1-2-2 Masalah #4 & 5 – Tata Cara Berwudhu’ – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 001 & 002 Pembahasan Tentang Bersuci Dari Hadats & Kitab Wudhu' - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah Keempat: Batasan membasuh muka.

Para ulama telah sepakat bahwa membasuh muka secara umum termasuk rukun wudhū’, berdasarkan firman Allah:

فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ.

Maka basuhlah mukamu.” (QS. al-Mā’idah [5]: 6).

Mereka berbeda pendapat pada tiga masalah membasuh bagian antara jambang dengan telinga, membasuh jenggot yang terurai dan mereraikannya.

Pendapat yang masyhur di kalangan madzhab Mālik, bahwa kulit tidak berbulu antara jambang dan telinga termasuk wajah, dalam madzhab itu pun diungkapkan adanya perbedaan antara orang yang tidak berjenggot dengan yang berjenggot, jadi dalam madzhab Mālikī ada tiga pendapat. Sementara Abū Ḥanīfah memasukkannya ke dalam bagian wajah.

Adapun jenggot yang terurai, Imām Mālik berpendapat wajib mengucurkan air kepadanya, sementara Abū Ḥanīfah tidak mewajibkannya, demikian pula Syāfi‘ī dalam salah satu pendapatnya.

Sebab perbedaan pendapat dalam dua masalah ini adalah ketidakjelasan apakah wajah mencakup dua tempat ini atau tidak. Adapun menyelah-nyelahi jenggot, madzhab Mālikī berpendapat bahwa hal itu tidak wajib, ini pun dikatakan oleh Abū Ḥanīfah dan Syāfi‘ī, sementara Ibnu ‘Abd-il-Ḥakīm dan pengikut Mālik mewajibkannya.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam ke- shaḥīḥ-an riwayat yang memberikan perintah untuk menyelah-nyelahi jenggot, bahkan kebanyakan dari atsar tersebut tidak shaḥīḥ, selain itu riwayat-riwayat shaḥīḥ yang menjelaskan tata cara wudhū’ Rasūlullāh s.a.w. tidak menjelaskan penyelah-nyelahan jenggot.

 

Masalah Kelima: Batasan membasuh kedua tangan.

Para ulama bersepakat bahwa membasuh kedua tangan dan kedua siku hukumnya fardhu dalam berwudhū’, berdasarkan firmna Allah:

وَ أَيْدِيْكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ.

Dan tanganmu sampai dengan siku.” (QS. al-Mā’idah [5]: 6).

Para ulama berbeda pendapat dalam membasuh siku:

1. Jumhur ulama, yakni Imām Mālik, Syāfi‘ī dan Abū Ḥanīfah berpendapat wajib membasuhnya.

2. Ahlu zhahir dan sebagian ulama di kurun terakhir dari kalangan pengikut Mālik, juga ath-Thabarī berpendapat tidak wajib membasuhnya.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam memahami isytirāk (ragam makna) pada huruf (إِلَى) dan kata (الْيَدِ) dalam bahasa ‘Arab.

Maksudnya huruf (إِلَى) terkadang bermakna sampai, dan terkadang bermakna beserta, demikian pula “tangan” dalam bahasa ‘Arab mengandung tiga makna: telapak tangan saja, telapak tangan beserta siku, telapak tangan beserta siku dan lengan atas.

Ulama yang berpendapat bahwa (إِلَى) di sini maknanya beserta, atau memahami bahwa yang dimaksud dengan (الْيَدِ) adalah tiga anggota di atas, mereka berpendapat bahwa siku wajib dibasuh.

Adapun ulama yang memahami bahwa (إِلَى) di sini maknanya sampai, dan melihat bahwa yang dimaksud (الْيَدِ) adalah yang di bawah lengan, mereka pun berpendapat bahwa batasan ini tidak masuk ke dalam bagian yang dibatasi, jadi mereka tidak mewajibkan membasuh siku.

Muslim meriwayatkan dalam Kitāb Shaḥīḥ-nya dari Abū Hurairah:

أَنَّهُ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي الْعَضَدِ، ثُمَّ الْيُسْرَى كَذلِكَ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى حَتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقِ، ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى كَذلِكَ، ثُمَّ قَالَ: هكَذَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.

Bahwa beliau s.a.w. membasuh tangan kanannya hampir ke lengan atasnya, kemudian tangan kiri seperti demikian, kemudian membasuh kaki kanannya hampir ke betis, kemudian membasuh yang kiri seperti demikian, Abū Hurairah berkata: “Demikianlah aku melihat Rasūlullāh s.a.w. berwudhū’.” (71).

Ini adalah hujjah bagi kelompok yang mewajibkan membasuh siku, karena jika ada satu lafazh mengandung dua makna, maka kita tidak boleh mengambil salah satunya kecuali ketika ada dalil yang menentukannya, walaupun pada dasarnya lafazh (إِلَى) dalam bahasa ‘Arab lebih zhahir mengandung makna sampai daripada beserta, demikian pula (الْيَدِ) lebih zhahir mengandung makna sesuatu yang ada di bawah lengan atas daripada sesuatu yang ada di atas lengan atas.

Walhasil, orang yang tidak mewajibkannya lebih kuat dari sisi petunjuk lafazh, sementara yang mewajibkannya lebih jelas dari sisi atsar, kecuali jika atsar tersebut dipahami mengandung makna sunnah.

Jadi, masalah ini bersifat muḥtamal (mengandung banyak kemungkinan) sebagaimana anda lihat. Yang lain berpendapat jika batasan ini termasuk jenis yang dibatasi maka ia masuk ke dalam hukumnya.

Catatan:


  1. 7). Shaḥīḥ. HR. Muslim (246), Aḥmad (2/400) dengan lafazh yang sama, dan al-Baihaqī (1/57). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *