Masalah Keenam: Batasan mengusap kepala.
Para ulama telah sepakat bahwa mengusap kepala termasuk kefardhuan wudhū’, lalu mereka berbeda pendapat tentang batasan yang dianggap cukup.
1. Mālik berpendapat sesungguhnya yang wajib adalah mengusap semuanya.
2. Sementara Syāfi‘ī, sebagian pengikuti Mālikī dan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa yang fardhu adalah mengusap sebagian. Di antara pengikut Imām Mālik ada yang membatasinya dengan 1/3, ada pula yang membatasinya dengan 2/3, lalu Abū Ḥanīfah membatasi dengan 1/4, dan membatasi luas tangan yang digunakan untuk mengusap, dia berkata: “Bahwa mengusap dengan kurang dari tiga jari adalah tidak cukup (tidak sah)”, sementara Imām Syāfi‘ī tidak membatasi luas tangan, demikian pula yang luas, yang diusap.
Sebab perbedaan pendapat: Adanya isytirāk (ragam makna) pada huruf bā’ dalam bahasa ‘Arab, seperti firman Allah:
تَنْبُتُ بِالدُّهْنِ.
“Yang menghasilkan minyak.” (QS. al-Mu’minūn [23]: 20).
Terkadang mengandung makna zā’idah (tambahan) bagi orang yang membacanya dengan ungkapan (تُنْبِتُ), maksudnya dengan huruf tā’ yang di-dhammah-kan dan huruf bā’ yang di-kasrah-kan, yang diambil dari kata (أَنْبَتَ).
Terkadang menunjukkan makna sebagian seperti perkataan seseorang: (أَخَذْتُ بِثَوْبِهِ) “aku mengambil sebagian bajunya”, dan tidak ada alasan untuk mengingkari ungkapan seperti ini dalam bahasa ‘Arab (maksudnya, bahwa huruf bā’ mengandung makna sebagian), ini adalah pendapat ulama nahwu Kūfah.
Ulama yang berpendapat bahwa huruf bā’ adalah zā’idah, mereka mewajibkan mengusap semua kepala, padahal makna yang terkandung dalam zā’idah tersebut adalah penguat, sementara orang yang berpendapat menunjukkan sebagian, mereka mewajibkan sebagian kepala, mereka berargumentasi pula dengan hadits Mughīrah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ تَوَضَّأَ فَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَ عَلَى الْعِمَامَةِ.
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. berwudhū’, lalu mengusap depan kepala dan di atas serbannya.” (81) (HR. Muslim).
Jika kita mengakui bahwa huruf bā’ di sini mengandung makna Zā’idah, tetap saja ada kemungkinan lain, yaitu apakah yang wajib dibasuh itu permulaan kepala atau batas akhir yang bernama kepala.
Masalah Ketujuh: Jumlah (Tiga kali-tiga kali dalam berwudhū’).
Para ulama telah bersepakat bahwa membasuh anggota badan hanya wajib satu kali jika mencukupi, sementara yang kedua dan ketiga adalah sunnah, dengan dalil hadits shaḥīḥ:
أَنَّهُ تَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً.
“Bahwa beliau s.a.w. berwudhū’ satu kali-satu kali.” (92).
أَنَّهُ تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ.
“Bahwa beliau s.a.w. berwudhū’ dua kali-dua kali.” (103).
أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا.
“Bahwa beliau s.a.w. berwudhū’ tiga kali-tiga kali.” (114).
Dan karena sesungguhnya perintah hanya menuntut satu kali (maksudnya perintah membasuh dalam ayat wudhū’).
Lalu para ulama berbeda pendapat dalam jumlah mengusap kepala, apakah ada keutamaan dalam mengulanginya?
1. Imām Syāfi‘ī berpendapat bahwa barang siapa berwudhū’ tiga kali-tiga kali maka hendaknya ia pun mengusap kepala tiga kali.
2. Sementara kebanyakan para ulama fikih berpendapat tidak ada keutamaan dalam mengulang usapan kepala.
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam menerima tambahan yang ada pada satu hadits, jika diriwayatkan dari satu jalur periwayatan maka kebanyakan ulama tidak akan memandangnya, karena kebanyakan hadits yang menjelaskan bahwa Rasūlullāh s.a.w. berwudhū’ tiga kali-tiga kali datang dari hadits ‘Utsmān juga yang lainnya, dan dalam kebanyakan riwayat tersebut dinukil keterangan bahwa beliau hanya mengusap satu kali, padahal pada sebagian riwayat dari ‘Utsmān tentang tata cara wudhū’ Nabi s.a.w. diungkapkan:
أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَ السَّلَامُ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ثَلَاثًا.
“Sesungguhnya beliau s.a.w. mengusap kepalanya sebanyak tiga kali.” (125)
Imām Syāfi‘ī memperkuat wajibnya menerima tambahan ini dengan keumuman riwayat yang menjelaskan bahwa beliau s.a.w. berwudhū’ satu kali-satu kali, dua kali-dua kali, atau tiga kali-tiga kali, karena yang dipahami dari ungkapan ini – walaupun dari lafazh sahabat – adalah memahaminya untuk segenap anggota wudhū’, hanya saja riwayat tambahan tersebut tidak terdapat dalam ash-Shaḥīḥain, karenanya jika riwayat tersebut shaḥīḥ maka wajib diambil, dengan alasan bahwa sesuatu yang tidak dijelaskan maka bukanlah hujjah bagi yang menyebutkannya.
Kemudian kebanyakan ulama menetapkan wajib dalam memperbaharui air untuk mengusap kepala dengan landasan qiyas terhadap anggota wudhu’ yang lain, dan diriwayatkan dari Ibnu Majisyyūn, bahwa dia berkata: “Jika airnya sudah habis maka rambut diusap dengan basahan jenggot,” inilah pendapat yang dipilih oleh Ḥubaib, Mālik, dan Syāfi‘ī.
Dalam tata cara mengusap kepala dianjurkan mengawalinya dari depan kepala, lalu diusapkan sampai ke belakang kepala, kemudian membalikannya ke tempat semula, hal ini berdasarkan hadits shaḥīḥ dari ‘Abdullāh bin Zaid, (136) namun sebagian ulama memilih mengawalinya dari akhir, ini pun diriwayatkan dari tata cara wudhū’ beliau s.a.w. dari hadits Rubayyi‘ binti Mu‘awwidz, (147) hanya saja hadits tersebut tidak ada dalam ash-Shaḥīḥain.
Catatan: