Prof. Dr. H. S.S. Kadirun Yaḥyā Al-Khālidī menyatakan, tashawwuf adalah “saudara kembar” fikih. Fikih pada hakikatnya merupakan formulasi lebih lanjut dari konsep Islam, sementara tashawwuf merupakan perwujudan kongkret dari konsep iḥsān. Dua konsep ini tercetus bersama-sama dengan konsep iman (diformulasikan lebih jauh dalam ilmu kalam).
Konsep iman itu tampak dalam dialog antara Jibrīl a.s. dan Nabi s.a.w., sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abū Hurairah yang sangat terkenal, (Shaḥīḥ-ul-Bukhārī, juz 1, halaman: 31, nomor hadits 50):
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيْلُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ: أَخْبَرْنَا أَبُوْ حَيَّانَ التَّيْمِيُّ، عَنْ أَبِيْ زَرْعَةَ، عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ، فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ فَقَالَ: مَا الْإِيْمَانُ؟ قَالَ: (الْإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَ مَلَائِكَتِهِ وَ بِلِقَائِهِ وَ رُسُلِهِ وَ تُؤْمِنَ بِالْبَعْثِ)، قَالَ: مَا الْإِسْلَامُ؟ قَالَ: (الْإِسْلَامُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَ لَا تُشْرِكَ بِهِ، وَ تُقِيْمَ الصَّلَاةَ، وَ تُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوْضَةَ، وَ تَصُوْمَ رَمَضَانَ)، قَالَ: مَا الْإِحْسَانُ؟ قَالَ: (أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ)، قَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ قَالَ: (مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ، وَ سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْأَمَّةُ رَبَّهَا، وَ إِذَا تَطَاوَلَ رُعَاةُ الْإِبْلِ الْبُهْمُ فِي الْبُنْيَانِ، فِيْ خَمْسٍ لَا يَعْلَمُهُنَّ إِلَّا اللهُ)، ثُمَّ تَلَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ} [لقمان: 34] الآيَةَ، ثُمَّ أَدْبَرَ فَقَالَ: (رُدُّوْهُ). فَلَمْ يَرَوْا شَيْئًا، فَقَالَ: (هذَا جِبْرِيْلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِيْنَهُمْ)
Penjelasan lebih gamblang mengenai posisi tashawwuf sebagai “saudara kembar” fikih, dikemukakan oleh Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka dalam bukunya Tashawwuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Hamka mengatakan, kemurnian dan cita-cita Islam yang tinggi adalah gabungan tashawwuf dan fikih, gabungan hati dan otak. Dengan fikih kita menentukan batas-batas hukum, dan dengan tashawwuf kita memberi pelita dalam jiwa, sehingga tidak terasa berat di dalam melakukan segala kehendak agama.
Kalau kita tilik kepada bunyi hadits tentang islam, iman, dan iḥsān, tampaklah bahwa ketiga ilmu (dalam) Islam yaitu fikih, ushūl-ud-dīn, dan tashawwuf telah dapat menyempurnakan ketiga simpulan agama itu (islam, iman, iḥsān). Islam diartikan mengucapkan syahadat, mengerjakan salat lima waktu, puasa bulan Ramadhān, mengeluarkan zakat, dan naik haji. Agar kita dapat mengerjakan perintah agama dengan tidak membuta, kita pelajarilah fikih.
“Iman adalah beriman kepada Allāh s.w.t., malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, dan kepada hari qiamat serta takdir, buruk maupun baik. Kita pelajarilah ushuluddin atau ilmu kalam. Iḥsān adalah kunci semuanya, yaitu bahwa kita mengabdi kepada Allāh s.w.t., seakan-akan Allāh s.w.t. berada di hadapan kita. Meski mata kita tidak dapat melihat-Nya, namun Allāh s.w.t. tetap melihat kita. Untuk menyempurnakan iḥsān itu, kita masuki alam tashawwuf. Itulah tali berpilah tiga: iman, islam, iḥsān, yang dicapai dengan tiga ilmu:fikih, ushūl-ud-dīn, dan tashawwuf” (Tashawwuf Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 94-95).
Jadi, sebagai sebuah ilmu, posisi tashawwuf terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tashawwuf merupakan bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan syarī‘ah. Tashawwuf bahkan merupakan ruh, hakikat, dan inti dari syarī‘ah. Syarī‘ah sendiri – merujuk al-Qur’ān dan al-Hadits – dapat didefinisikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari diri Nabi s.a.w., yang berupa sikap, perbuatan, dan perkataan. Dalam bahasa yang lebih umum, syarī‘ah adalah segala sesuatu yang datang dari Allah s.w.t. dan Rasūl-Nya. Namun begitu, syarī‘ah pada dasarnya merupakan produk dari hakikat Muḥammad sebagai Nabi dan Rasūl Allah s.w.t..
Adalah mustahil memahami syarī‘ah (sebagai produk) secara sempurna tanpa memahami hakekatnya. Ilmu yang menyajikan jalan untuk mengenal hakikat ini adalah tashawwuf, sedangkan ilmu-ilmu (keislaman) lainnya, seperti ilmu fiqih dan Hadits, semuanya menyajikan jalan untuk memahami produk. Tashawwuf melibatkan hati atau qalbu (ruhani), sedangkan ilmu-ilmu lainnya melibatkan otak atau akal (jasmani). (Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 406-407, ash-Shiddīq wat-Taḥqīq, halaman: 177).
Fikih dan tashawwuf ibarat dua sisi mata uang. Jika salah satu rusak maka yang lain menjadi tidak berfungsi, sehingga kedua-duanya harus dipegang secara utuh untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kaitan ini, Imām Abū ‘Abdillāh adz-Dzahabī (w. 748 H), penulis kitab Siyar A‘lam an-Nubalā’ (Beirut: Mu’assasat-ur-Risālah, 1413) yang terdiri dari 23 jilid menegaskan: “Jika seorang ‘ulamā’ tidak bertashawwuf, maka ia kosong, sebagaimana jika seorang sufi tidak mengenal sunnah (bersyarī‘at), maka ia tergelincir dari jalan yang lurus”.
Imām Mālik ibn Anas, pemimpin madzhab Mālikī yang sangat terkenal, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Amīn al-Qurdhī, juga mengungkapkan hal senada: “Barang siapa yang bersyarī‘at tetapi tidak berhakikat (bertashawwuf) maka ia telah fasiq; dan barang siapa yang berhakikat (bertashawwuf) tetapi tidak bersyarī‘at maka ia telah zindiq”, (Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 408).
Di samping itu, tidak salah apabila dikatakan bahwa tashawwuf adalah sebuah madzhab sebagaimana ilmu fikih yang mengenal (minimal) empat madzhab, sehingga tidak jarang para ulama melibatkan pendapat kaum sufi ketika membahas hukum suatu perkara. Syaikh al-Islām Ibn Taimiyah menempatkan kaum sufi dalam deretan fuqahā’ (ahli fikih) dan ahli Hadits. Hal ini dapat disimak misalnya dari pernyataannya ketika menetapkan hukum larangan menikahi orang yang menolak kekhalifahan Sayyidinā ‘Alī setelah ‘Utsmān Ibn ‘Affān r.a.. Hal itu (larangan menikahi orang yang tidak menerima kekhalifahan ‘Alī bin Abī Thālib) telah disepakati oleh para fuqahā’, ahli Hadits, dan juga oleh ahli ma‘rifat dan tashawwuf, (Majmū‘-ul-Fatāwā, juz 28, halaman: 211-212): (وَ لَا يَحِلُّ نِكَاحُ نِسَائِهِمْ)
Syaikh Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah adalah sepasang guru-murid yang mendukung dan mengakui kebenaran tashawwuf sebagai ilmu yang dapat membersihkan jiwa.
Ibn Taimiyah menyebut para sufi dengan sebutan ahlu ‘ulūm-il-qulūb (pakar-pakar ilmu hati) yang perkataanya paling tepat dan paling baik realisasinya (asaddu wa ajwadu taḥqīqan) serta paling jauh dari bid‘ah (ab‘adu min-al-bid‘ah). Ia menyebutnya dalam kitabnya yang sangat terkenal Majmū‘-ul-Fatāwā (Beirut: Dār-ul-Kitāb-il-‘Arabī, tahun 1973).
Dalam kitabnya Amrādh-ul-Qulūbi wa Syifā’uhā (Kairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1399), halaman: 62, ketika membicarakan surah al-Kāfirūn), Ibn Taimiyah berkata: “Adapun qul yā ayyuh-al-kāfirūn mengundang tauhid ‘amalī irādī, tauhid praktis yang didasarkan pada kehendak, yaitu keikhlasan beragama semata-mata untuk Allāh dengan sengaja dan dikehendaki; dan itulah yang dibicarakan oleh Syaikh-syaikh tashawwuf pada umumnya.
“Imam-imam tashawwuf menjadikan Allāh s.w.t. sebagai satu-satunya yang dicintai dengan cinta yang hakiki, bahkan dengan cinta yang paling sempurna” (Amrādh-ul-Qulūbi wa Syifā’uhā, halaman: 68).
Adapun Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, dalam kitabnya Madārij-ul-Sālikīn, juz 1, halaman: 464 (Beirut: Dār-ul-Kitāb-il-‘Arabī, tahun 1973), mengatakan tentang Abū Yazīd al-Busthāmī dengan kalimat seperti ini: “Ini (memelihara dan menjauhkan keinginan dari selain Allāh yang Maha Suci) adalah seperti Abū Yazīd al-Busthāmī. Semoga Allāh s.w.t. merahmatinya mengenai berita tentang dirinya. Ketika ia ditanya keinginannya, ia menjawab: “Aku ingin agar aku tidak ingin yang kedua (setelah Allāh s.w.t.)”. Inilah hakikat tashawwuf.”
Dalam kitabnya yang lain Badā’i-l-Fawā’id, juz 3, halaman: 756 (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nizār Mushthafā al-Bāz, 1996), Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah berkata:
“Tashawwuf dan kefakiran (baca: hanya butuh kepada Allāh) berada pada wilayah hati”.