01-7 Allah SWT Yang Haq – Risalah Qusyairiyah

Dari Buku: RISALAH QUSYAIRIYAH (INDUK ILMU TASAWUF)
(Judul Asli: Ar-Risālat-ul-Qusyairiyyatu fi ‘Ilm-it-Tashawwuf)
Oleh: Imam al-Qusyairy an-Naisabury
Penerjemah: Mohammad Luqman Hakiem, MA - Editor: Tim Risalah Gusti
Penerbit: Risalah Gusti.

Rangkaian Pos: 001 Prinsip-prinsip Tauhid Dalam Pandangan Kaum Sufi | Risalah Qusyairiyah

BAB I

PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI

(Bagian 7 dari 7)

 

 

ALLAH S.W.T. YANG ḤAQQ

Para Syaikh dari tharīqat ini mengatakan soal tauhid: “Sesungguhnya Al-Ḥaqq adalah Maujūd, Qadīm, Esa, Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha kasih, Maha Menghendaki, Maha Mendengar, Maha Agung, Maha Luhur, Maha Bicara, Maha Melihat, Maha Besar, Maha Hidup, Maha Tunggal, Maha Abadi dan segalanya bergantung kepada-Nya.

Allah Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Maha Kuasa dengan sifat Qudrat, Maha Menghendaki dengan sifat Irādat, Maha Mendengar dengan sifat Sam‘, Maha Melihat dengan sifat Bashar, Maha Bicara dengan Kalām, Maha Hidup dengan Ḥayat, serta Maha Abadi dengan Baqā’.

Allah mempunyai Dua Hasta kekuasaan (Dua Yad) yang merupakan sifat-sifat yang dengannya menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Maha Suci Allah dari segala keharusan menentukan, dan hanya bagi-Nya wajah yang bagus.

Sifat-sifat Dzāt-Nya hanya khusus bagi Dzāt-Nya, Yang tidak disamai oleh segala ciptaan, dan tidak diserupai oleh semua makhluk.

Allah bukan jasad, materi, benda dan bukan sifat baru, tidak tergambar oleh khayal, tak terjangkau akal, tidak berpenjuru dan bertempat. Tiada waktu dan zaman yang berlaku bagi-Nya. Dan tidak ada penambahan dan pengurangan bagi sifat-sifatNya.

Allah tidak dikhususkan oleh bentuk, tidak dipotong oleh pangkal dan batas, tidak ditempati yang baru, tidak didorong ketika berbuat. Tiada warna dan tempat bagi-Nya, dan tidak ada pula pertolongan untuk menolong-Nya.

Dari kekuasaan-Nya tidak muncul yang terkira, dan dari hukum-Nya tidak diragukan oleh penyimpangan. Dari ilmu-Nya tidak tersembunyi oleh yang diketahui-Nya. Dan Dia tidak dicaci atas pekerjaan-Nya, bagaimana Dia mencipta dan apa yang di cipta. Tidak bisa dikatakan kepada-Nya: “Di mana Dia, dan bagaimana Dia?” Dan wujud pun tidak akan berupaya membuka-Nya, sehingga muncul kata-kata: “Kapan ada?” Keabadian-Nya tidak ada pangkalnya, sehingga dikatakan: “Melampaui kekinian dan zaman.” Tetapi Allah tidak bisa dikatakan: “Mengapa Dia berbuat terhadap sesuatu? Karena, tidak ada sebab langsung terhadap pekerjaan-Nya.

Allah juga tidak bisa dipertanyakan: “Apakah Dia?” karena Allah bukanlah jenis yang ditandai oleh sejumlah tanda bentuknya. Dia melihat bukan dengan cara berhadapan. Dan Dia melihat kepada selain Diri-Nya, bukan dengan penyerupaan. Dia mencipta, tidak dengan langsung dan mencoba-coba.

Dia memiliki Asmā’-ul-usnā dan Sifat-sifat Luhur. Dia melakukan sesuai dengan kehendak-Nya, dan memberi penghinaan kepada hamba-Nya lewat hukum-Nya. Dalam kerajaan-Nya tidak ada yang berjalan kecuali atas kehendak-Nya, dan tidak terjadi dalam kerajaan-Nya melainkan yang telah didahului qadhā’. Apa yang diketahui dari ciptaan-Nya, maka hak itu dikehendaki-Nya. Dan apa yang diketahui sebagai sesuatu yang tidak terjadi dari apa yang wenang, Dia berkehendak untuk tidak terjadi.

Allah adalah Pencipta rezeki hamba-hambaNya, kebaikan dan keburukan rezeki itu. Allah pula yang menciptakan alam dari materi dan submateri. Allah Yang Mengutus utusan untuk para ummat, bukan sebagai kewajiban bagi-Nya. Allah sebagai Dzat Yang disembah manusia melalui lisan para Nabi a.s, tidak seorang pun berpeluang untuk mencaci dan menentang-Nya. Dan Nabi kita Muḥammad s.a.w. ditetapkan melalui mukjizat yang nyata dan ayat-ayat yang cemerlang, yang tidak memberi keudzuran, dan memberi penjelasan meyakinkan serta mengenalkan mana yang mungkar. Khulafā’-ur-Rāsyidīn yang menjaga kemilaunya Islam setelah wafat Nabi s.a.w., selanjutnya dijaga oleh generasi yang memagari kebenaran dan penolongnya yang menjelaskan lewat hujjah agama melalui lisan para auliyā’-Nya. Ummat Nabi s.a.w. terjaga dari kesesatan ketika melakukan ijma‘. Dan rekayasa kebatilan sirna melalui dalil-dalil yang ditegakkan. Semuanya dilakukan oleh para pejuang agama, karena firman Allah s.w.t.:

لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَ لَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ

Agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meski pun orang-orang musyrik benci.” (ash-Shaff:9).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *