1-2-1 Masalah #2 & 3 – Tata Cara Berwudhu’ – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 001 & 002 Pembahasan Tentang Bersuci Dari Hadats & Kitab Wudhu' - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah Kedua: Hukum (membasuh kedua tangan).

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membasuh kedua tangan sebelum memasukannya ke dalam tempat (kolam) air wudhū’, sebagian ulama berpendapat sesungguhnya hal itu termasuk sunnah wudhū’ secara mutlak walaupun ia meyakini bahwa tangannya bersih, ini pendapat di kalangan madzhab Mālikī dan Syāfi‘iyyah, yang lain berpendapat mustaḥabb (dianjurkan) bagi orang yang ragu apakah tangannya bersih, inilah pendapat yang diriwayatkan dari Mālik, ada juga yang berpendapat sesungguhnya membasuh tangan wajib bagi orang yang baru bangun tidur, inilah pendapat Dāūd dan murid-muridnya, lalu sebagian ulama lain membedakan antara tidur malam dan siang hari, mereka mewajibkannya pada tidur malam dan tidak wajib pada tidur di siang hari, inilah pendapat Aḥmad, ringkasnya dalam masalah ini ada empat pendapat:

1. Sunnah secara mutlak.

2. Dianjurkan bagi yang ragu-ragu.

3. Wajib bagi yang baru bangun tidur.

4. Wajib bagi yang baru bangun tidur malam dan tidak wajib untuk tidur siang.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam memahami hadits shaḥīḥ yang diriwayatkan dari Abū Hurairah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا الْإِنَاءَ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِيْ أَيْنَ بَاتَتْ يَدَهُ.

Jika salah seorang dari kalian bangun tidur, maka hendaklah dia membasuh tangannya sebelum memasukkannya ke dalam wadah, karena seseorang di antara kalian tidak mengetahui di mana tangannya berada saat tidur.” (51).

Dalam sebagian riwayat: “Hendaklah ia membasuhnya sebanyak tiga kali.

Ulama yang tidak melihat adanya kontradiksi antara tambahan dalam hadits ini dengan ayat wudhū’, dia memahami perintah untuk membasuh kedua tangan dalam hadits ini adalah wajib, dan menjadikannya sebagai salah satu rukun wudhū’.

Ulama yang memahami kata al-bayāt dengan makna tidur malam, mereka berpendapat kewajiban itu hanya berlaku untuk tidur malam, sementara ulama yang berpendapat bahwa lafazh tersebut bersifat umum untuk setiap tidur, menjelaskan bahwa kewajiban membasuh tangan berlaku untuk setiap bangun tidur, baik siang maupun malam.

Adapun ulama yang berpendapat adanya kontradiksi antara hadits dengan ayat karena makna zhahir ayat wudhū’ mengandung makna ḥashr (pembatasan kefardhuan wudhū’), maka cara mengkompromikannya adalah mengeluarkan lafazh perintah dari zhahir ayat yang menunjukkan wajib kepada sunnah.

Ulama yang berpendapat kuatnya anjuran karena Rasūlullāh melakukannya secara terus-menerus, mereka berkata: “Sesungguhnya hal itu termasuk sunnah yang dikuatkan,” sementara orang yang tidak meyakini kuatnya anjuran, mereka berkata: “Sesungguhnya hal itu hanya sebatas mustaḥabb (anjuran semata),” semua ini jika mereka yakin bahwa kedua tangannya bersih (maksudnya bagi yang menyatakan sunnah, dan yang menyatakan nadb).

Adapun ulama yang berpendapat tidak adanya alasan membawa hadits ini ke dalam lafazh khusus yang bermaksud umum, mereka berpendapat bahwa hadits ini khusus bagi orang yang bangun tidur, sementara orang yang menjadikan “ragu” sebagai ‘illat (alasan hukum) dan memahaminya ke dalam lafazh khusus bermaksud umum, mereka berpendapat bahwa hadits ini berlaku pula bagi orang yang ragu, karena orang ragu memiliki kedudukan sama dengan orang tidur.

Nampaknya hadits ini tidak bermaksud membahas hukum membasuh telapak tangan saat berwudhū’, akan tetapi membahas air yang digunakan dalam berwudhū’ jika disyaratkan dalam keadaan suci.

Adapun riwayat yang dinukil bahwa Rasūlullāh s.a.w. sering membasuh kedua telapak tangannya sebelum memasukkannya ke dalam wadah air, bisa saja dipahami bahwa membasuh kedua telapak tangan di awal merupakan tata cara dalam berwudhū’, bisa pula membahas hukum air (maksudnya, agar tidak terkena najis, atau tidak ada keraguan di dalamnya ketika kita menyatakan bahwa keraguan itu memiliki pengaruh hukum).

 

Masalah ketiga: Tentang rukun (berkumur dan istinsyāq).

Para ulama berbeda pendapat tentang berkumur dan istinsyāq (memasukkan air ke hidung) dalam wudhū’ menjadi tiga pendapat:

1. Keduanya termasuk sunnah dalam berwudhū’, ini adalah pendapat Mālik, Syāfi‘ī, dan Abū Ḥanīfah.

2. Keduanya adalah fardhu, inilah pendapat Ibnu Abī Lailā, dan pengikut murid Dāūd.

3. Sesungguhnya istinsyāq adalah wajib sementara berkumur adalah sunnah, ini adalah pendapat Abū Tsaur, Abū ‘Ubaidah, dan sekelompok dari az-Zhāhirī.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam memahami berbagai hadits yang membahas tentang hal ini, apakah merupakan tambahan yang kontradiksi dengan ayat wudhū’.

Ulama yang meyakini bahwa jika tambahan ini dipahami wajib maka akan menyebabkan kontradiksi, karena ayat tersebut menguraikan rukun wudhū’ pula. Saat itu mereka mengeluarkan hukum wajib kepada sunnah. Sementara ulama yang tidak meyakini adanya kontradiksi memahaminya secara zhahir, yaitu wajib.

Dan ulama yang menganggap setara antara ucapan dan perbuatan ketika memahami hal ini, mereka tidak membedakan antara berkumur dan istinsyāq (keduanya wajib).

Adapun ulama yang memahami bahwa ucapan mengandung hukum wajib sementara perbuatan mengandung hukum sunnah, mereka membedakan antara berkumur dengan istinsyāq, lebih jelasnya berkumur dinukil dari perbuatan Nabi s.a.w., sementara istinsyāq keluar dari ucapan dan perbuatannya, yaitu sabda beliau:

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ فِيْ أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَنْثُرْ، وَ مَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوْتِرْ.

Jika salah seorang dari kalian berwudhū’, maka masukkanlah air ke hidungnya dan keluarkanlah, dan barang siapa hendak ber-istijmār (bersuci dengan batu), maka lakukanlah secara ganjil.” (62) (HR. Mālik dalam al-Muwaththa’, dan al-Bukhārī dalam Shaḥīḥ-nya dari hadits Abū Hurairah).

Catatan:


  1. 5). Shaḥīḥ. HR. Muslim (278), Abū Dāūd (105), an-Nasā’ī (1/6, 99), dan dalam al-Kubrā (1. 153), Aḥmad (2/241, 265, 284, 348, 382, 403, 455, 471), ad-Dārimī (766 – ar-Rayyān) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (99, 145) semuanya dengan menyebutkan ungkapan tiga kali, dan diriwayatkan oleh at-Tirmidzī (24), dan Ibnu Mājah (393) dengan menyebutkan ungkapan “Dua kali atau tiga kali.” Diriwayatkan pula oleh al-Bukhārī tanpa menyebutkan jumlah, Mālik dalam al-Muwaththa’ (37), Aḥmad (2/316, 395, 465, 507) dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (100), dalam masalah ini pun ada riwayat dari Ibnu Mājah (395), dan dari Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (394) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (146). 
  2. 6). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (162), Muslim (237), Abū Dāūd (140), tanpa menyebutkan: “Barang siapa ber-istijmār (bersuci dengan batu) maka lakukanlah dengan ganjil”, diriwayatkan pula oleh an-Nasā’ī (1/65), Aḥmad (2/242, 278, 463), dan Mālik dalam al-Muwaththa’ (1, 19), dan al-Ḥumaidī (957). 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *