01-2 Tata Cara Berwudhu’ – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 001 & 002 Pembahasan Tentang Bersuci Dari Hadats & Kitab Wudhu' - Bidayat-ul-Mujtahid

Bab II

Tata Cara Berwudhū’

Landasan tata cara wudhū’ adalah praktek yang dijelaskan dalam firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَ أَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَ امْسَحُوْا بِرُؤُوْسِكُمْ وَ أَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. al-Mā’idah [5]: 6).

Demikian pula yang dijelaskan dalam berbagai riwayat shaḥīḥ tentang tata cara wudhū’ Nabi s.a.w.

Dalam bab ini adalah 12 masalah populer yang terkait dengannya dan sebagai pokok-pokok masalah, yang intinya adalah masalah syarat, rukun, tata cara dan jumlah, dan penentuan batasan yang dibasuh dan diusap dengan berbagai ketentuan hukumnya.

 

Masalah Pertama: Syarat (Niat Wudhū’).

Para ulama di berbagai negeri berbeda pendapat, apakah niat merupakan syarat sahnya wudhū’? Padahal sebelumnya mereka sepakat bahwa niat merupakan syarat dalam berbagai praktek ibadah, berlandaskan kepada firman Allah s.w.t.:

وَ مَا أُمِرُوْا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah [98]: 5).

Sabda Nabi s.a.w.:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

Sesungguhnya (keabsahan) amal itu tergantung pada niat.” (41)

Hadits ini masyhur.

Sebagian ulama berpendapat bahwa niat adalah syarat wudhū’, ini adalah pendapat Imām Syāfi‘ī, Mālik, Aḥmad, Abū Tsaur dan Dāūd.

Sementara sebagian yang lainnya berpendapat bahwa niat bukanlah syarat, ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah dan ats-Tsaurī.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam menentukan wudhū’ antara ibadah mahdhah (maksudnya, ibadah yang tidak bisa dipahami secara akal, ia merupakan bentuk ketaatan saja seperti shalat dan yang lainnya) dan ibadah ghair mahdhah (yang bisa dipahami secara akal) seperti membasuh najis, pada dasarnya mereka tidak berbeda pendapat bahwa ibadah mahdhah membutuhkan niat, adapun ibadah yang dipahami akal tidak membutuhkan niat, sementara wudhū’ ada di antara dua macam ibadah ini, karena itulah terjadi perbedaan pendapat, maksudnya karena wudhū’ berada di antara ibadah dan membersihkan, sementara fikih mempertimbangkan mana yang lebih serupa di antara keduanya sehingga mengambil salah satunya.

Catatan:


  1. 4). Muttafaq ‘alaihi. HR. al-Bukhārī (1, 54, 2529, 3898, 5070, 6689, 6953), Muslim (1907), Abū Dāūd (2201), at-Tirmidzī (1647), an-Nisā’ī (1/58) (4/158), Ibnu Mājah (4227), Aḥmad (1/25, 52), ath-Thayālisī (37), al-Ḥumaidī (28), Ibn-ul-Jarūd dalam al-Muntaqā (64), al-Baihaqī (4/235) (6/331), (7/241) semuanya dari hadits ‘Umar bin Khaththāb. Fā’idah: ‘Abd-ur-Raḥmān bin Mahdī berkata: “Hendaknya bagi setiap orang yang ingin menulis buku memulainya dengan hadits ini sebagai peringatan bagi setiap penuntut ilmu agar meluruskan niat.” 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *