BAB 1
PENDAHULUAN
Banyak yang beranggapan bahwa aliran tashawwuf dalam Islam lahir karena pengaruh dari luar. Anggapan itu mencuat karena tashawwuf muncul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani, juga agama Hindu dan Budha.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Bahwa ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang penuh nafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci, dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu pengetahuan serta melakukan beberapa pantangan.
Filsafat sufi juga demikian. Ruh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, ruh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Ruh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, ia berpendapat bahwa ruh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi (penjelmaan). Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.
(Sampai di sini, tampak adanya perbedaan.)
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tidak terdapat dalam ajaran tashawwuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’ān bahwa ruh sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, ruh pergi ke alam barzakh menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya ruh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tashawwuf Islam.
Dari agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana (tempat kebebasan). Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi (renungan) dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tashawwuf terdapat pengalaman ittiḥād, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani, dan agama Kristen telah datang jauh sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut di atas tidak ada, tidakkah mungkin tashawwuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?, (Ḥaqā’iqu ‘an-at-Tashawwuf, ‘Abd-ul-Qādir ‘Īsā, halaman: 30).
Tashawwuf dan tharīqah adalah korban yang paling sering dihujat sesat oleh saudara-saudara seiman. Mereka memandang tashawwuf dan tharīqah sebagai sarang bid‘ah hal-hal yang baru yang diklaim tidak pernah diajarkan dalam Islam atau tidak pernah dilakukan dan diperintahkan oleh Rasūl. Dalil utama yang sering dikemukakan mereka adalah hadits Nabi s.a.w. yang sangat terkenal dan diriwayatkan oleh banyak imam hadits:
وَ إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
(رواه أبو داود و الترمذي، وَ قالَ: حديث حسن صحيح). (رياض الصالحين، ج 1، ص: 128)
“Hindarilah perkara-perkara yang baru (diada-adakan), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan bid’ah adalah sesat.”
(Riyādh-ush-Shāliḥīn, juz 1, halaman: 128).