Perbedaan Antara Salik dan Washil – Syarah al-Hikam – asy-Syarqawi

Al-Ḥikam
Kitab Tasawuf Sepanjang Masa
Judul Asli: Syarḥ-ul-Ḥikami Ibni ‘Athā’illāh-il-Iskandarī

Pensyarah: Syaikh ‘Abdullāh asy-Syarqawī
Penerjemah: Iman Firdaus, Lc.
Diterbitkan oleh: Turos Pustaka

Perbedaan Sālik Yang Diterangi Cahaya Tawajjuh Dan Wāshil Yang Didatangi Cahaya-Cahaya Muwājahah.

 

30. لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ الْوَاصِلُوْنَ إِلَيْهِ وَ مَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ السَّائِرُوْنَ إِلَيْهِ

Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki (yaitu orang yang telah sampai kepada Allah) memberi nafkah menurut kemampuannya.(ath-Thalāq [65]: 7). Dan orang yang disempitkan rezekinya (yaitu orang yang tengah menuju Allah) hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.”

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

 

Hendaklah orang yang diberi keluasan rezeki memberi nafkah menurut kemampuannya.” Ini adalah gambaran tentang kondisi orang-orang yang telah sampai kepada Allah. Yakni orang-orang yang telah terbebas dari penjara pandangan keduniaan, dan telah sampai kepada alam tauhid dan kesempurnaan mata batin. Karena itulah, mereka dianugerahi rezeki berupa berbagai ilmu dan rahasia ilahi serta pandangan yang luas dan jauh ke depan. Sehingga, mereka pun dibebaskan untuk membantu orang lain, dengan mengajarkan ilmu dan pemahaman mereka, sekehendak hati mereka.

Sementara ini, orang yang disempitkan rezekinya adalah orang-orang yang sedang menuju kepada-Nya. Mereka tidak diberi keluasan rezeki berupa ‘ilmu dan pemahanan. Mereka masih terkungkung dalam ruang sempit khayalan dan imajinasi. Sekalipun demikian, mereka masih diperbolehkan menafkahkan karunia Allah berupa ilmu dan pemahaman yang sedikit itu kepada orang lain. Namun dengan catatan: sebatas apa yang Allah ajarkan kepada mereka.

 

31. اِهْتَدَى الرَّاحِلُوْنَ إِلَيْهِ بِأَنْوَارِ التَّوَجُّهِ وَ الْوَاصِلُوْنَ لَهُمْ أَنْوَارُ الْمُوَاجَهَةِ فَالْأَوَّلُوْنَ لِلْأَنْوَارِ وَ هؤُلَاءِ الْأَنْوَارُ لَهُمْ لِأَنَّهُمْ للهِ لَا لِشَيْءٍ دُوْنَهُ قُلِ اللهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِيْ خَوْضِهِمْ يَلْعَبُوْنَ

Orang-orang yang sedang menuju Allah mendapat petunjuk melalui cahaya perjalanan, sedangkan orang-orang yang sudah sampai kepada-Nya mendapat petunjuk melalui cahaya pertemuan dengan-Nya. Golongan pertama mendatangi cahaya, sedangkan golongan kedua didatangi oleh cahaya. Allah s.w.t. berfirman: “Katakan “Allah”, lalu biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya.” (al-An‘ām [6]: 92).

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

 

Cahaya yang didapat golongan pertama ialah cahaya yang didapat dari ibadah dan riyādhah (olah batin) yang dijadikannya sebagai jalan menuju Allah karena biasanya perjuangan akan membuahkan cahaya di dalam hati. Dengan cahaya itu, mereka akan berjalan menuju Allah.

Adapun untuk golongan kedua, justru cahaya Allah-lah yang mendatangi mereka sehingga mereka akan mudah mengenali Allah tanpa perjuangan dan susah payah.

Golongan pertama akan menjadi budak cahaya dan amat membutuhkannya untuk sampai kepada tujuan dan keinginan mereka. sementara itu, golongan kedua akan dengan sendirinya didatangi cahaya itu sehingga ia tidak perlu bersusah payah dalam mendapatkannya.

Adapun maksud firman “Katakan “Allah”” ialah menghadaplah kepada-Nya semata dan jangan cenderung kepada cahaya-cahaya atau hal-hal selain-Nya. Kemudian, maksud “biarkan mereka bermain-main dalam kesibukannya” ialah bahwa tindakan memurnikan tauhid, setelah menyingkirkan kebendaan, merupakan sikap yang didasari ḥaqq-ul-yaqīn (keyakinan yang kokoh), sedangkan melihat kepada selain Allah hanyalah permainan dan leha-leha. Tentu itu adalah sifat orang-orang maḥjūb (terhalang).

 

32. تَشَوُّفُكَ إِلَى مَا بَطَنَ فِيْكَ مِنَ الْعُيُوْبِ خَيْرٌ مِنْ تَشَوُّفِكَ إِلَى مَا حُجِبَ عَنْكَ مِنَ الْغُيُوْبِ

Usahamu untuk mencari-cari kekurangan yang tersembunyi di dalam dirimu lebih baik daripada usahamu untuk menyibak tirai ghaib yang terhijab bagimu.

– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –

 

Contoh kekurangan diri ialah sifat riyā’, tingkah laku tidak sopan, bermuka dua, suka jabatan, dan haus akan kedudukan. Maknanya, kau harus mengarahkan tekadmu untuk menghapus semua keburukan itu dengan riyādhah dan mujāhadah. Serta berusaha untuk terbebas darinya. Upaya ini biasanya harus di bawah bimbingan seorang guru. Langkah di atas lebih baik daripada usahamu dalam menelusuri takdir yang terselubung, pelajaran yang tersembunyi, rahasia-rahasia Ilahi, ilmu laduni atau karamah. Biasanya, itu semua ditujukan demi kepuasan dirimu, bukan demi mencari ridha’ Tuhanmu.

Oleh karena itu, jangan kau cari semua itu dengan amalan-amalanmu. Jangan sibukkan hatimu dengannya. Jangan pula berhenti di tempat munculnya karamah tersebut karena hal itu justru akan mengurangi ibadahmu.

Oleh karena itu, orang-orang berkata: “Jadilah pencari istiqāmah. Jangan menjadi pencari karāmah.” Jiwamu selalu bergerak dan berkeinginan mencari karamah, padahal Tuhanmu menuntutmu untuk istiqamah. Untuk itu, menunaikan hak Tuhanmu lebih baik ketimbang kau menunaikan keinginanmu sendiri.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *