11. اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِيْ أَرْضِ الْخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لَا يَتِمَّ نَتَائِجُهُ
(Karena itu, kebumikan keberadaanmu dalam kontemplasi/kegemburan tanah. Apa yang tumbuh dari benih yang tidak ditanam, tidak akan sempurna hasilnya).
Kejumudan artinya tidak terkenal, beku, skeptis dan terabaikan. Dengan mengubur keberadaan berarti menjadikan diri tidak dikenal dan menjadikan diri sebagai tidak apa-apa dan bukan siapa-siapa. Orang yang tidak terkenal akan lewat saja dari perhatian khalayak. Sehingga dia tidak perlu “mempertontonkan” ‘amal yang dilakukan. Karena tidak merasa mendapat perhatian dia tentu tidak peduli apakah yang dilakukan itu mendapat pujian atau celaan. Dia tidak perlu “pamer” ‘amal. Dia tidak perlu “memperindah” apa yang dilakukan, karena orang lain tidak memperhatikan dan tidak pula perlu mengambil kesimpulan yang dilakukannya sempurna atau tidak. Seperti tanaman yang tumbuh begitu saja di halaman, kita tentu tidak perlu menanti dan memperhitungkan buahnya. Apakah buah yang dihasilkan itu sempurna atau tidak. “Mutiara” ini mengandung arti bahwa: dalam hal wirid atau ibadah lain untuk bertaqarrub dengan Allah, dianjurkan dengan melalui “guru”. “Mengangkat” guru sama halnya dengan menanam benih di tanah subur yang tentu saja memelihara tanaman itu dapat diupayakan sesempurna mungkin dan dapat dinanti hasilnya pada saatnya kelak.
12. مَا نَفَعَ الْقَلْبَ شَيْئٌ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيْدَانُ فِكْرَةٍ
(Tidak ada sesuatu yang berguna bagi hati semisal ‘uzlah yang masuk bersama dengan itu hamparan pemikiran).
‘Uzlah adalah tindakan yang bermanfaat bagi hati ‘Ābid yang berkehendak untuk membersihkannya dari kealpaannya kepada Allah dan berkeinginan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. “‘Uzlah” artinya mengundurkan diri dari bergaul dengan masyarakat. Menyendiri atau bertapa. Jika orang masih bergaul dan berada di antara lalu-lalang dan lalu-lintas kegiatan masyarakat, dia akan banyak melihat, mendengar, meraba dan merasakan yang dijumpainya, sehingga yang sempat masuk dalam pikirannya, ya apa yang dilihat, didengar, diraba dan dirasa sehari-hari. Namun jika dia ‘uzlah dia bahkan lebih memasukkan hamparan kekuasaan Allah yang tidak terbatas dalam pikirannya. Kecuali itu, dia akan terbebas dari kemungkinan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh sesama anggota masyarakat. Tidak ada yang perlu dipameri, tidak dijumpai orang yang mengiri. Tidak mengharapkan pujian kecuali dari Allah. Dalam ‘Uzlah, orang tentu lebih banyak diam, lebih sering lapar dan tidak tidur malam. Yang demikian itu akan sangat berguna bagi pembangunan nurani dan pembentukan jiwa.
13. كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مِنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَ هُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَ هُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابِةِ غَفَلَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَ هُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ
(Bagaimana hati akan dapat melihat kecemerlangan bentuk-bentuk yang tercetak di dalam cermin, bila cermin dibalik. Atau bagaimana orang pergi yang menuju kepada Allah, sedang dia terikat oleh syahwatnya. Atau bagaimana dia berkeinginan keras untuk masuk menghadap Allah, sedang dia senantiasa tidak bersih dari bercak-bercak keteledoran. Atau bagaimana dia mengharap memahami rahasia-rahasia yang lembut, sedang dia tidak bertobat dari kesalahan-kesalahan).
