Di samping menunjuk kepada pengertian-pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, tharīqah juga dapat didefinisikan secara singkat sebagai “teknik berdzikir efektif”. Sebelumnya telah disebutkan bahwa istilah tharīqah dalam al-Qur’ān dan al-Ḥadīts digunakan dalam konteks dzikrullāh dalam kerangka tauhid. Dalam hadits al-Bukhārī berikut kata thuruq (bentuk jama‘ dari tharīq dan tharīqah) juga digunakan dalam konteks ini:
وَ فِي الْحَدِيْثِ إِنَّ للهَ تَعَالَى مَلَائِكَةٌ سِيَاحِيْنَ فِي الدُّنْيَا سِوَى مَلَائِكَةِ الْخَلْقِ إِذَا رَأَوْا مَجَالِسَ الذِّكْرِ يُنَادِيْ بَعْضُهُمْ بَعْضًا أَلَا هَلُمُّوْا إِلَى بَغِيَّتِكُمْ فَيَأْتُوْنَهُمْ وَ يَحْفُوْنَ بِهِمْ وَ يَسْتَمِعُوْنَ أَلَا فَاذْكُرُوْا اللهَ وَ ذْكُرُوْا أَنْفُسَكَ، (الحديث متفق عليه من حديث أبي هريرة)
“Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat-malaikat yang bertugas berkeliling di tharīqah-tharīqah mencari ahli dzikir. Jika mereka menemukan suatu kaum yang sedang berdzikir kepada Allāh, mereka berseru: “Sebutkan kebutuhan kalian”.” Rasūlullāh s.a.w. melanjutkan sabdanya: “Malaikat-malaikat itu kemudian mengelilingi mereka dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia.” (Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, juz 1, halaman :34).
Kata thuruq (tharīqah-tharīqah atau jalan-jalan) dalam hadits tersebut menunjukkan kepada ḥalaqah atau majelis dzikir. Ḥalaqah artinya lingkaran, dan ḥalaqah dzikir menunjukan kepada makna “sekumpulan orang yang duduk melingkar untuk bersama-sama berdzikir dan bermunajat kepada Allāh ‘azza wa jalla”. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzī dan Aḥmad, ḥalaqah dzikr ini disebut oleh Nabi s.a.w. sebagai riyādh-ul-jannah (taman-taman surga):
عن أنس بن مالك رضي الله عنه: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَرَرْتُمْ بِرِيَاضِ الْجَنَّةِ فَارْتَعَوْا قَالَ وَمَا رِيَاضُ الْجَنَّةِ ؟ قَالَ حَلَقُ الذِّكْرِ
“Jika kamu melewati taman-taman surga, maka masuklah ke sana”. Para sahabat bertanya: “Apa taman surga itu?” Nabi menjawab: “Ḥalaqah-ḥalaqah dzikir”.” (Sunan-ut-Tirmidzī, Juz 5, halaman :532, Musnad Aḥmad, juz 3, halaman:150).
Hadits tersebut memerintahkan orang-orang mu’min agar bergabung dengan ḥalaqah dzikir sebagai sebuah majelis yang sangat dicintai Allah s.w.t.
Di dalam al-Qur’ān banyak sekali ayat-ayat yang menyinggung perintah berdzikir dan keutamaannya. Selama ini tidak sedikit ‘ulamā’ yang berpendapat bahwa berdzikir itu hukumnya sunnah, bukan wajib. Pendapat semacam ini sebenarnya tidak dapat dibenarkan karena di antara dalil-dalil yang berkenaan dengan dzikir justru menunjukkan kepada hukum wajib.
Dzikir merupakan aktivitas ibadah yang paling tinggi nilainya. Dalam sebuah firman Allah s.w.t., di samping digunakan lafazh yang memang mengandung makna keagungan dzikir, Allāh s.w.t. bahkan masih menggunakan lām at-taukīd (lām yang dibaca fatḥah dan menunjuk pada makna “sungguh atau sangat”) untuk menegaskan betapa besar keutamaan, nilai, pahala, atau manfaat dzikir, sebagaimana yang sering dibaca khatib Shalat Jum‘at di akhir khutbahnya: “Wa ladzikrullāhi akbar (sungguh dzikrullāh itu akbar).”
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَ أَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَ الْمُنكَرِ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ اللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitāb (al-Qur’ān) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. al-‘Ankabūt [29]: 45).
Keakbaran kedudukan dzikrullāh sebagai amal terbaik juga dipertegas oleh hadits Nabi s.a.w. dalam riwayat Aḥmad dengan sanad ḥasan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ قَالَ مَكِّيٌّ وَ أَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيْكِكُمْ وَ أَرْفَعِهَا فِيْ دَرَجَاتِكُمْ وَ خَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَ الْوَرِقِ وَ خَيْرٍ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوْا أَعْنَاقَهُمْ وَ يَضْرِبُوْا أَعْنَاقَكُمْ. قَالُوْا: وَ ذلِكَ مَا هُوَ يَا رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: ذِكْرُ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ
“Maukah kalian kuberitahu amal yang paling baik untuk kalian, amal yang paling suci di sisi Tuhan kalian, amal yang paling mengangkat derajat kalian, amal yang lebih baik bagi kalian daripada menginfakkan emas dan perak, dan amal yang lebih baik bagi kalian daripada menghadapi musuh di medan jihad yang kemudian kalian dan musuh kalian saling menebas leher?” Para sahabat menjawab: “Tentu, wahai Rasūlullāh.” Nabi bersabda: “Dzikrullāh”.” (Musnad Aḥmad, Juz 5, halaman: 239).
Selain sebagai amalan yang paling agung, dzikrullāh bahkan merupakan inti atau ruh semua aktivitas. Setiap aktivitas yang di dalamnya tidak ada dzikrullāh adalah sia-sia dan tidak mempunyai nilai apa-pun di mata Allāh s.w.t. Dalam sebuah hadits yang diriwayat oleh Imām an-Nasā’ī, Nabi s.a.w. menyebut aktivitas semacam ini sebagai permainan belaka:
فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ: كُلُّ شَيْءٍ لَيْسَ فِيْهِ ذِكْرُ اللهِ فَهُوَ لَهْوٌ وَ لَعْبٌ
“Segala sesuatu yang tidak bertolak dari dzikrullāh adalah permainan.” (as-Sunan-ul-Kubrā, Juz 5, Halaman: 302).
Satu faktor yang menyebabkan dzikrullāh menduduki posisi tertinggi dalam keseluruhan aktivitas seorang mu’min yaitu terkait erat dengan keberadaanya sebagai pengusir Iblīs atau syaithan dari dalam diri manusia. Tidak dipungkiri bahwa makhluk terkutuk ini selalu menempel di dalam diri manusia sejak manusia itu lahir ke dunia. Imām al-Bukhārī meriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ إِلَّا وَ الشَّيْطَانُ يَمَسُّهُ حِيْنَ يُوْلَدُ فَيَسْتَهِلُ صَارِخًا مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ إِيَّاهُ إِلَّا مَرْيَمَ وَ ابْنَهَا ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: وَ اقْرَءُوْا إِنْ شِئْتُمْ (وَ إِنِّي أُعِيْذُهَا بِكَ وَ ذُرِّيَّتَهَا مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ) (صحيح البخاري- طوق النجاة ، 6: 34)
“Tidaklah seorang anak-pun dilahirkan kecuali dia pasti disentuh oleh syaithan.”, (Shaḥīḥ-ul-Bukhārī – Thūq-un-Najāḥ, Juz 6, halaman: 34).
8325 – إنَّ لِلْوَسْوَاسِ خُطَمًا كَخُطَمِ الطَّائِرِ فَإِذَا غَفَلَ ابْنُ آدَمَ وَضَعَ ذلِكَ الْمِنْقَارَ فِيْ أُذُنِ الْقَلْبِ يُوَسْوِسُ فَإِنَّ ابْنُ آدَمَ ذَكَرَ اللهَ نَكَصَ وَ خَنَسَ فَلِذلِكَ سُمِيَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَاسُ، (ابن شاهين فى الترغيب فى الذكر عن أنس وهو ضعيف، جامع الأحاديث ،ج 9، 239)
Dalam bahasa Ibn ‘Abbās yang dikutip oleh Imām al-Ḥākim dalam al-Mustadrak dan Imām al-Baihaqī dalam Syu‘ab-ul-Īmān. Hadits tersebut diungkapkan dengan kata-kata:“Tidaklah seorang manusia yang terlahir ke dunia kecuali al-waswas bertengger di hatinya; jika ia melakukan dzikrullāh, setan itu menahan diri; tetapi jika ia lalai, setan itu bergerilnya (secara sembunyi-sembunyi ms.) membisikkan godaan-godaan” (Jāmi‘u Ḥadīts, juz 9, halaman: 239).
يا رسول الله. فقال: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِيْ مِنْ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ يَقْذَفَ فِيْ قُلُوْبِكُمَا شَيْئًا، أَوْ قَالَ: شرًّا. وَ قَالَ الْحَافِظُ أَبُوْ يَعْلَى الْمُوْصِلِيُّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ بَحْرٍ، حَدَّثَنَا عَدِيْ بْنُ أَبِيْ عَمَارَةِ، حَدَّثَنَا زِيَادًا النّميري، عن أنس بن مالك قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ وَاضِعُ خُطَمِهِ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ، فَإِنْ ذَكَرَ خَنَسَ، وَ إِنْ نَسِيَ اِلْتَقَمَ قَلْبَهُ، فَذلِكَ الْوَسْوَاسُ الْخَنَّاسُ.
“Ibn Abbas menjelaskan, sebagaimana diriwayatkan oleh Imām Ibn Abī Syaibah dalam Mushannaf-nya dan dikutip juga oleh Imām Ibn Katsīr dan Imām ath-Thabarī dalam kitab tafsir mereka, bahwa yang dimaksud al-waswas adalah syaithan, kemudian ia berkata: “Syaithan itu mendekam di qalbu anak Ādam; jika ia lupa dan lalai, syaithan itu membisikkan godaan-godaan, dan jika ia berdzikir kepada Allāh, syaithan itu menahan diri”. (Mushannaf Ibn Syaibah, juz 7, halaman: 135, Tafsīr Ibn Katsīr, juz 4, halaman: 539, Tafsīr ath-Thabarī, juz 30, halaman: 355).
Jadi, tidak diragukan lagi bahwa musuh bebuyutan manusia adalah Iblīs, sang Iblīs tidak pernah berhenti menggoda manusia bahkan sejak manusia pertama Ādam diciptakan dan makhluk-makhluk durhaka ini tidak mungkin dapat dihalau kecuali dengan senjata yang disebut dzikrullāh. Hal ini ditegaskan langsung oleh Nabi s.a.w. melalui sabda beliau dalam riwayat Imām Ibn Ḥibbān, Tirmidzī, dan Abū Ya‘lā:
كَذلِكَ الْعَبْدُ لَا يَحْرَزُ نَفْسَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ إِلَّا بِذِكْرِ اللهِ
“Seseorang tidak akan bisa melindungi diri-nya dari syaithan kecuali hanya dengan dzikrullāh” (Shaḥīḥ Ibn Ḥibbān, Juz 14, halaman: 125, Sunan-ut-Tirmidzī, Juz 5, halaman: 148, Musnad Abī Ya‘lā, juz 3, halaman: 140).
Persoalannya, setiap orang sudah berdzikir, sudah biasa menyebut asmā’ Allāh s.w.t. dan mengingat-Nya, tetapi dalam kenyataan mereka tetap terperangkap dalam jebakan-jebakan sang Iblīs baik yang tampak maupun yang tersembunyi, seperti dengki, dendam, ‘ujub, marah, dan penyakit-penyakit hati lainnya yang secara simultan menimbulkan perbuatan-perbuatan keji dan mungkar (al-faḥsyā’ wal-munkar) dalam berbagai bentuknya, dan yang paling layak dipertanyakan adalah bahwa semua itu tidak jarang justru dilakukan oleh orang-orang yang secara lahiriah sudah terbiasa berdzikir. Berbagai kasus yang terjadi di lembaga-lembaga Islam, mulai dari sekolah-sekolah yang berlabel Islam hingga instansi-instansi yang menangani urusan-urusan keagamaan merupakan bukti kegagalan dzikir mereka.
Rahasia kegagalan dzikir mereka sebenarnya hanya terletak dalam satu hal mereka tidak melibatkan tharīqah sebagai “teknik berdzikir efektif”. Logika awam membuktikan bahwa pekerjaan apapun yang dilakukan dengan tidak melibatkan tharīqah (teknik/metode/cara) yang tepat, maka sudah dapat dipastikan hasilnya tidak maksimal atau bahkan gagal sama sekali.
Air dan pengolahannya adalah contoh sederhana yang dapat dikemukan di sini. Dalam kondisi biasa (tanpa teknologi) air hanya berfungsi sebagai pelepas dahaga, mencuci dan atau mandi. Dalam kasus ini manfaat air tidak maksimal. Sebaliknya tatkala terhadap air itu diterapkan teknologi tinggi (‘ilm-uth-tharīqah) oleh seorang pakar teknologi yang berkompeten di bidangnya, maka dari pengolahan air itu dapat diciptakan energi Raksasa yang sanggup membangkitkan tenaga listrik, menjalankan kereta api, dan bahkan juga dapat berfungsi sebagai peledak yang berkekuatan tinggi.
Kalau air saja dapat diolah menjadi sumber energi raksasa dengan melibatkan teknologi, lalu bagaimana dengan kalimah Allāh yang oleh al-Qur’ān disebut sebagai ‘ulyā (tertinggi) (kalimatullāhi hiy-al-‘ulyā)? Bagaimana dengan dzikrullāh yang oleh al-Qur’ān digambarkan dengan kata akbar ‘maha hebat’ (wa ladzikrullāhi akbar)
Disinilah letak urgensi tharīqah sebagai “teknik berdzikir efektif”, yaitu agar dzikir yang dilakukan oleh seorang hamba dapat berfungsi maksimal dan mencapai efektivitasnya untuk menghalau sang Iblīs, terutama yang tanpa disadarinya telah lama berada di dalam dirinya/hatinya, menjadi biang kerok setiap keangkaramurkaan.
Sebagai “teknik berdzikir efektif” tharīqah melibatkan beberapa unsur yang harus difungsikan secara simultan, karena yang satu dengan yang lain memiliki keterkaitan yang sangat erat. Salah satu unsur dari unsur-unsur tersebut adalah dzikir itu sendiri. Yang menjadi fondasi dan ruh semua aktivitas ibadah. Terkait dengan masalah ini, tharīqah bahkan dapat dipahami juga sebagai istilah untuk paket-paket dzikir dan tugas-tugas spiritual berdasarkan model kurikulum pembelajaran yang dijadikan sebagai media untuk mencapai kesucian jiwa dan kedamaian hati.