03 Penjelasan Tentang Gelora Kemauan – Mutu Manikam dari Kitab al-Hikam

MUTU MANIKAM
Dari
KITAB AL-ḤIKAM

(Judul Asli: Al-Ḥikam)
Karya: Syaikh Aḥmad bin Muḥammad ‘Athā’illāh
Pensyarah: Syaikh Muḥammad bin Ibrāhim Ibnu ‘Ibād (atau ‘Abbād).
 
Penyadur: Djamaluddin Ahmad al-Buny
Penerbit: Mutiara Ilmu Surabaya

BAB 3

Penjelasan Tentang

GELORA KEMAUAN

 

3. سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَحْرِقُ أَسْرَارَ الْأَقْدَارِ.

Himmah (kuatnya kemauan) yang bergelora, tidak mampu mengoyak tabir taqdīr Allah.

Kemauan keras (himmah sawābiq) termasuk suatu kekuatan yang dimiliki manusia atas idzin Allah untuk memperoleh sesuatu yang dicari dalam kehidupan duniawi. Kemauan keras ini adalah pendorong untuk memperoleh suatu cita-cita, namun demikian semangat dan cita-cita hamba Allah, tetap berkaitan erat dengan iradah dan idzin Allah (taqdīr Allah s.w.t.).

Pada akhirnya, segala kekuatan yang dimiliki manusia itu terbatas dan akan tertambat pada kehendak dan taqdīr Allah s.w.t. Karena cita-cita yang keras dan bersemangat tidak mampu menerobos taqdīr Allah s.w.t.

Akan tetapi dalam banyak hal, ketika seorang merasakan adanya kemauan dalam dirinya untuk mendapatkan apa yang ia cita-citakan, maka kemauan keras itu hendaklah tersalurkan bersama gerakan iman yang memenuhi seluruh qalbunya. Karena iman inilah yang akan mengatur himmah yang dimiliki oleh seseorang. Apakah ia tunduk kepada taqdīr Allah ketika ia telah melaksanakan panggilan himmah-Nya ataukah ia menolak. Apabila ia menerima qadha dan qadar Allah, setelah si hamba berikhtiyar dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat, maka itulah iman yang sesungguhnya. Menerima qadhā’ dan qadar Allah membuat orang beriman menjadi tenang. Ia tidak berputus asa dan tidak menyesali dirinya. Ia pun tidak berprasangka buruk kepada Allah dan kepada manusia. Kehendak Allah itulah yang akan berlaku dalam perjalanan hidup manusia. Kemauan dan cita-cita yang bergelora, tidak mampu menghancurkan qadhā’ dan qadar Allah s.w.t.

Manusia berada di antara ikhtiyar dengan qadhā’ dan qadar Allah. Berlomba mengejar taqdīr dengan ikhtiyar dan doa. Hanya Allah yang Maha Mengetahui nasib manusia dan menentukan hasilnya. Apa yang diperoleh manusia setelah ikhtiyar dan berdoa itulah taqdīr yang sebenarnya.

Taqdīr Allah adalah masalah ghaib. Hanya Allah s.w.t. yang mengetahui. Dalam hali ini Allah s.w.t. berfirman: “Dan disisi-Nyalah alam ghaib, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia (Allah) Sendiri.” (al-An‘ām: 59).

Semua peristiwa hidup ini berjalan di atas rencana dan program Allah. Tidak akan terjadi apa pun di bumi, semuanya adalah atas kehendak Allah s.w.t. belaka. Al-Qur’ān mengatakan lagi bahwa tidak akan terjadi segala sesuatu, kecuali sesuai dengan kehendak Allah.

Taqdīr adalah ketentuan akhir dari Allah s.w.t. untuk manusia. Apabila Allah telah menetapkan taqdīr itu, tak seorangpun yang mampu menolak, atau menundanya. (Fāthir: 21).

Manusia tidak mengandalkan angan-angannya untuk menjangkau kehendak dan cita-citanya. Sebab setelah ikhtiyar manusia akan dihadapkan kepada kenyataan yang sebenarnya. Itulah taqdīr Allah. Kemudian ibadah seorang hamba adalah pada keadaan akhir, ketika ia dengan ikhlas menerima ketentuan Allah s.w.t. Demikian juga halnya tentang rezeki yang telah ditentukan pembagiannya oleh Allah s.w.t.

Sayyid Ḥasan asy-Syādzilī (Syaikh Aḥmad ‘Athā’illāh) dalam Kitab “at-Tanwīr fī isqāti Tadbīr” menulis: “Sesuatu yang telah dijamin oleh Allah s.w.t. atas rezeki hamba-hambaNya tak seorang pun mampu mencegahnya.” Seperti telah dijelaskan oleh Syaikh Aḥmad ‘Athā’illāh, bahwasanya seorang hamba hendaklah tekun kepada apa yang telah dijaminkan Allah kepadanya dan mampu menjadikannya sebagai ibadah. Sedangkan orang yang tidak istiqāmah adalah orang lalai terhadap apa yang telah dijaminkan oleh Allah untuknya.

Kamu tidak dapat berbuat menurut kehendakmu, kecuali telah dikehendaki oleh Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Al-Insān: 30).

Nabi Muḥammad s.a.w. mengingatkan: “Sesungguhnya hamba-hamba Allah itu dihimpun pembentukannya dalam rahim ibunya empatpuluh hari berupa nuthfah (mani), kemudian berubah menjadi segumpal darah selama waktu itu juga, kemudian Allah mengutus Malaikat kepadanya. Malaikat itu meniupkan ruh kepadanya, lalu ditetapkan pada dirinya empat kalimat. (1). Ditetapkan rezekinya. (2). Ditetapkan ajalnya. (3). Ditetapkan pekerjaannya dan ke (4). Ditetapkan nasib bahagia atau susah.” (HR. Bukhārī).

Di atas empat perkara tersebut Allah s.w.t. telah menciptakan rahmat sebagai anugerah baginya atas semesta alam, terbagi untuk semua makhluk. Rahmat dan kasih sayang Allah itu tidak pandang siapa dan apa pun melihat beraneka ragam pemberian dan karunia. Rahmat Allah itu tidak terbatas, berjalan sepanjang hidup manusia dan selama berkembangnya dunia ini.

Allah s.w.t. berfirman: “Tiada satu makhluk melata pun di muka bumi ini, kecuali telah disediakan Allah rezeki untuknya.” (Hūd: 6).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *