01-5 Dasar al-Qur’an – Sabil-us-Salikin

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik
Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf

 
Tim Penyusun:
Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk
Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan
 
Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Rangkaian Pos: 001 Islam - Tashawwuf & Thariqah - Sabil-us-Salikin

Dasar al-Qur’ān

Al-Qur’ān dan as-Sunnah adalah nash. Setiap muslim kapan dan di mana pun dibebani tanggung-jawab untuk memahami dan melaksanakan kandungannya dalam bentuk amalan yang nyata. Pemahaman terhadap nash tanpa pengamalan akan menimbulkan kesenjangan. Ketika ditanya tentang akhlak Rasūlullāh, ‘Ā’isyah menyawab: “al-Qur’ān”.

Para sahabat dikenal sebagai orang-orang yang banyak menghafalkan isi al-Qur’ān dan kemudian menyebarkannya kepada yang lain dengan disertai pengamalan atau penjiwaan terhadap isinya. Mereka berusaha menerapkan akhlak atau perilaku mereka dengan mencontoh akhlak Rasūlullāh, yakni akhlak al-Qur’ān.

Dalam hal inilah, tashawwuf, pada awal pembentukannya adalah manifestasi akhlak atau keagamaan. Moral keagamaan ini banyak disinggung dalam al-Qur’ān dan as-Sunnah. Dengan demikian, sumber pertama tashawwuf adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tashawwuf ditimba dari al-Qur’ān, as-Sunnah, dan amalan-amalan serta ucapan para sahabat. Amalan serta ucapan para sahabat tentu saja tidak keluar dari ruang lingkup al-Qur’ān dan as-Sunnah. Dengan begitu, justru dua sumber utama tashawwuf adalah al-Qur’ān dan as-Sunnah itu sendiri.

Abū Nashr as-Sarrāj ath-Thūsī, dalam kitabnya aI-Luma‘ menjelaskan bahwa dari al-Qur’ān dan as-Sunnah itulah, para sufi pertama-tama mendasarkan pendapat-pendapat mereka tentang moral dan tingkah laku, kerinduan dan kecintaan pada Ilahi, dan ma‘rifat, suluk (jalan), dan juga latihan-latihan rohaniah mereka. Itu semua mereka susun demi terealisasinya tujuan kehidupan mistis. Lebih lanjut, Ath-Thūsī mengemukakan bagaimana para sufi secara khusus lebih menaruh perhatian terhadap moral luhur serta sifat dan amalan utama. Hal ini demi mengikuti Nabi, para sahabat, serta orang-orang setelah mereka. Ini semua, menurut ath-Thūsī, ilmunya dapat disimak dalam kitab Allāh s.w.t., yakni al-Qur’ān.

Al-Qur’ān merupakan Kitab Allāh yang di dalamnya terkandung muatan-muatan ajaran Islam, baik aqidah, syarī‘ah maupun mu‘āmalah. Ketiga muatan tersebut banyak tercermin dalam ayat-ayat yang termaktub dalam al-Qur’ān. Ayat-ayat al-Qur’ān itu, di satu sisi memang ada yang perlu dipahami secara tekstual-lahiriah, tetapi di sisi lain juga ada hal yang perlu dipahami secara kontekstual-rohaniah. Sebab, jika ayat-ayat al-Qur’ān dipahami secara lahiriah saja, akan terasa kaku, kurang dinamis, dan tidak mustahil akan ditemukan persoalan yang tidak dapat diterima secara psikis.

Secara umum, ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang bersifat batiniah pada gilirannya melahirkan tashawwuf. Unsur kehidupan tashawwuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’ān dan as-Sunnah, serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’ān antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dapat saling mencintai (maḥabbah) dengan Allāh s.w.t. Hal ini misalnya sebagaimana difirmankan Allāh s.w.t. dalam al-Qur’ān:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَ يُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِيْنَ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ لَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ، (المائدة : 54)

Hai orang-orang yang beriman barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allāh akan mendatangkan suatu kaum yang Allāh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang berjihad dijalan Allāh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allāh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allāh Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Mā’idah [5]: 54)

Dalam al-Qur’ān, Allāh pun memerintahkan manusia agar senantiasa bertobat, membersihkan diri, dan memohon ampunan kepada-Nya sehingga memperoleh cahaya dari-Nya.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا تُوْبُوْا إِلَى اللهِ تَوْبَةً نَصُوْحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَ يُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللهُ النَّبِيَّ وَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَعَهُ نُوْرُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيْهِمْ وَ بِأَيْمَانِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَ اغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ، (التحريم: 8)

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allāh dengan tobat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allāh tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman bersama dengan dia sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”.” (Q.S. at-Taḥrīm [66]: 8)

Al-Qur’ān pun menegaskan tentang keberadaan Allāh s.w.t. di mana pun hamba-hambaNya berada. Hal ini sebagaimana ditegaskannya:

وَ للهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ إِنَّ اللهَ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ، (البقرة: 115)

Dan kepunyaan Allāh-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allāh. Sesungguhnya Allāh Maha Luas (Rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui).” (QS. al-Baqarah [2]: 115)

Bagi kaum sufi, ayat di atas mengandung arti bahwa di mana saya ada, di situ pula Tuhan dapat dijumpai. Allāh s.w.t. pun akan memberikan cahaya kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, sebagaimana firman-Nya:

اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ مَثَلُ نُوْرِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَ لَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْءُ وَ لَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُوْرٌ عَلَى نُوْرٍ يَهْدِي اللهُ لِنُوْرِهِ مَنْ يَشَاءُ وَ يَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ وَ اللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ، (النور: 35)

Allāh (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allāh adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dan pohon yang banyak berkahnya, yaitu (pobon) Zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di alas cahaya (berlapis-lapis), Allāh membimbing kepada cahaya-Nya, siapa yang Dia kehendaki, dan Allāh membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allāh Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. an-Nūr [24]: 35)

Allāh s.w.t. pun memberikan penjelasan tentang kedekatan manusia dengan-Nya, seperti disitir dalam firman-Nya:

وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ ،(البقرة: ١٨٦)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah [2[: 186)

Kata “da‘a” dalam ayat itu tidak diartikan sebagai berdoa oleh kalangan sufi, tetapi berseru dan memanggil. Dasar-dasar tashawwuf ini ternyata banyak ditemukan dalam al-Qur’ān.

Lebih dari itu, pada ayat 16 dari Surat Qāf, Allāh s.w.t. menjelaskan:

وَ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَ نَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَ نَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ، (ق: ١٦)

Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” (QS. Qāf [50]: 16)

Berdasarkan ayat di atas, kebanyakan kalangan sufi berpendapat bahwa untuk mencari Tuhan, manusia tak perlu pergi jauh-jauh. Ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri. Lebih jauh lagi, Harun Nasution menegaskan bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia.

Al-Qur’ān pun mengingatkan manusia agar tidak diperbudak kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan. Hal ini sebagaimana difirmankan Allāh s.w.t:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَ لَا يَغُرَّنَّكُم بِاللهِ الْغَرُوْرُ، (فاطر: ٥)

Hai manusia, sesungguhnya janji Allāh adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allāh.” (QS. Fāthir [35]: 5)

Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat di atas menjadi salah satu dasar untuk mejauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan. Selanjutnya, kalau kita teliti lebih mendalam semua tingkatan (maqāmāt) dan keadaan (aḥwāl) yang dilalui para sufi (yang pada dasarya merupakan objek tashawwuf), landasannya akan banyak ditemukan dalam al-Qur’ān. Berikut ini akan dikemukakan ayat-ayat al-Qur’ān yang menjadi landasan sebagian maqāmāt dan aḥwāl para sufi. Di antaranya adalah:

  1. Tingkatan zuhud misalnya (yang banyak diklaim sebagai awal mula berangkatnya tashawwuf), telah dijelaskan dalam al-Qur’ān:

قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌ وَ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى، (النساء: 77)

Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa”.” (QS. an-Nisā’ [4]: 77)

  1. Tingkatan taqwa berlandaskan pada firman Allāh s.w.t.:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ، (الحجرات: ١٣)

Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allāh ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allāh Maha Mengetahui, lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Ḥujurāt [49]: 13)

  1. Tingkatan tawakkal, menurut para sufi, berlandaskan pada firman-firman Allāh s.w.t. berikut:

وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا، (الطلاق: ٣)

Dan barang siapa bertawakal kepada Allāh, niscya Allāh mencukupkan (keperluan)-nya.” (QS. ath-Thalāq [65]: 3)

عَلَيْهِ يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُوْنَ، (الزمر: ٣٨)

Dan hanya kepada Allāh orang-orang yang beriman itu bertawakal” (QS. al-Zumar, 39:38)

  1. Tingkatan syukur antara lain berlandaskan kepada firman Allāh s.w.t. berikut ini:

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ ،( إبراهيم:٧)

Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambahkan (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrāhīm [14]: 7)

  1. Tingkat sabar berlandaskan pada firman Allāh s.w.t. berikut ini:

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ وَ اسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَ سَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِالْعَشِيِّ وَ الْإِبْكَارِ، ( غافر:٥٥)

Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allāh itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (QS. Ghāfir [40]: 55)

وَ بَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ، (البقرة: 155)

Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah, 2:155)

  1. Tingkatan rela (ridhā) berdasarkan pada firman Allāh s.w.t. berikut ini:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا عَنْهُ (المائدة:119)

Allāh rela terhadap mereka, dan mereka pun rela terhadap-Nya.” (QS. al-Mā’idah [2]: 119)

  1. Tingkatan cinta berdasarkan pada firman Allāh s.w.t. berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَ يُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِيْنَ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَ لَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لآئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ، (المائدة: 54)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allāh akan mendatangkan suatu kaum yang Allāh mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allāh, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allāh, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allāh Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-Mā’idah [5]: 54).

  1. Tingkatan malu berdasarkan pada firman Allāh s.w.t. berikut ini:

أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللهَ يَرَى، (العلق:١٤)

Tidakkah dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allāh melihat segala perbuatannya?”. (QS. al-‘Alaq [96]: 14)

  1. Mujāhadat-un-Nafs (memerangi nafsu) berdasarkan pada firman Allāh s.w.t. berikut ini:

وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَ نَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى، (النزعات: ٤١)

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya).”(QS. an-Nāzi‘āt [79]: 40-41)

وَ مَا أُبَرِّئُ نَفْسِيْ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوْءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّيَ إِنَّ رَبِّيْ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ، ( يوسف: ٥٣)

Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yūsuf [12]: 53)

  1. Aḥwāl shūfī:

وَ لَا تُفْسِدُوْا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَ ادْعُوْهُ خَوْفًا وَ طَمَعًا إِنَّ رَحْمَتَ اللهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ، (الأعراف: ٥٦)

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allāh) memperbaikinya dan berdoʻalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allāh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-A‘rāf [7]: 56)

مَنْ كَانَ يَرْجُوْ لِقَاء اللهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللهِ لَآتٍ وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ، (الأنكبوت: ٥)

Barang siapa yang mengharap pertemuan dengan Allāh, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allāh itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. al-‘Ankabūt [29]: 5)

وَ قَالُوا الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ إِنَّ رَبَّنَا لَغَفُوْرٌ شَكُوْرٌ، (فاطر: ٣٤)

Dan mereka berkata: “Segala puji bagi Allāh yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”.” (QS. Fāthir [39]: 34)

Demikianlah, sebagian ayat al-Qur’ān yang dijadikan sebagai landasan dan dasar kaum sufi dalam melaksanakan praktik-praktik kesufiannya. Akan terlalu panjang uraiannya jika semua pengertian psikis serta moral yang diungkapkan para sufi tentang maqāmāt dan aḥwāl, dicarikan rujukannya dalam al-Qur’ān. Namun, siapa saja yang berminat mengkaji masalah ini secara mendalam dapat membacanya dalam karya-karya para sufi, seperti ar-Risālah al-Qusyairiyah karya Imām al-Qusyairī, al-Luma‘ karya Syaikh ath-Thūsī, dan Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn karya Imām al-Ghazālī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *