1-1-2 2 Periode Perkembangan (Abad IV H.) – Ushul Fiqh Setelah Dibukukan | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

SEJARAH DAN PENGANTAR USHUL FIQH
PENYUSUN: Drs. Ramayulis dkk.

Diterbitkan: Penerbit KALAM MULIA

Rangkaian Pos: 001 Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

BAHAGIAN PERTAMA

Sejarah Perkembangan Ushul Fiqh

 

BAB I

SEJARAH ILMU USHUL FIQH

Pasal 2, Ushul Fiqh Setelah Dibukukan

 

Periode Perkembangan (Abad IV H.)

Abad IV H. merupakan abad permulaan lemahnya Khilafah ‘Abbāsiyyah, karena pada abad inilah Khilafah ‘Abbāsiyyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Tetapi kelemahan di bidang politik ini tidak mempengaruhi perkembangan semangat keilmuan di kalangan ulama-ulama ketika itu.

Bahkan ada yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan Islam dalam abad IV H. ini jauh lebih maju dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Antara lain disebabkan karena masing-masing penguasa daulah-daulah kecil itu berusaha memajukan negerinya dengan memperbanyak kaum intelektual, yang sekaligus menjadi kebanggaan mereka. Juga disebabkan karena terjadinya desentralisasi ekonomi, membawa daulah-daulah kecil itu semakin makmur, dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negerinya.

Khusus di bidang pemikiran Fikih Islam, abad IV H. mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri‘ Islam. Pemikiran liberal dalam hukum Islam berdasarkan ijtihad mutlak menjadi terhenti pada abad ini. Para ulama pendahulu mereka dianggapnya suci dari kesalahan, sehingga seorang fakih tidak lagi mampu menelorkan pemikirannya yang khas, terkecuali dari hal-hal yang kecil saja. Akibatnya, aliran-aliran fikih yang ada semakin mantap eksistensinya, apalagi disertai dengan rasa fanatisme di kalangan penganut-penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut satu madzhab tertentu dan ketidakbolehan melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.

Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan taqlid, oleh karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap melakukan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh ulama yang mendahuluinya. Antara lain usaha mereka adalah:

  1. Memperluas ‘illat-‘illat hukum yang diistinbatkan oleh imam-imam mereka; mereka itulah yang disebut sebagai ulama takhrīj.
  2. Mentarjihkan antara pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab, baik dari segi riwayat maupun dirayat.
  3. Setiap golongan mendukung madzhabnya sendiri, dan mentarjihkannya dalam berbagai masalah khilafiyyah. Mereka menyusun Kitāb-ul-Khilāf, yang di dalamnya diungkapkan masalah-masalah yang diperselisihkan, dan mentarjihkan pendirian madzhab yang dianutnya.

Selanjutnya memang tidak dapat diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini nampaknya tertutup. Akibatnya dalam perkembangan Fikih Islam adalah:

  1. Kegiatan ulama-ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, dan mereka cenderung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu, atau memahami dan meringkaskannya.
  2. Menghimpun masalah-masalah furu‘ yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat.
  3. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.

Keadaan tersebut di atas membawa hasil yang sangat jauh berbeda di bidang ilmu Ushul Fikih. Terhentinya ijtihad dalam fikih, dan adanya usaha untuk meneliti pendapat ulama-ulama terdahulu serta mentakhrijkannya, memainkan peranan yang besar dalam perkembangan Ushul Fikih. Hal ini disebabkan karena dalam meneliti dan mentakhrij pendapat ulama-ulama terdahulu, diperlukan penelusuran sampai ke akar-akarnya, dan mengevaluasi kaedah-kaedah ushul yang menjadi dasarnya. Dengan jalan itu semakin berkembanglah ilmu Ushul Fikih itu sendiri, dan masing-masing madzhab menyusun Ushul Fikihnya pula.

