01-8 Thariqah, Cara Mengamalkan Syari‘ah – Sabil-us-Salikin

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik
Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf

 
Tim Penyusun:
Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk
Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan
 
Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Rangkaian Pos: 001 Islam - Tashawwuf & Thariqah - Sabil-us-Salikin

Tharīqah, Cara Mengamalkan Syarī‘ah

Dengan mengacu pada uraian sebelumnya, dapat dipahami bahwa tharīqah atau tharīq-ush-shāfiyyah (jalan para sufi) pada hakikatnya adalah: jalan yang ditempuh oleh para nabi dan rasūl dalam merealisasikan penghambaan diri dan tauhid yang murni dengan cara mengosongkan qalbu dari hal-hal selain Allāh, serta memenuhinya dengan dzikrullāh dalam setiap keadaan (berdiri, duduk, dan berbaring).

(Dasarnya: )

الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ قِيَامًا وَ قُعُوْدًا وَ عَلَى جُنُوْبِهِمْ وَ يَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allāh sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 191)

Dengan kata lain, tharīqah pada dasarnya adalah “pengamalan syarī‘ah dalam kerangka tauhid dan ‘ubūdiyyah.”

Di dalam janji al-Qur’ān yang seringkali terdengar kumandangnya di mimbar-mimbar adalah bahwa umat Islam adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (Khair Ummat Ukhrijat lin-Nās)

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوْفِ وَ تَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَ لَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَ أَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُوْنَ.

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma‘rūf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 110)

Dan sekaligus umat pilihan yang adil untuk menjadi saksi atas manusia (ummatan wasathan litakūna syuhadā’a lin-nās)

وَ كَذلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَ يَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا وَ مَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَنقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَ إِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللهِ وَ مَا كَانَ اللهُ لِيُضِيْعَ إِيْمَانَكُمْ إِنَّ اللهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌ.

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasūl (Muḥammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan qiblat yang menjadi qiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasūl dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. al-Baqarah [2]: 143).

Agama mereka pun merupakan agama yang tidak tertanding dalam semua aspek sebagaimana ditegaskan oleh Nabi s.a.w.:

و قال: الْإِسْلَامُ يَعْلُوْ وَ لَا يُعْلَى عَلَيْهِ. (صحيح البخاري، 1/ 454)

Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih darinya.” (Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, juz 1, halaman: 454).

Hal ini sekaligus mengandung arti bahwa umat Islam juga tidak tertandingi. Kenyataanya, hingga saat ini umat Islam masih terpuruk dan lebih banyak menjadi penonton daripada pemain di panggung peradaban.

Pernyataan al-Qur’ān:

كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَ اللهُ مَعَ الصَّابِرِيْنَ.

Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan idzin Allah. dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” ( QS. al-Baqarah [2]: 249).

Justru sekarang lebih banyak berlaku untuk umat yang lain daripada umat Islam sendiri yang notabene merupakan mayoritas. Hal ini tiada lain karena umat Islam hanya terpaku pada formalitas agama (fikih atau syarī‘ah dalam arti sempit) yang saat ini justru selalu menjadi sumber khilafiah berkepanjangan.

Pada umumnya mereka mengamalkan syarī‘ah tanpa melibatkan tharī‘qah, padahal di dalam tarekat sebagaimana ditegaskan dan dibuktikan oleh al-Mukarram Sa‘īd Syaikh Prof. Dr. H. Kadirun Yahya-tersembunyi apa yang oleh beliau disebut “teknologi al-Qur’ān,” suatu teknologi yang mampu melahirkan energi ketuhanan yang maha dahsyat sebagai sumber senjata untuk mengusir Iblīs la‘natullāh, musuh paling nyata setiap mu’min, sehingga pada gilirannya mereka mampu menegakkan shalat al-khāsyi‘īn yang juga menjadi kunci mutlak kemenangan itu sendiri.

Syarī‘at, tharīqah, dan ḥaqīqah adalah tiga hal yang memiliki hubungan yang sangat kuat, yang salah satu dari ketiganya tidak bisa diabaikan.

Ibarat lautan yang di dalamnya terdapat mutiara yang amat besar dan indah. Untuk bisa mencapai dan mengambil mutiara tersebut, tentu kita membutuhkan kapal. Untuk mencapai dan memperoleh mutiara ḥaqīqah itu, kita butuh kapal syarī‘at untuk mengarungi lautan tharīqah dengan selamat.

Perumpamaan lainnya, syarī‘at adalah pohon, tharīqah adalah dahannya, dan ḥaqīqah adalah buahnya. Barang siapa hidup hanya ber-syarī‘at tanpa ber-ḥaqīqah, maka sia-sia. Barang siapa hanya ber-ḥaqīqah tanpa ber-syarī‘at, maka kerusakan baginya. Lebih jelasnya hal ini termaktub dalam kitab Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 408-409

Dalam sebuah syair disebutkan:

فَشَرِيْعَةٌ كَسَفِيْنَةٍ وَ طَرِيْقَةٌ كَالْبَحْرِ وَ حَقِيْقَةٌ دُرٌّ غَلَا

Syarī‘at bagaikan kapal, tharīqah bagaikan lautan, dan hakikat bagaikan intan yang mahal.” (Kifāyat-ul-Atqiyā’, halaman: 9)

Dalam kitab Jāmi‘-ul-Ushūli fil-Auliyā’, halaman 324 disebutkan pula bahwa orang-orang ahli zhāhir adalah mereka yang ahli syarī‘at, dan orang-orang ahli bāthin adalah mereka yang ahli ḥaqīqah. Keduanya menetapi ḥaqīqah, karena jalan menuju Allāh al-Ḥaqq di dalamnya terdapat hal yang zhāhir dan yang bāthin. Yang zhāhir dari jalan itu adalah syarī‘at, dan bāthinnya adalah ḥaqīqah. Bagian inti ḥaqīqah terdapat dalam syarī‘at, layaknya bagian inti dari keju itu terdapat pada susu. Tanpa adanya kemurnian susu, maka tak akan terbentuk keju.

Dengan demikian, maksud dari ḥaqīqah dan syarī‘at adalah melaksanakan ‘ubūdiyyah dengan cara yang diridhai. Tiap syarī‘at yang tidak disertai ḥaqīqah, maka syarī‘at itu rusak. Dan tiap ḥaqīqah yang tidak disertai syarī‘at, maka ḥaqīqah itu batal. Syarī‘at itu benar, dan ḥaqīqah itu adalah ḥaqīqah bagi syarī‘at. Syarī‘at adalah menjalankan perintah Allāh, dan ḥaqīqah adalah menyaksikan (dengan dzāt Allāh) dalam perintah-Nya. (Jāmi‘-ul-Ushūli fil-Auliyā’, halaman: 324)

Tharīqah, Jalan Menuju Ma‘rifat

Pengamalan tharīqah akan membuahkan apa yang disebut dengan ḥaqīqah, dan jalan tritunggal syarī‘at-tharīqah-ḥaqīqah, pada gilirannya akan membuahkan al-ma’rifatu billāh (mengenal Allāh) yang oleh Nabi s.a.w. disebut sebagai “pangkal ilmu” (Ra’s-ul-‘Ilm) (Musnad al-Rabī‘, halaman: 311), bahkan juga “pangkal harta atau modal “ (Ra’s-ul-Māl). (Kasyf-ul-Khafā’, juz 2, halaman: 7), semuanya tertuang secara ringkas dalam sabda Nabi s.a.w.:

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ، وَ الطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ، وَ الْحَقِيْقَةُ حَالِيْ، وَ الْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

1532: Syarī‘ah adalah perkataanku, tarekat adalah perbuatanku, haqiqah adalah keadaan (batin)-ku, dan marifah adalah pangkal harta (modal)-ku.” (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman :7).

Mengenal Allāh (al-ma‘rifatu billāh) merupakan tujuan utama penciptaan makhluk. Dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan:

كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيًّا فَأَحْبَبْتُ أَنْ أُعْرَفَ فَخَلَقَتُ الْخَلْقَ لِيَعْرِفُوْنِيْ

Dulu Aku adalah mutiara yang tersembunyi, lalu Aku ingin dikenal; maka Kuciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.” (Abjad-ul-‘Ulūm, Juz 2, halaman: 159).

Menurut al-Qārī isi Hadits tersebut sesuai dengan firman Tuhan:

وَ مَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَ الْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ.

Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. adz-Dzāriyāt, 51:56)

Ungkapan li ya‘budūnī atau “agar mereka mengabdi kepada-Ku” oleh Ibn ‘Abbās ditafsirkan dengan li ya‘rifūnī yaitu agar mereka mengenal-Ku’, (Kasyf-ul-Khafā, juz 2, halaman: 173).

وقال مجاهد: إلا ليعرفوني. وَ هذَا أَحْسَنُ لِأَنَّهُ لَوْ لَمْ يَخْلُقْهُمْ لَمْ يُعْرَفْ وُجُوْدُهُ وَ تَوْحِيْدُهُ، (تفسير البغوي، ج 7 ، ص: 380)

Penafsiran li ya‘budūnī dengan li ya‘rifūnī dikemukakan juga oleh para mufassir lainnya seperti Mujāhid yang dikutip oleh al Tsa‘ālabī dalam Jawāhir-ul-Ḥisāni fī Tafsīr-il-Qur’ān, al-Baghawī dalam Ma‘ālim-it-Tanzīl, dan al-Qurthubī dalam al-Jāmi‘u li Aḥkām-il-Qur’ān, Abū-s-Su‘ūd dalam Tafsīr-nya, Ibn Juraij yang dikutip oleh Ibn Katsīr dalam Tafsīr-nya, dan juga Imām al-Alūsī dalam Rūḥ-ul-Ma‘ānī.

Mengenal Allāh s.w.t. merupakan keharusan bagi seorang hamba yang ingin kembali kepada-Nya. Mengenal Allāh s.w.t. juga berarti mengenal jalan kembali kepada-Nya. Jalan kembali ini pulalah yang sebenarnya juga disebut dengan tharīqah, yaitu jalan yang memang disiapkan secara khusus untuk ditempuh oleh hati (qalb), jiwa (nafs) atau ruh (rūḥ), tiga istilah yang menunjuk kepada satu makna yang dalam bahasa Imām al-Ghazālī disebut dengan lathīfatu rabbāniyyah (yaitu Dzāt Maha Halus yang dinisbatkan kepada Allāh s.w.t.). (Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, juz 3, halaman: 3-4)

Dzāt yang sangat halus tersebut adalah unsur yang asal penciptaannya berasal dari Allāh s.w.t sebagaimana tersirat dari firman Allāh s.w.t. “nafakhtu fīhi min rūḥī” (setelah Kutiupkan kepadanya sebagian ruh-Ku).

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَ نَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ

Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya rūḥ (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. al-Ḥijr [15]: 29).

فَقَعُوْا لَهُ سَاجِدِيْنَ.

Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya.”(QS. Shād [38]: 72).

Unsur inilah yang mampu mencapai prestasi al-ma‘rifatu billāh (mengenal Allāh) dan ia pulalah yang kelak kembali ke “asal”-nya (Allāh ‘azza wa jalla).

Persoalan mengenal Allāh s.w.t. dan jalan kembali kepada-Nya ini sudah harus diselesaikan di dunia ini. Jika di dunia seseorang tidak mengenal Allāh s.w.t. dan jalan kembali kepada-Nya, maka ia tidak akan pernah, setidak-tidaknya sangat sulit untuk kembali kepada Tuhannya; artinya, ia tidak akan masuk ke dalam golongan yang dipanggil oleh Allāh s.w.t. dengan firman-Nya:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً. فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ. وَ ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ.

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, serta masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. al-Fajr [89]: 27-30).

Dalam kaitan ini pulalah Allāh s.w.t. menegaskan:

وَ مَنْ كَانَ فِيْ هـذِهِ أَعْمَى فَهُوَ فِي الْآخِرَةِ أَعْمَى وَ أَضَلُّ سَبِيلًا.

Barang siapa di dunia buta (mata bāthinnya), maka dia di akhirat akan lebih buta lagi dan tersesat jalannya.” (QS. al-Isrā’ [17]: 72)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *