02 Penjelasan Perihal Orang-orang Shadiqin di dalam Tajrid – Mutu Manikam dari Kitab al-Hikam

MUTU MANIKAM
Dari
KITAB AL-ḤIKAM

(Judul Asli: Al-Ḥikam)
Karya: Syaikh Aḥmad bin Muḥammad ‘Athā’illāh
Pensyarah: Syaikh Muḥammad bin Ibrāhim Ibnu ‘Ibād (atau ‘Abbād).
 
Penyadur: Djamaluddin Ahmad al-Buny
Penerbit: Mutiara Ilmu Surabaya

BAB 2

Penjelasan Perihal
Orang-orang Shādiqīn
DI DALAM TAJRĪD

 

2. إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدُ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي الْأَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَ إِرَادَتُكَ الْأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِي التَّجْرِيْدِ انْحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ

Kehendakmu agar semata-mata beribadah, padahal Allah sudah menempatkan dirimu sebagai golongan orang yang harus berusaha untuk mendapatkan kehidupan duniamu (sehari-hari), maka keinginan seperti itu termasuk perbuatan (keinginan) syahwat yang halus. Sedangkan keinginanmu untuk berusaha, padahal Allah s.w.t. telah menempatkan dirimu di antara golongan yang semata-mata beribadah, mengikuti keinginanmu itu, berarti engkau telah turun dari semangat dan cita-cita yang tinggi.

Ungkapan tajrīd di atas berarti meninggalkan sebab yang menjadi jalan untuk menemukan apa yang seharusnya dijalankan oleh orang-orang shādiqīn, yakni dengan melaksanakan suatu sebab tidak membiarkan dirinya jatuh kepada perbuatan yang salah, karena berniat meninggalkan urusan duniawi, sebab semata-mata hendak beribadah.

Watak yang dimiliki oleh orang shādiqīn, ialah tidak meninggalkan dunia karena akhirat, dan tidak meninggalkan akhirat sebab dunia. Hubungan timbal balik antara dunia dan akhirat seperti yang dikehendaki oleh Islam, adalah suatu keharusan yang patut diusahakan dan ditunjang dengan perilaku akhlak Islami yang akan menunjang semua hal yang menyangkut urusan duniawi dan ukhrawi.

Menempatkan kedua masalah tersebut di atas adalah suatu jalan yang benar bagi orang shādiqīn yang memandang kehidupan dunia dan akhirat dalam semua perilaku manusia, saling menunjang dan tidak terpisahkan satu dengan lainnya.

Kedudukan manusia dalam tajrīd, karena kehendak mentaati Allah s.w.t., lalu menanggalkan usaha (kasab), padahal ia masih memerlukan kasab itu sebagai keperluan yang wajar secara duniawi, maka kehendak tajrīd seperti ini termasuk syahwat badani yang tidak pada tempatnya. Oleh karena ia membutuhkan seperti pada umumnya manusia berhubungan dalam hidup melalui tolong-menolong yang berkaitan dengan sesama manusia.

Syahwat badani seperti ini memang syahwat yang halus, karena bukan perbuatan yang tidak dibolehkan, akan tetapi tidak pada tempatnya, apalagi kalau tajrīd seperti itu adalah suatu keinginan agar dianggap sebagai manusia zuhud (orang yang tidak berkehendak kepada dunia, semata-mata karena Allah). Kehendak seperti ini bertentangan dengan kehendak Allah Sendiri, karena akan menjerumuskannya kepada syirik yang halus pula.

Sebaliknya, orang yang telah mendapatkan keputusan Allah untuk beribadah saja (dalam maqām tajrīd saja) berarti ia sudah tidak mempunyai tugas duniawi yang melibatkan dirinya pada ikhtiar duniawi, hanyalah semata-mata beribadah, karena Allah telah memilih ia untuk hal itu. Orang seperti ini bukanlah karena ia tidak memerlukan lagi kehidupan dunia, untuk keperluannya yang primer, akan tetapi Allah telah menjamin kehidupan dunianya dengan rezeki yang tak dapat diduga-duga. Dalam urusan duniawi ia tidak terlalu mengharapkan mendapatkannya, karena ia telah siap menerima anugerah Allah dengan jalan beribadah kepada-Nya semata.

Inilah orang yang shādiqīn di atas jalannya. Ia tidak tamak menghadapi hidup melewati jalan tajrīd, karena menempatkan duniawi sebagai hal yang tidak mengikatnya sebagai belenggu yang merusak ibadahnya kepada Allah s.w.t. Dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah, ada dua hal yang perlu diingat, lalu menempatkan diri secara teguh (istiqāmah) pada tempat yang dipilih si hamba untuk perjuangan hidupnya di dunia dan di akhirat. Kedudukan dua hal ini tidak berbeda. Karena niat yang tersembul (appeared; emerged; arose; surfaced; protruding) dari perbuatan seperti itu sama kedudukannya, yakni untuk beribadah. Masalahnya sekarang adalah bagaimana seseorang menekuni perilaku ibadahnya. Di satu pihak keinginan tajrīd lebih kuat dan lebih dominan, di pihak lain keinginan duniawi lebih condong mengikuti semua perbuatan sebagai ibadah juga.

Untuk menghilangkan keraguan (waswas) dalam diri hamba yang shādiqīn, maka harus menekuni dua perilaku tersebut, sehingga masing-masing mampu memberi nilai lebih dan menjadikannya sebagai ibadah yang bermanfaat dunia dan akhirat.

Meskipun demikian, perlu dipahami bahwasanya maqām tajrīd yang telah dipilih seorang hamba yang shādiqīn adalah maqām yang mulia, karena tidak semua orang mampu berada pada maqām tersebut. Maqām tajrīd ini adalah pilihan Allah atas hamba-Nya dalam hubungannya dengan peribadatan yang khusus.

Adapun ciri-ciri hamba yang shādiqīn dan tajrīd, di antaranya:

  1. Mendekatkan diri kepada Allah s.w.t., akan tetapi tidak mengabaikan duniawinya.
  2. Mengkhususkan diri beribadah semata-mata karena Allah, karena Allah s.w.t. telah menjamin hidup duniawinya, karena ibadah-ibadah yang ia ‘amalkan.
  3. Menempatkan diri dalam hidup sederhana (qanā‘ah) dan menjaga kehormatannya (‘iffah) dalam hubungan sesama manusia.
  4. Tidak menyia-nyiakan pemberian Allah yang telah diterima oleh si hamba (seperti rezeki) yang tak terduga, untuk kepentingan manusia lainnya. Kemudian ia tetap istiqāmah dalam ibadah yang dijalankannya.
  5. Jiwa dan ruh mereka tenang menikmati ibadah kepada Allah s.w.t.
  6. Mengembalikan seluruh persoalan yang telah terjadi dan yang akan terjadi kepada Allah s.w.t. Serta mengerjakan sesuatu perbuatan semata-mata karena izin Allah.

Demikian sifat-sifat orang-orang shādiqīn yang beriman kepada Allah atas segala ciptaannya, menerima atas segala kejadian baik dan buruk yang datang dari Allah, kemudian berusaha untuk memberi faedah kepada sesama hamba Allah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *