01 Penjelasan Tentang Orang-orang yang ‘Arif – Mutu Manikam dari Kitab al-Hikam

MUTU MANIKAM
Dari
KITAB AL-ḤIKAM

(Judul Asli: Al-Ḥikam)
Karya: Syaikh Aḥmad bin Muḥammad ‘Athā’illāh
Pensyarah: Syaikh Muḥammad bin Ibrāhim Ibnu ‘Ibād (atau ‘Abbād).
 
Penyadur: Djamaluddin Ahmad al-Buny
Penerbit: Mutiara Ilmu Surabaya

BAB 1

Penjelasan Tentang
ORANG-ORANG YANG ‘ĀRIF

 

1. مِنْ عَلَامَاتِ الْاِعْتِمَادِ عَلَى الْعَمَلِ نُقْصَانُ الرَّجَاءِ عِنْدَ وُجُوْدِ الزَّلَلِ

Tanda-tanda orang yang ‘ārif dalam ‘amal, ia tidak membanggakan ‘amal ibadahnya. Berkurangnya harapan kepada Allah ketika terjadi kekhilafannya kepada Allah.

Orang yang ‘ārif adalah orang yang tidak membanggakan ‘amal ibadahnya. Orang seperti ini kurang pengharapannya kepada Allah, ketika ia berhadapan dengan rintangan yang menimpa. Sedangkan sifat orang yang bijaksana dalam meneguhkan imannya kepada Allah selalu berpegang teguh (istiqāmah) kepada kekuasaan yang ada pada Allah.

Para ‘ārifīn dalam imannya kepada Allah selalu menyaksikan kebenaran-Nya dari atas permadani hidupnya. Ia tidak dapat memutuskan hubungannya dengan Allah karena telah menyaksikan kebesaran Allah dari hidupnya sendiri. Ia tidak menjadikan ‘amal ibadahnya sebagai kebanggaan hidupnya, akan tetapi ia jadikan sebagai suatu kewajiban seorang hamba kepada Khāliq yang senantiasa ia kuatirkan, kalau-kalau ibadahnya itu tidak diterima oleh Allah s.w.t.

Orang ‘ārifīn yang selalu memperhatikan dirinya dan menguatirkan amalnya dengan harapan rahmat dari Allah s.w.t., menempatkan diri mereka dengan jiwa yang waspada dan tenang. Karena kewaspadaan jiwa dalam ibadah serta ketenangannya akan memberikan manusia sifat-sifat utama yang terdengar dari suara hati nuraninya sendiri yang suci bersih.

Adapun orang yang berbuat dosa dan kesalahan, akan tetapi ia enggan mengharapkan rahmat dan ampunan Allah, maka ia telah menumbuhkan rasa angkuh akan kemampuan dirinya tanpa rahmat dan pertolongan Allah. Orang ini telah mengesampingkan Allah dalam Tauḥīd-Nya. Orang seperti ini telah melibatkan dirinya dalam dosa dan kesalahan.

Pengharapan kepada Allah, selalu menjadi hiasan hati orang-orang ‘ārif, selalu menjadi keinginan manusia yang beriman akan kebutuhannya kepada Allah s.w.t., karena meyakini pemberian Allah itu sangat luas, dan rahmat Allah sangat banyak. Apabila pada suatu saat si hamba Allah ini tergelincir dalam perbuatan maksiat, ia akan menemukan jalan keluar, karena rahmat dan kecintaan Allah akan melepaskannya. Karena si hamba yakin kasih sayang Allah akan mendatanginya, melindungi dan memberikan pertolongan kepadanya.

Pemberian Allah berupa rahmat dan pertolongan akan diterima seorang hamba, apabila si hamba yang berlumuran dosa, sadar akan kelemahan dirinya, dan yakin kepada rahmat-Nya. Keyakinan seperti ini akan memberi peluang bagi menusia berdosa agar cepat-cepat bertobat dan memohon ampunan kepada Allah s.w.t., seperti yang ia yakini, sebagai satu-satunya tempat ia bersandar.

Tobat bagi seorang yang ‘ārif adalah pertanda nuraninya masih hidup dan jiwanya masih dibakar oleh iman, sehingga ia tidak berputus asa menghadapi segala sesuatu yang ada padanya, sebagai kenyataan yang tak boleh dielakkan. Mereka yang berpribadi seperti ini adalah kelompok orang yang ditegaskan oleh al-Qur’ān sebagai golongan kanan (ashḥāb-ul-yamīn).

Sesungguhnya Allah s.w.t. telah menciptakan agama untuk manusia, bersamaan dengan memberikan kemampuan mereka untuk ber‘amal. Karena dengan ‘amal itu manusia akan berupaya melepaskan dirinya dari dosa dan kesalahan, serentak akan memberikan tempat kepadanya hiasan keutamaan diri.

Iman yang paling tinggi kualitasnya, adalah iman yang mampu melepaskan dirinya dari belenggu yang membebaninya, melalui ujian. Inilah watak yang paling berharga, ketika seorang mu’min sadar akan dirinya atas pemberian rahmat dan karunia Allah yang begitu banyak yang telah diterima. Oleh karena belenggu dosa yang begitu banyak membebani dirinya dan terikat dakam hatinya, si hamba tidak merasakan rahmat dan nikmat Allah yang telah banyak diterimanya.

Berpikir dengan akal sehat itu lebih utama dan lebih agung pahalanya dari berpikir dengan akal yang sakit, oleh karena dosa yang menjauhkannya dari rahmat Allah. Karena rahmat Allah itu dekat dengan orang beriman, sesuai dengan firman Allah: “Sesungguhnya Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik (orang beriman).

Demikian juga ketaatan kepada Allah bukanlah suatu ‘amal yang harus dipamerkan, atau semisalnya, karena ketaatan adalah hiasan jiwa yang bertahtakan ketulusan di dalamnya. Ketaatan itu sendiri belum menjadi jaminan seorang untuk masuk surga. Karena hal ini memerlukan ujian yang sangat istimewa. Sebab pada dasarnya ketaatan adalah karunia yang sangat mahal harganya bagi hamba Allah yang perlu mendapatkan penjagaan terus-menerus sepanjang hayatnya. Setiap karunia yang menjadi anugerah Allah s.w.t., berupa apa pun, terutama jiwa yang taat, adalah merupakan hidayah dari Allah s.w.t.

Meyakini bahwa iman dan ketaatan seorang hamba kepada Khāliqnya adalah hidāyah Allah, maka seorang hamba yang ‘ārif akan selalu memberi bobot jiwanya, serta menghindarkan dari dirinya kedengkian, kesombongan, demikian juga kebanggaan. Sebab sifat yang disebut terakhir, akan memberi kesempatan kepada Iblīs mendapat tempat dalam ruang jiwa kita. Hal ini sangat berbahaya.

Keimanan kepada Allah sebagai penangkal bagi orang mukmin yang ‘ārif, adalah perisai yang paling ampuh, dan senjata yang paling tajam, berhadapan dengan musuh Allah dan musuh orang beriman, yakni Iblīs. Hanya dengan iman, Islam yang telah dipilih oleh Allah s.w.t. yang akan mampu memberi kekuatan dan senjata pamungkas. Hamba Allah yang mempergunakan Islam sebagai senjata melawan Iblīs, itulah yang akan mendapat kemenangan dan kasih-sayangNya. Karena Allah s.w.t. telah mengingatkan: “Barang siapa yang mengikuti agama, yang bukan agama Islam, maka tidak diterima ‘amal ibadahnya, sedangkan di alam akhirat ia termasuk orang yang rugi.” (Āli ‘Imrān: 85).

Ketahuilah bahwasanya berpegang teguh kepada keutamaan dan kemuliaan lebih diperlukan daripada berpegang kepada perbuatan yang bertentangan dengan peraturan Islam, satu ‘amal yang tercela. Adapun perbuatan yang tercela itu datang mengunjungi kita, disebabkan memenuhi jiwa kita dengan ajaran-ajaran Islam adalah wajib, agar kita terhindar dari pengaruh ajaran dan pemikiran yang bukan Islam. Agama Islam itu wajib dijadikan hujjah dalam perjalanan hidup kita, agar terhindar dari perbuatan yang bebal dan bodoh.

Orang yang membanggakan ‘amal ibadahnya, berarti ia menyandarkan dirinya hanya pada ‘amal ibadahnya, tidak diperkenankan dalam syariat Islam. Semua ‘amal ibadah hanyalah disandarkan kepada Allah s.w.t. Karena setiap hamba Allah dalam ibadah dan ‘amal adalah karena Allah s.w.t. belaka.

Selain itu hamba Allah yang beribadah dan ber‘amal, adalah mencari rahmat dan karunia Allah, sedangkan yang memiliki rahmat itu adalah Allah s.w.t. Disebutkan dalam al-Qur’ān-ul-Karīm: “Dengan karunia dan rahmat Allah jualah hendaklah kamu bergembira karenanya. Sebab karunia dan rahmat Allah itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (Yūnus: 58).

Berbangga kepada ‘amal ibadah yang telah dilaksanakan sama dengan syirik. Karena perbuatan seperti itu selain membanggakan diri di hadapan Allah s.w.t., bahwa ia telah bisa ber-‘amal dan beribadah, ia pun telah mendahului Allah, seakan-akan ‘amal ibadahnya telah diterima Allah s.w.t. Orang seperti ini seakan-akan ‘amal itu datang dari kemampuannya sendiri, lalu mengandalkan ‘amal untuk mencapai tujuan.

Orang-orang ‘ārif dan bermakrifat kepada Allah, lebih banyak bersyukur kepada-Nya, karena banyak kesempatan baginya untuk ber-‘amal. Dengan rahmat dan kasih sayang itulah ia mampu melaksanakan semua ‘amal ibadahnya dalam kehidupan dunia ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *