Hati Senang

01-2 Pengertian Tashawwuf – Sabil-us-Salikin

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf   Tim Penyusun: Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan   Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Benarkah tashawwuf dan tharīqah itu bid‘ah?

Pengertian Tashawwuf

Banyak sekali definisi tashawwuf yang telah dikemukakan, dan masing-masing berusaha menggambarkan apa yang dimaksud dengan tashawwuf. Tetapi pada umumnya definisi yang dikemukakan hanya menyentuh sebagian dari keseluruhan bangunan tashawwuf yang begitu besar dan luas.

Definisi-definisi yang dikemukakan sama dengan yang dilakukan empat orang buta, dalam kisah Rumi, ketika mereka menggambarkan bentuk gajah. Masing-masing menggambarkan bentuk gajah sesuai dengan bagian tubuh yang disentuhnya. Bagi yang pertama, bentuk gajah seperti mahkota, bagi yang kedua seperti pipa air, bagi yang ketiga, seperti kipas, dan bagi yang terakhir seperti tiang.

Imām al-Qusyairī dalam ar-Risālah-nya mengutip 50 definisi dari ulama Salaf, sementara Imām Abū Nu‘aim al-Ishbāhānī dalam Ḥilyat-ul-Auliyā’ wa Thabaqāt-ul-Ashfiyā’ mengutip sekitar 141 definisi, antara lain:

  1. Tashawwuf adalah bersungguh-sungguh melakukan suluk yaitu “perjalanan” menuju Malik al-Mulūk (Raja semua raja), (yakni Allāh ‘azza wa jalla).
  2. Tashawwuf adalah mencari wasīlah (alat yang menyampaikan) ke puncak fadhīlah (keutamaan).

Definisi paling panjang yang dikutip Imām Abū Nu‘aim al-Ishbāhānī berasal dari perkataan Imām al-Junaid r.a. ketika ditanya orang mengenai makna tashawwuf: Tashawwuf adalah sebuah istilah yang menghimpun sepuluh makna:

  1. Tidak terikat dengan semua yang ada di dunia sehingga tidak berlomba-lomba mengerjakannya.
  2. Selalu bersandar kepada Allāh ‘azza wa jalla,
  3. Gemar melakukan ibadah ketika sehat.
  4. Sabar kehilangan dunia (harta).
  5. Cermat dan berhati-hati membedakan yang hak dan yang batil.
  6. Sibuk dengan Allāh s.w.t. dan tidak sibuk dengan yang lain.
  7. Melazimkan dzikir khafī (dzikir hati).
  8. Merealisasikan rasa ikhlas ketika muncul godaan.
  9. Tetap yakin ketika muncul keraguan dan
  10. Teguh kepada Allāh s.w.t. dalam semua keadaan. Jika semua ini berhimpun dalam diri seseorang, maka ia layak menyandang istilah ini, dan jika tidak, maka ia adalah pendusta, (Ḥilyat-ul-Auliyā’ wa Thabaqāt-ul-Ashfiyā’, juz 1).

Beberapa fuqahā’ ahli fiqih juga mengemukakan definisi tashawwuf dan mengakui keabsahan tashawwuf sebagai ilmu kerohanian Islam. Di antara mereka adalah: Imām Muḥammad ibn Aḥmad ibn Jāzī al-Kalabī al-Gharnathī (w. 741 H.) dalam kitabnya al-Qawānīn-ul-Fiqhiyyatu li Ibn Jāzī, halaman: 277 menegaskan: “Tashawwuf masuk dalam jalur fiqih, karena ia pada hakikatnya adalah fiqih batin (rohani), sebagaimana fiqih itu sendiri adalah hukum-hukum yang berkenaan dengan perilaku lahir”.

Imām ‘Abd-ul-Ḥamīd al-Syarwānī, dalam kitabnya Ḥawāsyī-l-Syarwānī VII, menyatakan: “Ilmu batin (kerohanian), yaitu ilmu yang mengkaji hal ihwal batin (rohani), yakni yang mengkaji perilaku jiwa yang buruk dan yang baik (terpuji), itulah ilmu tashawwuf”.

Imām Muḥammad ‘Amīm al-Iḥsān dalam kitabnya Qawā‘id-ul-Fiqih, dengan mengutip pendapat Imām al-Ghazālī, menyatakan: “Tashawwuf terdiri atas dua hal: Bergaul dengan Allāh s.w.t. secara benar dan bergaul dengan manusia secara baik. Setiap orang yang benar bergaul (ibadah) dengan Allāh s.w.t dan baik bergaul dengan makhluk, maka ia adalah sufi”.

Definisi-definisi tersebut pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, membentuk satu kesatuan yang tersimpul dalam satu buhul: “Tashawwuf adalah perjalanan menuju Tuhan melalui penyucian jiwa yang dilakukan dengan intensifikasi dzikrullāh”.

Penyucian jiwa (tazkiyat-un-nafs) merupakan ruh dari taqwa, sementara taqwa merupakan sebaik-baik bekal (dalam perjalanan menuju Allāh s.w.t..), sehingga dikatakan oleh Imām Muḥammad Zakī Ibrāhīm, pemimpin tharīqah sufi al-Asyīrah al-Muḥammadiyyah di Mesir, bahwa “Tashawwuf adalah taqwa. Taqwa tidak hanya berarti “mengerjakan semua perintah Allāh s.w.t. dan meninggalkan semua larangan-Nya. Taqwa juga meliputi “cinta, ikhlas, sabar, zuhud, qanā‘ah, tawādhu‘, dan perilaku-perilaku batin lainnya yang masuk ke dalam kategori makārim-ul-akhlāq (akhlak yang mulia) atau al-akhlāq-ul-maḥmūdah (akhlak yang terpuji)”.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila tashawwuf juga sering didefinisikan sebagai akhlak, yaitu akhlak bergaul (ibadah) dengan Allāh s.w.t.. dan akhlak bergaul dengan semua makhluk-Nya. Imām Muḥammad ibn ‘Alī al-Kattānī, sebagaimana dikutip oleh Imām al-Qusyairī dalam ar-Risālah-nya, menegaskan bahwa “tashawwuf adalah akhlak”. Imām Abū Nu‘aim al-Ishbahānī juga mengutip definisi senada dalam kitabnya Ḥilyat-ul-Auliyā’ wa Thabaqāt-ul-Ashfiyā’: “Tashawwuf adalah berakhlak dengan akhlak (orang-orang) mulia.”

Definisi terakhir di atas sejalan dengan keberadaan Nabi s.a.w. yang diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia sebagaimana ditegaskan oleh beliau sendiri dalam sebuah sabdanya yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad ibn Ḥambal:

و حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ رَزَّاق الكلواذي، قال: حَدَّثَنَا سَعِيْدُ بْنُ مَنْصُوْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ العَزِيْزِ عَنِ ابْنِ عَجْلَان عَنِ القعقاع، عَن أبي صالح، عَن أبي هُرَيرة، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ.

(سنن الكبرى للبيهقي، ج 1، ص: 191، إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 46)

Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang baik

(Sunan-ul-Kubrā lil-Baihaqī, juz 1, halaman: 191, Iḥyā’u ‘Ulūm-id-Dīn, juz 3, halaman: 46).

Akhlak itu sendiri merupakan perilaku batin yang melahirkan berbagai perbuatan secara otomatis tanpa melalui pertimbangan yang disengaja, atau dalam definisi Imām al-Ghazālī diungkapkan dengan redaksi: “Akhlak merupakan ungkapan tentang kondisi yang berakar kuat dalam jiwa; dari kondisi itu lahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikirkan dan pertimbangan.”

Apapun definisi yang dikemukakan para ‘ulamā’ mengenai tashawwuf, yang jelas bahwa tashawwuf merupakan sisi rohani Islam yang sangat fundamental dan esensial, bahkan ia merupakan inti ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasūl.

Pernyataan Imām Muḥammad Zakī Ibrāhīm barangkali sudah cukup sebagai penjelasan terakhir: “Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi tashawwuf, semua definisi yang ada mengarah kepada satu titik yang sama, yaitu taqwa dan tazkiyah. Tashawwuf adalah hijrah menuju Allāh s.w.t., dan pada hakikatnya semua definisi yang ada bersifat saling melengkapi”, (Abjadiyyat-ut-Tashawwuf-ul-Islāmī, atau Tashawwuf Salafī, halaman: 7).

Tidak satu definisi pun yang mampu menggambarkan secara utuh apa yang disebut dengan tashawwuf. Demikian pula, tidak ada satu penjelasan pun yang mampu menggambarkan apa yang disebut dengan iḥsān (beribadah seolah-olah melihat Allāh s.w.t.), karena hal itu menyangkut soal rasa dan “pengalaman”, bukan penalaran atau pemikiran. Pemahaman yang utuh mengenai tashawwuf dan sekaligus iḥsān hanya muncul setelah seseorang “mengalami” dan tidak sekadar “membaca” definisi-definisi yang dikemukakan orang.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.