Rahasia Ilahi Bukanlah Tujuan Utama Orang ‘Ārif.
20 مَا أَرَادَتْ هِمَّةُ سَالِكٍ أَنْ تَقِفَ عِنْدَ مَا كُشِفَ لَهَا إِلَّا وَ نَادَتْهُ هَوَاتِفُ الْحَقِيْقَةِ الَّذِيْ تَطْلُبُ أَمَامَكَ وَ لَا تَبَرَّجَتْ ظَوَاهِرُ الْكَوَّنَاتِ إِلَّا وَ نَادَتْكَ حَقَائِقُهَا: إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ
Di satu tekad seorang sālik ingin berhenti pada apa yang tersingkap baginya, suara-suara hakikat pun memperingatkannya: “Yang kau cari ada di depanmu!” Dan di saat pesona alam tampak menggoda, hakikat-hakikatnya pun berujar: “Kami hanyalah ujian maka jangan kau kufur!”
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Tekad seorang sālik (peniti yang menuju Allah) tidak akan berhenti setelah mendapatkan makrifat, rahasia, dan cahaya-cahaya Ilahi. Ia tidak akan memandang bahwa makrifat, aḥwāl, dan maqām yang telah diraihnya merupakan tujuan utama dan akhir dari perjalanannya. Bisikan-bisikan hakikat Ilahi akan menyeru hatinya agar tidak berhenti sampai di situ: “Karena apa yang kau cari ada di depanmu!” Apa yang dicari dan diinginkan seorang sālik adalah “sampai kepada Tuhannya”, bukan sampai kepada sesuatu selain-Nya.
Saat dunia menebar pesonanya, ia akan berseru dengan suara yang tak kau dengar: “Kami hanya ujian dan cobaan maka jangan kau tertipu oleh kami dan jangan berhenti sampai di sini. Jangan jadikan dirimu budak kami sehingga kau akan terhalang dari Allah karena sikap semacam ini sama saja dengan kufur terhadap nikmat Tuhan Pemberi nikmat.”
Syukur atas nikmat Tuhan diwujudkan dengan cara menemui dan mendatangi Tuhan Yang Memberi nikmat, sedangkan sikap berpaling dari nikmat, namun di saat yang sama tetap menikmati nikmat tersebut, adalah cerminan sikap tahu diri di hadapan Tuhan.