedudukan? Sebagaimana diketahui bahwa Iblīs tidak mempunyai tempat mulia setelah dia diusir dan dijauhkan dari surga; baik secara pengakuan maupun penetapan.”

Mereka menjawab: “Sebagaimana diketahui bahwa redaksi ayat-ayat al-Qur’ān tentang hal itu menerangkan bahwa Iblīs mengganggu Ādam dan berkata kepadanya: “Hai Ādam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thāhā [20]: 120). Dan “Rabb-mu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia (syaithan) bersumpah kepada keduanya: “Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu,” dia (syaithan) membujuk mereka dengan tipu daya.” (al-A‘rāf [7]: 20-22). Hal ini sangat jelas bahwa Iblīs dan Ādam berkumpul di dalam satu surga.”

Sesungguhnya hal ini telah dijawab bahwasanya, tidak menutup kemungkinan mereka berkumpul di dalam surga. Baik sebatas lewat saja, atau bertempat tinggal bersama, atau bahkan mengganggunya ketika Ādam berada di pintu surga atau di bawah langit. Ketiga pendapat di atas perlu mendapat sorotan. Wallāhu a‘lam.

Kelompok ini berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh ‘Abdullāh; putra Imām Aḥmad (3818) di dalam az-Ziyādād, dari Hudbah bin Khālid dari Ḥammād bin Salamah, dari Ḥamīd, dari al-Ḥasan al-Bashrī, dari Yaḥyā bin Dhamrah as-Sa‘dī, dari Ubay bin Ka‘ab, dia berkata: Sesungguhnya Ādam ketika tiba ajalnya, dia berkata kepada anaknya, bahwa dirinya menginginkan anggur dari surga. Mereka pun pergi mencarikan buah untuk Ādam. Para malaikat menyambut mereka dan bertanya: “Wahai anak Ādam, hendak ke mana kalian pergi?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya bapak kami (Ādam) sedang sakit dan menginginkan anggur surga.” Para malaikat berkata kepada mereka: “Kembalilah, sungguh telah dicukupkan bagi kalian.” Mereka pun pulang menemui Ādam, namun para malaikat telah mencabut nyawa Ādam, memandikan, mengkafani, dan mebuatkan lubang kubur baginya. Setelah itu malaikat Jibrīl menshalatkannya bersama para malaikat yang lain, dan menguburkannya. Para malaikat berkata: “Ini adalah sunnah kalian, jika salah seorang di antara kalian meninggal dunia.” Secara lengkap, hadits yang menerangkan masalah ini akan disebutkan dalam pembahasan tentang wafatnya Ādam a.s.

Mereka melontarkan ungkapan: “Sekiranya mereka yakin, bahwa tidak mungkin mencapai surga dan mencarikan setangkai anggur yang diinginkan oleh Ādam, untuk apa mereka pergi dan mencarinya? Oleh karena itu, kisah tersebut menunjukkan bahwa Ādam pada saat itu berada di bumi; bukan di langit. Wallāhu a‘lam.

Mereka berkata: “Alasan bahwa alif dan lām (dalam kata al-jannah) di firman Allah ‘azza wa jalla: “Wahai Ādam, tinggallah kamu dan istrimu di dalam surga,” tidak menunjukkan bahwa dirinya dikembalikan, adalah pemahaman yang tersirat di benak setiap muslim. Bahkan, seperti itulah redaksi ayat tersebut. Sungguh, Ādam diciptakan dari tanah, namun tidak disebutkan bahwa dia diangkat ke langit. Dia diciptakan agar tinggal di bumi. Oleh sebab itu, Allah memberitahukan kepada para malaikat dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan khalifah di bumi.” (al-Baqarah [2]: 30).

Mereka berkata: “Hal ini senada dengan firman Allah yang berbunyi:

إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ….

Sungguh, Kami telah menguji mereka (orang musyrik Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun….. “ (al-Qalam [68]: 17).

Alif dan lām yang terdapat pada kata (الْجَنَّةِ) bukan bersifat umum dan tidak disebutkan lafazhnya secara langsung. Namun, ia hanya dipahami secara pikiran sebagaimana yang ditunjukkan oleh lafazh tersebut, yang dimaksud (الْجَنَّةِ) di sini adalah kebun.”

Mereka berkata: “Istilah “turun” dalam ayat di atas belum tentu menunjukkan arti turun dari langit. Bisa saja hal itu serupa dengan firman Allah yang berbunyi:

…. اِهْبِطُوْا مِصْرًا فَإِنَّ لَكُمْ مَا سَأَلْتُمْ…..

“….. Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.….” (al-Baqarah [2]: 61).

…..وَ إِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللهِ….

“….. Dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah…..” (al-Baqara [2]: 74). Yang semacam ini sangat banyak sekali disebutkan dalam hadits-hadits dan ilmu bahasa.

Mereka berkata: “Tidak bisa dipungiri bahwa surga di mana Ādam tinggal di dalamnya lebih tinggi dari bumi. Di dalamnya terdapat pepohonan yang rindang, buah-buahan, sejuk, menyenangkan, dan indah. Sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla: “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang.” (Thāhā [20]: 118), yakni tidak akan membuat perutmu kelaparan dan badanmu telanjang. “Dan sungguh, di sana engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari.” (Thāhā [20]: 119), yakni rasa haus tidak akan pernah menyentuh perutmu, dan badanmu tidak akan terkena panas matahari. Oleh karena itu, Allah menggandeng antara rasa lapar dengan telanjang, dan haus dengan panas, karena masing-masing ada kesesuaian.

Catatan:

  1. 21). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya, (1/230).
  2. 22). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya, (1/229), Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (372), al-Baihaqī di dalam al-Asmā’u wash-Shifāt (820), dan Ibnu ‘Asākir di dalam Tārīkh Dimasyq (8/402),
  3. 23). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya, (1/230), dan di dalam Tārīkhnya (1/69).
  4. 24). HR. al-Bukhari (3331), Muslim (1468).
  5. 25). Pendapat-pendapat ini dapat dilihat di: Thabaqātu Ibni Sa‘ad (1/34), Tafsīr-uth-Thabarī (1/232), Tafsīru Ibni Abī Ḥātim (376-378), dan ad-Durr-ul-Mantsūr (1/52, 53).
  6. 26). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya )1/231), dan Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (378).
  7. 27). Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (381) dari jalur ats-Tsaurī, Imām as-Suyūthī menisbatkannya di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (1/53) kepada Abū Syaikh.
  8. 28). Tafsīru Ibni Abī Ḥātim (379),
  9. 29). Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (379) dari jalur Ibnu Juraiḥ, Imām as-Suyūthī menisbatkannya di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (1/53) kepada Abū Syaikh.
  10. 30). Diriwayatkan oleh Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (381, 8284), Imām as-Suyūthī menisbatkannya di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (1/53) kepada Abū Syaikh.
  11. 31). HR. Muslim (195).
  12. 32). Di dalam lafal Muslim diriwayatkan dengan kata ḥattā.
  13. 33). Al-Mā‘arif, (15).
  14. 34). Tafsīr-ur-Rāzī (3/3).
  15. 35). Tafsīr-ul-Qurthubī (I/302).
  16. 36). Al-Milalu wan-Niḥal (4/82, 83).
  17. 37). Al-Muḥarral-ul-Wajīz (I/236).
  18. 38). HR. Aḥmad (5/136).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *