12. مَا نَفَعَ الْقَلْبَ شَيْئٌ مِثْلَ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مِيْدَانُ فِكْرَةٍ.
Tiada yang lebih berguna bagi hati selain ‘uzlah. Dengan ‘uzlah, hati memasuki lapangan tafakkur.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
‘Uzlah (menyendiri) merupakan cara terbaik bagi seorang murīd untuk membersihkan hati dari segala kelalaian dan mendekatkan diri kepada Tuhannya.
Tafakkur itu umpama sebuah lapangan. Di sana, hati berputur-putar seperti seekor kuda yang berpacu di sebuah arena pacuan.
Bila seorang murīd terlalu banyak bergaul dengan manusia, pandangan dan hatinya akan tertuju pada keduniaan sehingga yang kemudian tampak jelas di hadapannya hanyalah hal-hal yang bersifat materi dan fanā’. Tidak demikian jika ia ber-‘uzlah menjauhi pergaulan dengan manusia, hatinya akan disibukkan dengan hal-hal ghaib.
Dalam sebuah khabar disebutkan: “Bertafakkur sesaat lebih baik daripada ibadah tujuh puluh tahun.”
Ada seseorang yang bertanya kepada Umm-ud-Dardā’: “‘Amalan apa yang paling diutamakan Abū Dardā’?”
Umm-ud-Dardā’ menjawab: “Tafakkur”. Dengan bertafakkur, seseorang bisa mendalami hakikat, mengagungkan Allah, dan mengutamakan segala hal yang diridhai-Nya. Dengan bertafakkur ia bisa menganggap hina semua hal yang dibenci Allah sehingga terdorong untuk meninggalkannya. Dengan bertafakkur, seseorang bisa mengetahui keburukan-keburukan jiwa yang terselubung, kejahatan musuh, dan tipuan dunia. Ia juga bisa mengenali segala muslihat sehingga bisa dengan mudah menghindarinya dan selamat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkannya.
Dengan menyendiri dan merenung, seorang murīd melatih diri untuk berkhalwat, salah satu dari empat rukun tarekat (tiga rukun lainnya adalah bersikap diam, berlapar-lapar, dan bangun tengah malam). Ini, bagi murīd yang menempuh jalan tarekat sendirian.
Adapun bagi murīd yang berada di bawah bimbingan guru, tentu ia harus banyak bergaul dengan gurunya, juga dengan saudara-saudara yang turut membantunya dalam menempuh jalan tarekat. Jika ia telah menjadi ‘ārif, tak masalah baginya untuk bergaul dengan manusia mana pun karena saat itu di matanya hanya Allah yang terlihat. Perlu dicamkan bahwa yang menjadi tujuan utama adalah tafakkur, sedangkan ‘uzlah (menyendiri) hanya sebagai media atau faktor pendukung.