Berkumpul menyatunya dua hal yang kontradiktif jelas tidak mungkin. Mustahil. Seperti diam dan bergerak sekaligus, terang dan gelap sekaligus, dan sebagainya adalah mustahil terjadi. Seperti kesebalikan tersebut adalah ketika kamu bercermin, tetapi kaca cermin kamu tengkurapkan, pasti kamu tidak akan dapat melihat wajahmu dicermin itu. Sama dengan itu adalah ketika kamu ingin menuangkan air dalam gelas, tetapi gelas itu kau balik, kamu tengkurapkan, niscaya kamu tidak akan mendapatkan air dalam gelas. Begitu pula ketika kamu mencuci pakaianmu dengan air comberan (air got, air kotor), pasti pakaianmu tidak akan bersih, tidak suci. Kamu juga tidak akan mungkin membuka lemari pakaianmu yang terkunci dengan kunci mobilmu. Deretan kata mutiara tersebut bila dipanjangkan, begini: Hati yang cemerlang dengan iman dan yakin adalah kebalikan dari kegelapan yang menyelimuti seluruh anggota dari diam ke perubahan-perubahan. Perjalanan menuju Allah dengan memotong sulitnya mengendalikan nafsu, bertentangan dengan mencerdasinya dalam kungkungan hawa nafsu dan syahwat. Masuk di hadapan Allah yang mengharuskan bersih adalah kebalikan dari kotornya teledor yang menimbulkan jarak dengan Allah. Memahami rahasia lembut ciptaan Allah yang membutuhkan ketaqwaan adalah kebalikan dari terus-menerus melakukan maksiat dan kesalahan-kesalahan.
Menurut Imām Aḥmad bin Ḥanbal, kata mutiara tersebut, berlandaskan pada firman:
وَ اتَّقُوا اللهَ وَ يُعَلِّمُكُمُ اللهُ
Artinya: Dan ber-taqwā-lah kamu kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu. (2: 282).
Ayat tersebut diterjemahkan oleh Nabi dengan sabdanya: “Man ‘amil bimā ya‘lamu, warratsahullāhu ‘ilma mā lam ya‘lam” (Barang siapa meng‘amalkan ilmu yang telah dia ketahui, maka Allah akan mewariskan ilmu yang belum dia ketahui). Ada sebuah pengalaman menarik yang diceritakan oleh Imām Yaḥyā bin Ma‘īn. Imām Aḥmad bin Ḥanbal berjumpa dengan Imām Aḥmad bin Abil-Hawārī. Terjadi dialog: “Ya Aḥmad, coba ceritkan kepada saya apa yang kamu dengar dari guru kamu, Abū Sulaimān”. Kata Imām Aḥmad bin Ḥanbal kepada Imām Abil-Hawārī:
“Subḥānallāh, ya Aḥmad, guru saya berkata: Jika segala nafsu dikebat dengan meninggalkan segala dosa maka nafsu itu berontak di alam Malakut dan dia kembali ke pada pemilik nafsu dengan bermacam-macam hikmah yang tidak pernah diketahui oleh orang ‘Ālim (Pakar/Cendekiawan/Orang pandai) manapun.” Imām Aḥmad bin Ḥanbal pun seperti orang gelisah, duduk, berdiri, duduk lagi begitu dilakukan sampai berulang tiga kali. Lalu berkata: “Sungguh saya belum pernah mendengar cerita sedahsyat ini dalam Islam. Tetapi kamu benar dan gurumu pun benar.” Sebaiknya dialog antara duo Aḥmad tersebut kita renungkan.
14. الْكَوْنُ كُلُّهُ ظُلْمَةٌ وَ إِنَّمَا أَنَارَهُ ظُهُوْرُ الْحَقِّ فِيْهِ فَمَنْ رَأَى الْكَوْنَ وَ لَمْ يَشْهَدْهُ فِيْهِ أَوْ عِنْدَهُ أَوْ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ فَقَدْ أَعْوَزَهُ وُجُوْدُ الْأَنْوَارِ وَ حُجِبَتْ عَنْهُ شُمُوْسُ الْمَعَارِفِ بِسُحُبِ الْآثَارِ
(Yang “Ada” semuanya gelap, sampai diterangi oleh kewujudan Allah di dalamnya. Barang siapa melihat keberadaan dan tidak menyaksikan Allah di dalamnya, di dekatnya, sebelumnya atau sesudahnya, dia benar-benar kehilangan keberadaan cahaya dan semua ilmu pengetahuan yang bagaikan matahari itu akan terhalang cahayanya darinya seperti matahari terhalang oleh awan tebal).
“Ada” dan “Tidak Ada” adalah dua sisi berbeda. “Tidak Ada” itu gelap dan “Ada” itu terang. “Ada” dilihat dari sisi zatnya tidaklah gelap, namun dilihat dari sisi keberadaan Nur Allah, keberadaannya tertabiri. Kewujudannya atau dia dapat dilihat atau tidak tergantung kepada kehendak Allah semata. Bagi manusia, yagn “Ada” itu belum tentu dapat disaksikan dan dilihat olehnya. Barangkali pengarang ini mengatakan bahwa “penglihatan” orang itu bermacam-macam. Ada yang bisa melihat sesuatu itu diwujudkan. Ada yang melihat sesuatu setelah sesuatu itu disaksikan/diwujudkan. Ada yang dapat melihat bersamaan dengan diwujudkannya sesuatu itu. Melihat yang “Ada” itu bisa sebelum diadakan, sesudah diadakan atau bersamaan dengan yang “Ada” itu diadakan.
15. مِمَّا يَدُلُّكَ عَلى وُجُوْدِ قَهْرِهِ سُبْحَانَهُ أَنْ حَجَبَكَ عَنْهُ بِمَا لَيْسَ بِمَوْجُوْدٍ مَعَهُ
(Setengah dari adanya pemaksaan Allah yaitu terhalangmu dari-Nya dengan yang tidak maujud.)
Menurut ucapan para “Al-‘Ārif billāh”. Selain Gusti Allah tidak akan masuk hitungan. Sebab selain Allah itu fanā’. Asy-Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī berkata: “Sungguh aku bisa melihat Allah dengan mata iman dan yakin. Karenanya aku tidak memerlukan dalil maupun bukti. Jadi jika hamba Allah tidak bisa “melihat” Allah karena mata imannya buta. Atau antara dia dan Allah terhalang oleh sesuatu yang tidak wujud. Orang biasa menyaksikan sesuatu yang dilihat saja. Tetapi orang ‘Ārif melihat juga Yang Mencipta sesuatu itu. Dia tidak mau yang “ada” (maujūd) maupun yang “tidak ada” (‘adam), tidak menghalanginya menikmati melihat Allah. Orang ‘Ārif itu memandang penciptaan (seperti manusia dan lain-lain) bagaikan melihat fatamorgana. Asy-Syaikh Muḥy-id-Dīn berkata: “Siapa saja yang menyaksikan makhluk tidak berbuat apa-apa, berbahagialah dia. Siapa yang menyaksikan makhluk tidak berkehidupan maka beruntunglah dia. Siapa yang menyaksikan makhluk dengan mata ketiadaan, maka sampailah dia (wushūl; sampai pada kemakrifatan). Penyair yang dipuji oleh Kanjeng Nabi, berkata:
أَلَا كُلُّ شَيْءٍ مَا خَلَا اللهُ بَاطِلُ | وَ كُلُّ نَعِيْمٍ لَا مَحَالَةَ زَائِلُ |
Ingat, segala sesuatu selain Allah itu, tidak ada, (rusak, musnah). Dan segala kenikmatan, tidak bisa tidak, pasti sirna.
16. كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ أَظْهَرَ كُلَّ شَيْءٍ.
كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ ظَهَرَ بِكُلِّ شَيْءٍ.
كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ ظَهَرَ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ.
كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ ظَهَرَ لِكُلّ شَيْءٍ.
كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ الظَّاهِرَ قَبْلَ وَجُوْدِ كُلِّ شَيْءٍ.
كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ أَظْهَرَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ.
كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ وَاحِدُ الَّذِيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ.
كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ.
كَيْفَ يَتَصَوَّرُ أَنْ يُحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ لَوْ لَاهُ مَا كَانَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ.
(Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang Dia yang menzhahirkan segala sesuatu.
Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang Dia yang ada di segala sesuatu.
Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang Allah Yang Ada pada segala sesuatu.
Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang Dia zhahir untuk segala sesuatu.
Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang Dia ada sebelum adanya segala sesuatu ada.
Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang Dia lebih nyata ketimbang segala sesuatu.
Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang Dia Maha Esa yang tidak disertai apapun.
Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu.
Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu menghalangi Allah, sedang tanpa Dia segala sesuatu tidak akan berwujud.)
Allah nyata sama sekali tidak tersekat oleh apapun, karena Allah yang membuat segala sesuatu ada. Karena itu jangan coba-coba menyembunyikan apapun di hadirat-Nya. Allah berada di “situ” ketika di antara kamu, di antara hatimu dan di antara segala sesuatu berbuat sesuatu. Sikap, perilaku, kata hati dan segala yang bergerak tidak bisa lewat dari-Nya. Segalanya diketahui dengan senyatanya.
يَا عَجَبًا كَيْفَ يَظْهَرُ الْوُجُوْدُ فِي الْعَدَمِ أَمْ كَيْفَ يَثْبُتُ الْحَادِثُ مَعَ مَنْ لَهُ وَصْفُ الْقِدَمِ
(Mengherankan sekali, bagaimana keberadaan ada dalam ketiadaan. Atau bagaimana bisa terjadi yang baru, bersamaan dengan Dzat yang bersifatkan Maha Dahulu).
Tentu saja tidak akan terjadi. Ketiadaan tidak akan ada, adalah sesuatu yang niscaya. Bagaimana pula hal yang baru bisa disebut lama. Tentu tidak akan terjadi. Baru dan lama itu berseberangan adanya. Keduanya tidak akan berkumpul bersama.