14. الْكَوْنُ كُلُّهُ ظُلْمَةٌ وَ إِنَّمَا أَنَارَهُ ظُهُوْرُ الْحَقِّ فِيْهِ فَمَنْ رَأَى الْكَوْنَ وَ لَمْ يَشْهَدْهُ فِيْهِ أَوْ عِنْدَهُ أَوْ قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ فَقَدْ أَعْوَزَهُ وُجُوْدُ الْأَنْوَارِ وَ حُجِبَتْ عَنْهُ شُمُوْسُ الْمَعَارِفِ بِسُحُبِ الْآثَارِ
Semesta itu seluruhnya gulita. Ia hanya akan diterangi oleh wujud Allah. Siapa yang melihat semesta, namun tidak melihat-Nya di sana atau tidak melihat-Nya ketika, sebelum, atau sesudah melihat semesta, berarti ia telah disilaukan oleh cahaya-cahaya lain dan terhalang dari surya makrifat karena tertutup tebalnya awan dunia.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Di mata para ahli syuhūd (orang yang menyaksikan kehadiran Allah dalam segala sesuatu), dunia ini tidak berwujud. Yang membuat dunia ini tampak hanyalah wujud Allah semata, persis seperti pancaran sinar matahari yang masuk ke dalam sebuah lentera berkaca. Tak ada wujud, kecuali wujud Yang Mahabenar. Dengan kemunculan Allah pada segala sesuatu, semuanya menjadi ada, sesuai dengan tabiatnya masing-masing. Aslinya, mereka tidak berwujud dengan sendirinya.
Jika demikian, barang siapa yang melihat alam semesta ini tanpa merasakan kehadiran Allah di sana, berarti ia telah kehilangan nūr Ilāhi (cahaya Allah) yang membuatnya mendapat musyāhadah. Di samping itu, ia juga tidak mungkin akan mendapat makrifat karena ia telah disilaukan oleh semesta ini.
Di sini Ibnu ‘Athā’illāh menyinggung tentang bermacam-macam tingkatan ahli syuhūd dalam memandang Allah. Di antara mereka ada yang menyaksikan sang Pencipta terlebih dahulu sebelum menyaksikan ciptaan-Nya. Jika pandangannya jatuh pada suatu benda, ia akan menyaksikan keberadaan Yang Maha Benar dan bahwa hanya Dia yang menggerakkan dan mendiamkannya. Itu terjadi sebelum di benaknya terbersit apakah benda itu manusia ataukah domba, tinggi ataukah pendek, dan sebagainya.
Ada juga yang menyaksikan Tuhan setelah tahu bahwa benda yang disaksikannya itu adalah binatang. Ada yang menyaksikan Tuhan tepat di saat ia menyaksikan sebuah benda. Ada pula yang menyaksikan Tuhan pada benda itu.
Hikmah ini teramat sulit untuk dijabarkan karena semua pengalaman di atas diungkapkan melalui ucapan atau tulisan, namun hanya bisa dirasakan. Orang yang mengalami syuhūd akan kehilangan kata-kata untuk menjelaskannya.
15. مِمَّا يَدُلُّكَ عَلى وُجُوْدِ قَهْرِهِ سُبْحَانَهُ أَنْ حَجَبَكَ عَنْهُ بِمَا لَيْسَ بِمَوْجُوْدٍ مَعَهُ
Di antara tanda kekuasaan Allah adalah Dia mampu menghalangimu dari melihat-Nya dengan sesuatu yang tidak ada.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Para ‘ārif sepakat bahwa segala sesuatu selain Allah adalah tidak ada. Segala sesuatu selain Allah dianggap tidak berwujud dibandingkan dengan wujūd-Nya.
Seorang ‘ārif berkata: “Para muḥaqqiq (peraih maqām makrifat) menolak untuk memandang selain Allah karena mereka telah berhasil menyaksikan kuasa dan keabadian Allah dalam mengatur dan meliputi segala sesuatu.”
Semua hal selain Allah dianggap tidak ada, namun mengapa ia menjadi penghalang bagi manusia untuk dapat menyaksikan Allah? Mengapa saat manusia menyaksikan alam semesta, mereka hanya melihat wujud alam semesta tanpa melihat siapa yang mewujudkannya? Padahal alam itu tidak berwujud sama sekali karena yang mewujudkannya hanyalah Allah s.w.t. Inilah yang amat mengherankan.
Kemudian, pada hikmah di bahwa ini, Ibnu ‘Athā’illāh menyebutkan dalil-dalil yang menegaskan bahwa seorang ‘ārif tidak layak terhijab oleh semesta karena kondisi ini hanya dialami oleh orang-orang awam.
16. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ أَظْهَرَ كُلَّ شَيْءٍ.
. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ ظَهَرَ بِكُلِّ شَيْءٍ.
. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ ظَهَرَ فِيْ كُلِّ شَيْءٍ.
. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ ظَهَرَ لِكُلّ شَيْءٍ.
. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ الظَّاهِرَ قَبْلَ وَجُوْدِ كُلِّ شَيْءٍ.
. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ الَّذِيْ أَظْهَرَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ.
. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ وَاحِدُ الَّذِيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ.
. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ هُوَ أَقْرَبُ إِلَيْكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ.
. كَيْفَ يُتَصَوَّرُ أَنْ يَحْجُبَهُ شَيْئٌ وَ لَوْ لاَهُ مَا كَانَ وُجُوْدُ كُلِّ شَيْءٍ.
. يَا عَجَبًا كَيْفَ يَظْهَرُ الْوُجُوْدُ فِي الْعَدَمِ أَمْ كَيْفَ يَثْبُتُ الْحَادِثُ مَعَ مَنْ لَهُ وَصْفُ الْقِدَمِ.
Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia yang menampakkan segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak bersama segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak pada segala sesuatu?
Bagaimana bisa Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak untuk segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia tampak sebelum keberadaan segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia Esa tanpa ada yang bersama-Nya?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu?
Bagaimana mungkin Tuhan terhalang sesuatu, padahal jika bukan karena Dia, wujud segala sesuatu tidak akan ada?
Sungguh aneh, bagaimana mungkin keberadaan (wujud) bisa tampak dalam ketiadaan (‘adam)?!
Atau, bagaimana bisa sesuatu yang baru bersanding dengan Yang Maha Dahulu?!
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Allah menampakkan segala sesuatu dengan cahaya wujud dari gelapnya ketiadaan. Dengan kemunculan cahaya-Nya dalam segala sesuatu, semuanya menjadi tampak. Jika wujud segala sesuatu bergantung pada cahaya-Nya, mustahil sesuatu itu menutupi-Nya sehingga membuat-Nya terselubung dan tidak tampak. Tindakan “menampakkan” meniscayakan penampakan Dzāt yang melakukannya. Allah-lah yang menampakkan segala sesuatu agar orang-orang yang berakal menjadikannya sebagai bukti keberadaan-Nya.
Allah s.w.t. berfirman: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’ān itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushshilat [41]: 53).
Menurut ahli syuhūd, Allah tampak pada segala sesuatu dengan penampakan Dzat-Nya. sementara itu, menurut ahli ḥijāb, Dia tampak pada segala sesuatu dengan penampakan sifat dan asmā’-Nya. segala sesuatu hanyalah objek penampakan dari makna-makna asmā’ dan sifat-Nya. Pada benda atau orang yang mulia, tampaklah sifat Maha Mulia (‘azīz) milik-Nya dan pada benda atau orang yang hina, terlihatlah sifat Maha Menghinakan (mudzill) milik-Nya.
Pada setiap makhluk hidup tampak jelas sifat Maha Menghidupkan (muḥyī) milik-Nya. Saat Allah mencabut nyawa, tampaklah sifat Maha Mematikan (mumīt). Saat memberi, terlihatlah sifat Maha Memberi (mu‘thī). Saat menahan pemberian, terlihat sifat Maha Menahan (māni‘). Saat memberi karunia, tampak sifat Maha Memberi Karunia (karīm). Saat mengabulkan doa, tampak sifat Maha Pengabul Doa (mujīb). Saat menimpakan bahaya atau mendatangkan manfaat, tampaklah sifat Maha Pemberi Bahaya (dhārr) dan Maha Pemberi Manfaat (nāfi‘), dan sebagainya.
Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia muncul atau tampak pada segala sesuatu sehingga bisa dikenali. Karena itulah, seluruh semesta alam bersujud dan bertasbih kepada-Nya, tetapi kita tidak mendengar dan memahami tasbih mereka. Semua makhluk di alam ini, baik itu bernyawa maupun yang tidak, mengenal Allah, namun itu bergantung pada kadar penampakan Allah yang dilihatnya. Jika ada makhluk yang tidak mengagungkan Allah sesuai kadar keagungan-Nya, maka hal itu disebabkan oleh lemahnya makrifat (pengenalan) tentang-Nya, bukan karena ketiadaan makrifat sama sekali.
Bagaimana mungkin Tuhan terhalangi sesuatu, sedangkan Dia Zhāhir sebelum wujud segala sesuatu? Karena asmā’-Nya sudah tampak sejak azali. Kemunculan Allah sendiri sudah merupakan sifat asli-Nya (zhāhir), tidak didapat dari luar, tidak beralasan, dan tidak diserap dari mana saja. Sementara itu, kemunculan alam semesta adalah akibat kemunculan Allah di sana dengan sifat zhāhir-Nya. Jika demikian bagaimana mungkin semesta dapat menghalangi-Nya?
Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih tampak daripada segala sesuatu? Karena dalam setiap kondisi, wujūd (keberadaan) lebih tampak daripada ‘adam (ketiadaan), juga karena kemunculan substansial lebih kuat daripada kemunculan aksidental. Kemunculan yang bersumber dari diri sendiri lebih kuat daripada kemunculan yang diakibatkan faktor luar. Kemunculan mutlak lebih kuat daripada kemunculan relatif. Kemunculan yang abadi lebih kuat daripada kemunculan yang fanā’.
Wujud Tuhan tidak diketahui akal karena kemunculan-Nya amat dahsyat. Kemunculan dahsyat itu tak akan bisa diketahui oleh orang-orang lemah. Seperti halnya seekor kelelawar yang hanya mampu melihat di kegelapan malam, sedangkan di siang hari ia tidak mampu melihat apa-apa. Hal itu dikarenakan kuatnya kemunculan siang. Sementara itu, penglihatan mata kelelawar amat lemah. Ia tak sanggup melawan pancaran cahaya matahari. Kuatnya kemunculan siang dan lemahnya penglihatan itulah yang menjadi sebab kelelawar tak mampu melihat di siang hari.
Seperti itulah akal, ia amat lemah di hadapan kemunculan Ilahi yang sinar dan cahaya-Nya menyilaukan. Kuatnya kemunculan Ilahi inilah yang menjadi sebab ketersembunyian-Nya dari segala sesuatu.
Bagaimana mungkin sesuatu akan menghalangi Allah, padahal Dia Yang Esa dan tak ada sesuatu pun yang bersama-Nya? Karena segala sesuatu selain Allah tidak ada dan tidak berwujud. Dengan demikian, tak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi-Nya karena semua wujud hakiki hanya milik Allah, bukan milik selain-Nya.
Bagaimana mungkin Allah terhalangi sesuatu, padahal Dia lebih dekat kepadamu dari segala sesuatu? Karena Dia mampu meliputi dan mengaturmu. Allah s.w.t. berfirman: “Dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Qāf [50]: 16).
Menurut ahli syuhūd, Dzāt Allah amat dekat kepada kita. Adapun menurut ahli hijāb, Tuhan dekat kepada kita dalam pengertian dekat ilmu, kekuasaan, dan sifat-sifatNya yang lain.
Bagaimana bisa Allah terhalangi sesuatu, padahal tanpa Dia, segala sesuatu tidak akan ada? Sampai-sampai para musyāhidūn (yang merasa menyaksikan Allah) menjadikan Allah sebagai dalil untuk membuktikan keberadaan segala sesuatu.
Allah s.w.t. berfirman: “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Fushshilat [41]: 53).
Sungguh aneh, bagaimana mungkin wujūd (keberadaan) tidak tampak dalam ‘adam (ketiadaan)? ‘Adam adalah kegelapan, sedangkan wujūd adalah cahaya. Keduanya mudah dibedakan.
Bagaimana bisa sesuatu yang baru (ḥādits) bersanding dengan Yang Maha Dahulu (qadīm)? Bagaimana mungkin sesuatu yang baru muncul bersamaan dengan yang memiliki sifat qidam. Yang baru itu bāthil, sedangkan Allah itu Ḥaqq (Maha Benar). Kebathilan akan sirna dengan adanya kebenaran.
Allah s.w.t. berfirman: “Dan katakanlah: Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap.” Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (al-Isrā’ [17]: 81).
Sosok yang lahir (tampak) dan tsābit (tetap) itulah Tuhan Yang Maha Ḥaqq, Allah s.w.t., bukan alam semesta. Tak ada yang berwujud, kecuali Allah karena Dia yang tampak dan menampakkan, yang maujūd dan berbeda dari segala penampakan lainnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang bernada keheranan dalam hikmah ini pasti akan diajukan oleh mereka yang pernah merasakan pengalaman syuhūd. Oleh karena itu, semakin kuat pengalaman syuhūd yang dirasakan seseorang maka semakin sirnalah alam semesta ini dari pandangannya.