مَا أَرَادَتْ هِمَّةُ سَالِكٍ أَنْ تَقِفَ عِنْدَ مَا كُشِفَ لَهَا إِلَّا وَ نَادَتْهُ هَوَاتِفُ الْحَقِيْقَةِ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ وَ لَا تَبَرَّجَتْ ظَوَاهِرُ الْكَوَّنَاتِ إِلَّا وَ نَادَتْكَ حَقَائِقُهَا: إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ.
“Ketika tekad salik hendak berhenti manakala melihat hal ghaib, ia segera diseru oleh suara hakikat: “yang kau tuju masih di depan.” Serta ketika lahiriyyah alam terlihat indah olehnya, hakikatnya berkata: “Kami hanyalah ujian jangan sampai engkau kufur karena tertipu.”
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
مَا أَرَادَتْ هِمَّةُ سَالِكٍ أَنْ تَقِفَ عِنْدَ مَا كُشِفَ لَهَا إِلَّا وَ نَادَتْهُ هَوَاتِفُ الْحَقِيْقَةِ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ.
“Ketika tekad salik hendak berhenti manakala melihat hal ghaib, ia segera diseru oleh suara hakikat: “yang kau tuju masih di depan”.”
Perenungan seorang sālik tidak hendak berhenti saat melihat sesuatu (perkara ghaib) yang disingkapkan dari perenungannya, kecuali ketika hendak berhenti dari perenungannya, suara hakikat memanggil-manggilnya dengan perkataan: “apa yang kau cari masih berada di depanmu, jangan berhenti sampai di sini saja.”
Sesungguhnya ketika seorang sālik larut dalam dzikir dan berbuat amal shāliḥ, lalu ia mendapati hatinya menjadi terang dan hatinya disingkapkan serta hatinya bisa melihat perkara ghaib seperti keagungan atau ketinggian langit dan kerendahan bumi, dan ia merasa bahwa ia sudah sampai pada tujuannya, maka ketika ia merasa seperti itu, suara hakikat dari Tuhannya akan memanggil-manggilnya, yang berbunyi: “tujuan yang kau cari masih ada di depan, bukan ini tujuanmu, jangan terpaku pada apa yang kau saksikan.”
وَ لَا تَبَرَّجَتْ ظَوَاهِرُ الْكَوَّنَاتِ إِلَّا وَ نَادَتْكَ حَقَائِقُهَا: إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ.
“Serta ketika lahiriyyah alam terlihat indah olehnya, hakikatnya berkata: “Kami hanyalah ujian jangan sampai engkau kufur karena tertipu.”
Ketika keindahan lahiriah alam menyilaukanmu (memperlihatkan keindahannya), hakikatnya akan berkata: “kami hanyalah fitnah (ujian) jangan engkau terpukau pada kami.”
Ketika keindahan mumkināt (alam atau segala sesuatu selain Allah) nampak kepadamu wahai murīd, seperti ketulusan makhluk melayanimu; luasnya rezeki; bisa berjalan di atas air; hewan yang jinak di bawah perintahmu; perkara yang sedikit menjadi banyak; perjalanan yang jauh jadi dekat; maka, hakikat kesemuanya akan berkata kepadamu “aku hanyalah godaan untukmu, jangan berhenti sampai di sini, jangan menyukainya.”
Alhasil, ketika seorang murīd sudah disibukkan dengan hal-hal yang mendekatkan ke ḥadhirat Allah, jagan lagi disibukkan dengan selainnya, jangan lagi disibukkan dengan permohonan-permohonan tentang rezeki.
طَلَبُكَ مِنْهُ اتِّهَامٌ لَهُ وَ طَلَبُكَ لَهُ غَيْبَةٌ عَنْهُ مِنْكَ وَ طَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّةِ حَيَائِكَ مِنْهُ وَ طَلَبُكَ مِنْ غَيْرِهِ لِوُجُوْدِ بُعْدِكَ عَنْهُ.
“Permohonan atau tuntutanmu dari-Nya, bukti kesangsianmu kepada-Nya. Permintaanmu kepada-Nya, bukti pengumpatanmu kepada-Nya. Permohonanmu pada selain-Nya, bukti sedikitnya rasa malumu kepada-Nya. Permohonanmu dari selain-Nya, bukti jauhmu dari-Nya.”
Ketika seorang murīd sudah disibukkan dengan hal-hal yang mendekatkan ke ḥadhirat Allah, jangan lagi disibukkan dengan selainnya, jangan lagi disibukkan dengan permohonan-permohonan tentang rezeki.
Oleh karenanya, Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
طَلَبُكَ مِنْهُ اتِّهَامٌ لَهُ.
“Permohonan atau tuntutanmu dari-Nya, bukti kesangsianmu kepada-Nya.
Permohonanmu kepada Allah untuk memberikan rezeki kepadamu agar bisa menolong ibadahmu (menjadikan ibadahmu menjadi khusyu‘), adalah bukti kesangsianmu kepada-Nya.
Seringkali engkau memohon kepada Allah agar memberikan keluasan rezeki untukmu, dengan alasan luasnya rezeki menjadi bekal ibadahmu. Padahal, permohonan akan luasnya rezeki itu, berarti engkau berprasangka bahwa Allah tidak memberimu rezeki. Dengan kata lain, engkau tidak mempercayai-Nya, karena jika engkau percaya kepada-Nya pasti engkau tidak akan memintanya.
وَ طَلَبُكَ لَهُ غَيْبَةٌ عَنْهُ مِنْكَ.
“Permintaanmu kepada-Nya, bukti pengumpatanmu kepada-Nya.
Permintaanmu agar mendekatkan dirimu pada-Nya, menjadikanmu semakin jauh dari-Nya. Karena prasangkamu pada-Nya, engkau menjadi jauh dari-Nya, karena jika engkau merasa dekat dengan-Nya, engkau tidak akan meminta didekatkan lagi pada-Nya, padahal Allah berada di manapun engkau berada.
وَ طَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّةِ حَيَائِكَ مِنْهُ.
“Permohonanmu pada selain-Nya, bukti sedikitnya rasa malumu kepada-Nya.”
Permintaanmu pada perkara dunia, kedudukan dunia dan karāmah dunia, itu disebabkan sedikitnya rasa malu yang kau miliki kepada-Nya.
وَ طَلَبُكَ مِنْ غَيْرِهِ لِوُجُوْدِ بُعْدِكَ عَنْهُ.
“Permohonanmu dari selain-Nya, bukti jauhmu dari-Nya.”
Permintaanmu dari selain-Nya, itu disebabkan jauhnya dirimu dari Allah.
Permintaan yang engkau tujukan pada selain-Nya, dengan memohon atau meminta suatu perkara dunia kepada makhluk, engkau tak merasa meminta pada sesama makhluk, engkau melupakan Tuhanmu, itu disebabkan jauhnya dirimu dari Allah. Sebab, jika engkau merasa dekat dengan-Nya, engkau tidak akan meminta dari selain-Nya.
Alhasil, permintaan seorang murīd itu semuanya tidak baik, baik ditujukan kepada Allah ataupun kepada makhluk. Akan tetapi yang baik adalah meminta kepada Allah atas dasar menghambakan diri kepada Allah, menyembah-Nya, beradab tatakrama, melaksanakan perintah-Nya dan menunjukkan kelemahan diri kepada-Nya, bukan hanya agar tercapainya tujuan yang engkau pinta.