كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مِنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَ هُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَ هُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلَاتِهِ أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَ هُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ.
“Bagaimana akan dapat terang hati seseorang, jika gambar dunia ini terlukis dalam lensa atau cermin hatinya. Atau bagaimana akan pergi menuju kepada Allah, padahal ia masih terikat (terbelenggu) oleh syahwat hawa nafsunya. Atau bagaimana akan dapat masuk ke ḥadhirat Allah, padahal ia belum bersih (suci) dari kelalaian (yang di sini diumpamakan) janabatnya. Atau bagaimana mengharap akan mengerti rahasia yang halus (dalam), padahal ia belum taubat dari berbagai kekeliruan.”
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
كَيْفَ يَشْرُقُ قَلْبٌ صُوَرُ الْأَكْوَانِ مِنْطَبِعَةٌ فِيْ مِرْآتِهِ.
“Bagaimana akan dapat terang hati seseorang, jika gambar dunia ini terlukis dalam lensa atau cermin hatinya.
Bagaimana bisa, hati menjadi terang, jikalau potret sesuatu selain Allah masih melekat dalam cermin hatinya?
أَمْ كَيْفَ يَرْحَلُ إِلَى اللهِ وَ هُوَ مُكَبَّلٌ بِشَهَوَاتِهِ.
“Atau bagaimana akan pergi menuju kepada Allah, padahal ia masih terikat (terbelenggu) oleh syahwat hawa nafsunya.
Lantas bagaimana bisa berjalan menuju Allah, sementara ia masih terbelenggu oleh syahwatnya?
Tidak akan sempurna amal ibadah seseorang selama masih saja menuruti hawa nafsunya.
أَمْ كَيْفَ يَطْمَعُ أَنْ يَدْخُلَ حَضْرَةَ اللهِ وَ هُوَ لَمْ يَتَطَهَّرْ مِنْ جَنَابَةِ غَفَلَاتِهِ.
“Atau bagaimana akan dapat masuk ke ḥadhirat Allah, padahal ia belum bersih (suci) dari kelalaian (yang di sini diumpamakan) janabatnya.
Bagaimana ia bisa mengharap (untuk bisa) masuk ke ḥadhirat Allah, sementara ia belum bersuci dari janabat kelalaiannya?
Kelalaian dari mengingat Allah itu diumpamakan seperti orang yang junub, dan orang yang junub itu diharamkan masuk masjid. Begitu pula orang yang lalai mengingat Allah juga tercegah masuk ke ḥadhirat Allah, mendekatkan diri kepada-Nya.
أَمْ كَيْفَ يَرْجُوْ أَنْ يَفْهَمَ دَقَائِقَ الْأَسْرَارِ وَ هُوَ لَمْ يَتُبْ مِنْ هَفَوَاتِهِ.
“Atau bagaimana mengharap akan mengerti rahasia yang halus (dalam), padahal ia belum taubat dari berbagai kekeliruan.”
Atau bagaimana ia berharap bisa memahami berbagai macam rahasia yang samar, sementara ia belum bertaubat dari kekeliruannya kepada Allah.
مَا تَرَكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْئًا مَنْ أَرَادَ أَنْ يُحْدِثَ فِي الْوَقْتِ غَيْرَ مَا أَظْهَرَهُ اللهُ فِيْهِ.
“Sangatlah dungu orang yang menginginkan terjadinya sesuatu di waktu yang tidak dikehendaki Allah.”
Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:
مَا تَرَكَ مِنَ الْجَهْلِ شَيْئًا مَنْ أَرَادَ أَنْ يُحْدِثَ فِي الْوَقْتِ غَيْرَ مَا أَظْهَرَهُ اللهُ فِيْهِ.
“Sangatlah dungu orang yang menginginkan terjadinya sesuatu di waktu yang tidak dikehendaki Allah.”
Sejatinya, orang yang paling bodoh ialah yang mengharapkan terjadinya sesuatu di waktu yang tidak dikehendaki oleh Allah.
Ketika seorang murīd dalam keadaan maqām kasab atau tajarrud (tajrīd), sakit atau fakir, lalu ia hendak meminta supaya Allah mengubah keadaannya, seperti meminta kesembuhan ketika sakit, meminta kaya ketika fakir, maka ia amat sangatlah bodoh dan rendah adab tatakramanya kepada Allah. Akan tetapi, hendaklah ia mau menerima dengan lapang dada dan rela dengan tempat (keadaan) yang sudah ditentukan oleh Allah. Jika keadaan tersebut bukan merupakan sesuatu yang bertentangan dengan syara‘.