Tampaknya para fuqaha’ memperoleh lapangan baru untuk berijtihad dalam Ushul Fikih, daripada berijtihad di bidang Fikih. Mereka melakukan pemikiran yang mandiri dan liberal, dan mempunyai ciri khas dan keorisinilan yang belum pernah dimiliki sebelum mereka. Hal yang turut membantu ialah kecenderungan mereka terhadap ilmu-ilmu ‘aqliyyah, antara lain filsafat, sehingga turut mewarnai pula metode berpikir ilmuwan Islam ketika itu. (26).

Sebagian ciri khas perkembangan Ushul Fikih dalam abad IV H. ini adalah:

  1. Munculnya kitab-kitab Ushul Fikih yang membahas masalah ushul secara utuh, tidak sebahagian-sebahagian seperti yang terjadi pada zaman sebelumnya. Kalaupun ada kitab-kitab yang membahas bahagian tertentu saja, itu semata-mata bermaksud untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
  2. Selain itu, materi berpikir dan metode penulisan dalam buku-buku itu berbeda dengan buku-buku yang ada sebelumnya, dan menunjukkan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana yang tampak dalam kitab al-Fushūlu Fil-Ushūl karya Abū Bakar ar-Rāzī. Hal ini juga merupakan corak tersendiri dalam perkembangan Ushul Fikih di abad IV H. ini.
  3. Mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak filsafat, khususnya metode berpikir menurut mantiq dalam Ushul Fikih. Hal itu terlihat dalam mencari makna atau pengertian sesuatu, yang dalam ilmu Ushul disebut al-Ḥudūd sebelumnya. Akibat dari pengaruh ini sekurang-kurangnya ada dua yakni:
  4. Ketergantungan para penulis di bidang Ushul Fiqih pada pola acuan dan kriteria Mantiq dalam menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyyah, hal mana membuka jalan bagi mereka untuk melakukan kritikan, dan kebebasan berpendapat yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ilmu Ushul Fikih selanjutnya.
  5. Muncul berbagai karangan dalam bentuk baru yang independen dalam memberikan definisi dan pengertian terhadap peristilahan-peristilahan yang khusus dipakai dalam Ilmu Ushul.

Selain kitab ar-Risālah, pada abad III H. telah tersusun sejumlah kitab Ushul Fikih lainnya. Īsā bin Ibān (w. 221 H.) telah menulis kitab Itsbāt-ul-Qiyās, Khabr-ul-Wāḥid, Ijtihād-ur-Ra’yī; Ibrāhīm bin Siyār al-Nazhzhām (w. 221 H.) menulis kitab an-Nakt; Dāūd bin ‘Alī bin Dāūd azh-Zhāhirī (w. 270 H.) menulis buku: Kitāb-ul-Ijma‘, Kitābu Ibthāl-it-Taqlīd, Kitābu Ibthāl-il-Qiyās, Kitāb-ul-Kabr-il-Maujibi lil-‘Ilm, Kitāb-ul-Ḥujjat, al-Khushūshu wal-‘Umūm, al-Mufassaru wal-Mujmal, dan juga kitab al-Ushūl. Dalam kitab al-Ushūl ini, azh-Zhāhirī menyatakan tidak perlunya menetapkan hukum atas dasar qiyās, dan juga penggunaan istiḥsān tidak dibolehkan olehnya. Selain itu, Muḥammad bin Dāūd bin ‘Alī bin Khalf azh-Zhāhirī (w. 297 H.), juga menulis buku al-Wushūlu ilā Ma‘rifat-il-Ushūl dan masih banyak lagi kitab-kitab Ushul Fikih yang ditulis oleh ulama-ulama lainnya.

Tetapi yang penting diketahui, bahwa pada umumnya kitab-kitab Ushul Fikih yang ada pada abad III H. ini tidak mencerminkan pemikiran Ushul Fikih yang utuh, mencakup segala aspeknya, terkecuali kitab ar-Risālah itu sendiri. Kitab ar-Risālah inilah mencakup permasalahan-permasalahan ushuliyyah yang menjadi pusat perhatian para fuqaha’ di zaman itu.

Hal lain yang dapat dicatat bahwa pada abad inilah lahirnya ulama-ulama besar yang meletakkan dasar berdirinya madzhab-madzhab fikih. Para pengikut mereka di kemudian hari dalam mengungkapkan pemikiran ushul dari imam-imamnya, semakin menunjukkan perbedaan-perbedaannya. Asy-Syāfi‘ī misalnya, tidak menerima cara istihsan yang masyhur di kalangan Ḥanafiyyah, dan sebaliknya golongan Ḥanafiyyah tidak menerima cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadits-hadits yang diperpegangi oleh asy-Syāfi‘ī. Sementara itu kaum Ahl al-Hadits pada umumnya, dan kaum azh-Zhāhiriyyah pengikut Dāūd azh-Zhāhirī pada khususnya, tidak menyetujui metode-metode dari kedua golongan tersebut terdahulu, justru golongan terakhir mempunyai metode tersendiri dalam qiyās dan ta’wīl.

Perbedaan-perbedaan pendapat dan metode yang dimiliki oleh masing-masing aliran, yang disertai sikap saling kritik antara satu terhadap yang lainnya, merupakan hal yang mendorong timbulnya semangat pengkajian ilmiyah yang penuh antusias di kalangan ulama pada abad III H. ini. Semangat pengkajian ini berlanjut terus dan semakin berkembang nanti pada abad IV H.

Dengan kata lain, terhentinya ijtihad mutlak bagi kebanyakan ulama ketika itu tidaklah mengendorkan perkembangan ilmu Ushul Fikih, bahkan timbul usaha untuk meneliti dan melakukan studi mendalam di bidang Ushul Fikih, meskipun tidak melakukan istinbat hukum yang bertentangan dengan madzhabnya. Malah mereka yang fanatik pada madzhabnya dapat menemukan dalam Ushul Fikih argumen-argumen yang menguatkan pendirian madzhabnya itu. Oleh karena itu, secara material, ilmu Ushul Fikih tidaklah menurun mutunya, karena ia menjadi semacam ukuran untuk memperbandingkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda, yang pada masa itu menjadi perdebatan yang sengit; maka menjadilah Ushul Fikih ketika itu sebagai alat tahkim dalam memecahkan perselisihan-perselisihan.

Sebagai tanda berkembangnya ilmu Ushul Fikih, dalam abad IV H. ini ulama-ulama fikih telah menulis sekian banyak buku Ushul Fikih. Kitab-kitab yang paling terkenal di antaranya adalah:

  1. Kitābu Ushūl-il-Karkhī, ditulis oleh Abul-Ḥasan ‘Ubaidillāh bin al-Ḥusain bin Dilāl bin Dalhām al-Karkhī (w. 340 H.). Kitab ini bercorak Ḥanafiyyah, memuat sebanyak 39 kaidah-kaidah ushul.
  2. Kitāb-ul-Fushūli Fil-Ushūl, ditulis oleh Aḥmad bin ‘Alī Abū Bakar ar-Rāzī, yang juga dikenal dengan al-Jashshāsh (305-370 H.) Kitab ini juga bercorak Ḥanafiyyah, dan banyak mengeritik isi kitab ar-Risālah, terutama dalam masalah al-Bayān dan Istiḥsān.
  3. Kitābu Bayāni Kasyf-il-Alfāzh, ditulis oleh Abul-Muḥāmid Badr al-Dīn Maḥmūd bin Zaid al-Lamisy al-Ḥanafī. Kitab ini telah ditahqiq oleh Doktor Muhammad Hasan Mushtafa al-Sylabi, dan mengatakan bahwa buku tersebut merupakan kamus yang menerangkan arti lafazh dan definisi-definisi yang sangat dibutuhkan oleh para Qādhī dan Mufti, yang jumlahnya sekitar 128 lafazh/ta‘rīf

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *